“Sesungguhnya amalan itu tergantung niatnya, dan sesungguhnya setiap orang mendapatkan sesuai apa yang diniatkan, barang siapa yang hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya, dan barang siapa yang hijrahnya karena dunia yang akan didapatkan atau wanita yang akan dinikahi maka hijrahnya sesuai dengan apa yang dia niatkan.” (HR. Bukhari Muslim)
Oleh : KH. Abdullah Gymnastiar
Dalam sebuah hadits, seorang sahabat berkata bahwa pada suatu ketika di malam purnama yang terang benderang, ia berkali-kali memandang antara wajah rasulullah SAW dan rembulan. Maka, didapatinya, bahwa wajah Rasul terkasih adalah lebih indah dari rembulan, subhanallah. Maha Suci Allah yang telah menempatkan kita di bumi-Nya yang terhampar luas. Maha Agung Ia yang memikulkan di atas pundak kita, amanah untuk menjadi pemakmur bumi, Maha Terpuji Keadilannya, yang telah memberi kita dua bekal utama, kitab yang berisi wahyu-wahyu-Nya, dan manusia yang menjadi rasul-rasul-Nya. Rasul adalah utusan Allah. Ia manusia biasa, sebagaimana juga yang lainnya.
Keberadaannya adalah agar manusia tahu, bagaimana mesti bersikap selama di dunia. Hidup kita, sesungguhnya adalah masalah. Ketika kita menerima kesepakatan dengan Allah SWT, untuk lahir ke dunia, maka masalah dimulai. Sepanjang hidup, kita dirundung olehnya. Bahkan kematian, bukanlah akhir dari masalah. Justru kematian adalah gerbang pembuka menuju masalah terbesar yang mesti kita hadapi, yaitu perhitungan dengan Allah, untuk ditentukan kemana kita menghabiskan waktu selamanya. Di neraka, lembah kebinasaan tak berkesudahan.
Hidup memang masalah. Banyak kesulitan melanda, tidak sedikit celah keputus-asaan menganga. Namun manusia beruntung, sebab Allah Mahaadil. Hidup memang susah, namun Allah membuatnya mudah, yaitu dengan mengutus Rasul-rasul-Nya.
“Dan tidak kami utus engkau (Muhammad) kecuali sebagai rahmat bagi sekalian alam”. (Q.S. Al Anbia [21] : 107).
Kita yang hidup di akhir zaman, mendapat tantangan luar biasa berat. Melaksanakan amanah untuk menjadi khalufatul fil ardl, bagai menggenggam bara panas. Akan tetapi semua itu telah ada dalam perhitungan Allah, sehingga untuk hamba-hamba-Nya diakhir zaman, Allah utus seorang Rosul mulia, yang seluruh sifat yang ada pada Rosul-rosul sebelumnya. Kecerdasan Nabi Daud, ketabahan Nabi Ayyub, Ketampanan Nabi Yusuf, kedermawanan Nabi Ibrahim, dan seterusnya. Dialah Nabi Muhammad SAW.
Allah SWT membuka kesempatan pada hamba-hamba yang ingin mendekat pada-Nya, melalui diri sang Rasul panutan umat. Semakin mirip yang hamba lakukan dengan Rasulullah, maka dekat kedudukan dia dengan Allah. Sebab memang untuk itulah Rosul diutus. Buat menjadi contoh, bagaimana semestinya bersikap.Agar dapat dengan Allah, agar hidup menjadi ringan, meski syarat akan beban. Allah SWT dalam hal ini menjelaskan dalam firman-Nya,
“Dan sesungguhnya Rasul Allah itu menjadi ikutan (tauladan) yang baik untuk kamu dan untuk orang yang mengharapkan menemui Allah di hari kemudian dan yang mengingati Allah Sebanyak-banyaknya.” {Q.S. Al Ahzab [33]:21}.
Maka, mengenal Rasulullah, adalah kekayaan yang tak ternilai harganya bagi kita. Rasulullah sungguh-sungguh dicipta oleh Allah untuk menjadi tauladan. Diamnya, pembicaraannya pula tindakan-tindakannya, dari ujung rambut sampai pangkal kakinya, semuanya pelajaran, seluruhnya adalah referensi berharga pembawa jalan keselamatan bagi yang mengikutinya.
Rasulullah, amat pemurah akan senyum. Seorang sahabat mengatakan bahwa tak pernah Rasulullah memandang (tentu saja sahabat yang bercerita ini adalah dari kalangan lelaki, sebab Rasulullah amat menjaga diri dari perempuaan non muslim, sekalipun hanya dari melihatnya) atau mendatanginya, melainkan senantiasa dengan tersenyum. Bibir tipisnya senantiasa menyungging indah, lahir dari keinginan tulus membahagiakan orang lain.
Sumber : http://dheryudi.wordpress.com/2008/12/06/seraut-wajah-rasulullah/
Nabi Muhammad Bermuka Masam ???
ABASA (BERMUKA MASAM)
Selama ini kita diajari bahwa Nabi Saw pernah ditegur oleh Allah SWT perihal bermuka masamnya beliau ketika di datangi seorang buta bernama Abdullah Ibn Maktum ketika sedang berdakwah kepada para petinggi bani umayyah.
Namun dalam surat Abasa itu sendiri pada ayat 1 tidak dijelaskan atau tidak disebutkan siapa pelakunya. Dalam terjemahan bahasa indonesia sendiri seperti ini :
Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling = perhatikan tanda dalam kurung merupakan terjemahan tambahan bukan terjemahan sebenarnya.
Jika kita simak ayat 1 dalam bahasa arabnya adalah ‘abasa wata walla, perhatikan bahwa tidak ada kata Muhammad Saw, yang seharusnya terjemahan sebenarnya adalah seperti ini :
Dia bermuka masam dan berpaling.
Jika kita perhatikan kata “Dia” sungguh tidak logis jika Allah menegur Nabi secara langsung menggunakan kata “Dia”, seharusnya menggunakan kata “Kamu” karena Allah menegur beliau secara langsung. Dan seharusnya jika Nabi yg ditegur secara langsung maka ayat tersebut harusnya berbunyi :
Kamu bermuka masam dan berpaling
Dan bukannya
Dia bermuka masam dan berpaling.
Sampai disini bisa di ikuti?
Jadi dapat diambil kesimpulan bahwa Allah bukanlah menegur Nabi bermuka masam, tapi memberitahu Nabi bahwa salah satu dari petinggi bani umayyah tsb bermuka masam dan berpaling karena kehadiran seorang yang buta bernama Abdullah Ibn Maktum.
Pada ayat 2-4 surat Abasa :
2.karena telah datang seorang buta kepadanya
3.Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya
4.atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?
Ayat 2 menjelaskan penyebab bermuka masamnya petinggi umayyah tsb, sedangkan pada ayat ke 3-4 Allah memberitahu Nabi dgn kata ”Kamu” bahwa si buta tsb hendak mendapatkan pencerahan dari sang Nabi.
5.Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup
6.maka kamu melayaninya
7.Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).
8.Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),
9.sedang ia takut kepada (Allah),
10.maka kamu mengabaikannya
11.Sekali-kali jangan (demikian)! Sesungguhnya ajaran-ajaran Tuhan itu adalah suatu peringatan,
Pada ayat ke 5 dan 6 Allah memberitahu ke Nabi bahwa lebih baik mengajari orang yg miskin dan hina tapi mau mendengar dan menerima risalah Nabi dari pada mengajarkan kalimat Allah thd orang-orang kaya (petinggi bani umayyah) namun tidak mau mendengarkan risalah yang Nabi bawakan.
Pada ayat 7 – 11 harusnya bisa lebih mudah dipahami, bahwa Allah memberitahu Nabi tidak usah bersusah payah meneruskan dakwah kepada petinggi umayyah tsb, lebih baik layani si orang buta tersebut, walau nantinya dakwah Nabi thd petinggi bani umayyah gagal jika lebih memilih menjawab pertanyaan ibn maktum tetap Nabi tidak akan mendapat celaan dari Allah, justru akan mendapatkan pujian dari Allah.
Sebagaimana kita tahu menurut Aisyah ra bahwa Nabi itu adalah Alquran yang berjalan, salah satu sifat Nabi adalah maksum (bebas dari dosa) sebab selalu didampingi oleh Allah dlm setiap tindakan dan ucapannya, dan setiap yg diucapkan Nabi adalah wahyu bukan berdasarkan nafsunya.
Logisnya jika nabi maksum dan jika Nabi merupakan al quran berjalan, lalu mengapa Nabi bermuka masam? Bukankah itu kontradiktif dan tidak masuk akal. Bagaimana mungkin Allah mengutus seorang manusia yang mampu berbuat dosa untuk membimbing manusia? Bagaimana mungkin si Nabi menyuruh orang berbuat baik tetapi thd orang lain Nabi pun berbuat buruk? Astaghfirullah.
Dapat diambil kesimpulan bahwa bukanlah Nabi yang bermuka masam, namun salah satu dari petinggi bani umayyah yang hadir pada saat itulah yg bermuka masam, sebab Allah menegaskan dalam firmannya :
Dia bermuka masam dan berpaling
Dan bukannya :
Kamu bermuka masam dan berpaling
Dalam berbagai analisa dinyatakan bahwa tindakan para ulama mengorbankan Nabi sbg yang bermuka masam tiada lain adalah untuk menyelamatkan muka petinggi bani umayyah tsb yang sempat menjadi khalifah sepeninggal Nabi Saw adalah rekayasa dari kekhalifahan umayyah semata untuk menyelamatkan nama baik suku mereka dgn menjelekkan Nabi Saw.
Sayangnya mayoritas umat Islam banyak yang termakan tipuan tsb, sudah saatnya kita sadar dan berpikir dgn logika, apakah Nabi seorang yg berdosa ataukah seorang yg maksum?. Jika Nabi seorang yg berdosa, lalu sia-sia dong tindakan Allah membelah dada Nabi untuk membersihkan dari segala kekotoran jiwanya ketika isra miraj. Berarti Allah pun gagal dalam membersihkan sifat-sifat kotornya Nabi dong? Bukankah Allah membersihan Nabi sebersih2nya dgn membelah dadanya sebagai persiapan dalam berdakwah agar dapat dijadikan usuwah yang baik bagi umatnya? Sudah saatnya kita berpikir dan bertobat atas fitnah terbesar ini.
Sumber : http://syiahali.wordpress.com/2010/08/01/nabi-muhammad-bermuka-masam/
KEUTAMAAN MENAHAN MARAH
Di antara maksud dan tujuan disyariatkannya puasa adalah latihan menahan nafsu marah (suka marah). Orang yang mampu menahan marah lebih baik dan lebih sempurna daripada orang yang suka marah (pemarah). Dan itulah yang disebut orang kuat.
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Orang kuat itu bukanlah yang menang dalam gulat tetapi orang kuat adalah yang mampu menahan nafsu amarahnya.” (HR. Al Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain, disebutkan hadits dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu Rasulullah bersabda:
“Siapa yang dikatakan paling kuat di antara kalian? Sahabat menjawab: yaitu di antara kami yang paling kuat gulatnya. Beliau bersabda:
Bukan begitu, tetapi dia adalah yang paling kuat mengendalikan nafsunya ketika marah.” (HR. Muslim)
Al Imam Ahmad meriwayatkan hadits dari Anas Al Juba’i, bahwa Rasulullah
Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Barangsiapa yang mampu menahan marahnya padahal dia mampu menyalurkannya, maka Allah menyeru pada hari kiamat dari atas
khalayak makhluk sampai disuruh memilih bidadari mana yang mereka mau.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan)
Al Imam Ahmad juga meriwayatkan hadits dari Ibnu Umar, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah hamba meneguk tegukan yang lebih utama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala, dari meneguk kemarahan karena mengharap wajah Allah Subhanahu wa Ta’ala.” (Hadits shahih riwayat Ahmad)
Al Imam Abu Dawud rahimahullah mengeluarkan hadits secara makna dari sahabat
Nabi, bahwa Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:
“Tidaklah seorang hamba menahan kemarahan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala kecuali Allah Subhanahu wa Ta’ala akan memenuhi baginya keamanan dan keimanan.” (HR. Abu Dawud dengan sanad hasan)
Hadits-hadits ini menerangkan keutamaan menahan marah dari pada orang yang mudah marah/pemarah. Dari itu, Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berwasiat kepada sahabat ketika datang pada beliau untuk meminta wasiat, beliau bersabda dengan diulang-ulang: “Jangan mudah marah..” Lengkap haditsnya adalah sebagai berikut:“Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa seseorang berkata kepada Nabi Shalallahu alaihi wasallam: Berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda: Jangan menjadi seorang pemarah. Kemudian diulang-ulang beberapa kali. Dan beliau bersabda: Janganlah menjadi orang pemarah” (HR. Al Bukhari)
Al Imam Ahmad rahimahullah meriwayatkan hadits dari seseorang dari sahabat Nabi
Shalallahu alaihi wasallam dia berkata:
“ Aku berkata: Ya Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam berwasiatlah kepadaku. Beliau bersabda: jangan menjadi pemarah. Maka berkata seseorang: maka aku pikirkan apa yang beliau sabdakan, ternyata pada sifat pemarah itu terkumpul seluruh kejelekan.” (HR. Imam Ahmad)
Berkata Ibnu Ja’far bin Muhammad rahimahullah: “Marah itu pintu seluruh kejelekan.”
Al Imam Ahmad menafsirkan hadits ini dengan mengatakan: akhlak yang mulia itu dengan meninggalkan sifat pemarah.
Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menerangkan maksud hadits ini dengan mengatakan: sabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam: “Jangan menjadi pemarah.”
Ini mengandung dua kemungkinan maksud:
1. Hadits ini mengandung perintah melakukan sebab-sebab yang menjadikan akhlak yang mulia seperti bersikap lembut, pemalu, tidak suka mengganggu, pemaaf, tidak mudah marah.
2. Hadits ini mengandung larangan melakukan hal-hal yang menyebabkan kemarahan, mengandung perintah agar sekuat tenaga menahan marah ketika timbul/berhadapan dengan penyebabnya sehingga dengan demikian dia akan terhindar dari efek negatif sifat pemarah. Sehingga Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam mangajarkan cara-cara menghilangkan kemarahan dan cara menghindari efek negatifnya, di antaranya dalah:
1. Membaca ta’awudz ketika marah.Al Imam Al Al Bukhari dan Al Imam Muslim rahimakumullah meriwayatkan hadits dari Sulaiman bin Surod radhiyallahu ‘anhu:“Ada dua orang saling mencela di sisi Nabi Shalallahu alaihi wasallam dan kami sedang duduk di samping Nabi Shalallahu alaihi wasallam . Salah satu dari keduanya mencela lawannya dengan penuh kemarahan sampai memerah wajahnya. Maka Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda: Sesungguhnya aku akan ajarkan suatu kalimat yang kalau diucapkan akan hilang apa yang ada padanya. Yaitu sekiranya dia mengucapkan: ‘Audzubillahi minasy Syaithani rrajiim. Maka mereka berkata kepada yang marah tadi: Tidakkah kalian dengar apa yang disabdakan nabi? Dia menjawab: Aku ini bukan orang gila.”
2. Dengan dudukApabila dengan ta’awudz kemarahan belum hilang maka disyariatkan dengan duduk, tidak boleh berdiri.Al Imam Ahmad dan Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan hadits dari Abu Dzar radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda:“Apabila salah seorang di antara kalian marah dalam keadaan berdiri duduklah, jika belum hilang maka berbaringlah.”Hal ini karena marah dalam berdiri lebih besar kemungkinannya melakukan kejelekan dan kerusakan daripada dalam keadaan duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk dan berdiri.
3. Tidak bicaraDiam tidak berbicara ketika marah merupakan obat yang mujarab untuk menghilangkan kemarahan, karena banyak berbicara dalam keadaan marah tidak bisa terkontrol sehingga terjatuh pada pembicaraan yang tercela dan membahayakan dirinya dan orang lain.Dalam hadits disebutkan:“Apabila di antara kalian marah maka diamlah.” Beliau ucapkan tiga kali. (HR. Ahmad)
4. BerwudhuSesungguhnya marah itu dari setan. Dan setan itu diciptakan dari api
maka api itu bisa diredam dengan air, demikian juga sifat marah bias diredam dengan berwudhu.Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:”Sesungguhnya marah itu dari syaithan dan syaithan itu dicipta dari api, dan api itu diredam dengan air maka apabila di antara kalian marah berwudhulah.” (HR. Ahmad dan yang lainnya dengan sanad hasan)
Adapun pemicu kemarahan ada empat, barangsiapa yang mampu mengendalikan maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan dijaga dari syetan dan diselamatkan dari neraka.
Berkata Al Imam Al Hasan Al Bashri rahimahullah:“Empat hal, barangsiapa yang mampu mengedalikannya maka Allah akan menjaga dari syetan dan diharomkan dari neraka: yaitu seseorang mampu menguasai nafsunya ketika berkeinginan, cemas, syahwat dan marah.”
Empat hal ini yaitu keinginan, cemas, syahwat dan marah merupakan pemicu
seluruh kejelekan dan kejahatan bagi orang yang tidak mampu mengendalikan nafsunya.
1. Keinginan, adalah kecondongan nafsu pada sesuatu yang diyakini mendatangkan
manfaat pada dirinya, seringnya orang yang tidak mampu menguasai nafsu akan
berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan keinginannya itu dengan segala cara
walaupun harus dengan cara harom, dan terkadang yang diinginkan juga berupa
sesuatu yang haram.
2. Cemas, adalah rasa takut dari sesuatu. Orang yang cemas akan berupaya untuk
menolaknya dengan segala cara walaupun harus dengan cara harom seperti meminta
perlindungan kepada selain Allah.
3. Syahwat, adalah kecondongan nafsu pada sesuatu yang diyakini dapat memuaskan
nafsunya. Seringnya orang yang kalah dengan nafsunya memuaskan nafsu syahwatnya
itu pada sesuatu yang haram seperti zina, mencuri, minum khamer bahkan pada
sesuatu yang menyebabkan kekufuran, kebid’ahan dan kemunafikan.
4. Marah, adalah gelagaknya darah hati untuk menolak gangguan sebelum terjadi
atau untuk membalas gangguan yang sudah terjadi. Kemarahan seringnya dilakukan
dalam bentuk perbuatan yang diharamkan seperti pembunuhan, pemukulan dan
berbagai kejahatan yang melampaui batas. Terkadang dalam bentuk perkataan yang
diharamkan seperti tuduhan palsu, mencela dan perkataan keji lainnya dan
terkadang meningkat sampai pada perkataan kufur.Tetapi tidak semua kemarahan
itu tercela, ada yang terpuji, bahkan sampai pada tingkatan harus marah yaitu
ketika kita melihat agama Allah direndahkan dan dihinakan, maka kita harus
marah karena Allah terhadap pelakunya. Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam
tidak pernah marah jika celaan hanya tertuju pada pribadinya dan beliau sangat
marah ketika melihat atau mendengar sesuatu yang dibenci Allah maka Beliau
tidak diam. Beliau marah dan berbicara.Ketika Nabi Shalallahu alaihi wasallam
melihat kelambu rumah Aisyah ada gambar makhluk hidupnya (yaitu gambar kuda bersayap) maka merah wajah Beliau dan
bersabda:“Sesungguhnya orang yang paling keras siksaannya pada hari kiamat
adalah orang membuat gambar seperti gambar ini.” (HR. Al Bukhari Muslim)
Nabi Shalallahu alaihi wasallam juga marah terhadap seorang sahabat yang
menjadi imam shalat dan terlalu panjang bacaannya dan beliau memerintahkan
untuk meringankannya. Tetapi Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam tidak pernah
marah karena pribadinya.
Al Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Anas radhiyallahu anhu:“Anas
membantu rumah tangga Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam selama sepuluh
tahun, maka tidak pernah beliau berkata kepada Anas: “Ah”, sama sekali. Beliau
tidak berkata terhadap apa yang dikerjakan Anas: “Mengapa kamu berbuat ini?!”
Dan terhadap apa yang tidak dikerjakan Anas,”Tidakkah kamu berbuat begini.”
(HR. Al Bukhari dan Muslim)
Begitulah keadaan beliau senantiasa berada di atas kebenaran baik ketika marah
maupun ketika dalam keadaan ridha/tidak marah. Dan demikianlah semestinya
setiap kita selalu di atas kebenaran ketika ridha dan ketika marah.
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda: artinya:“Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu berbicara yang benar ketika marah dan ridha.” (Hadits shahih riwayat Nasa’i)
Al Imam Ath Thabari rahimahullah meriwayatkan hadits Anas:“Tiga hal termasuk
akhlak keimanan yaitu: Orang yang jika marah kemarahannya tidak memasukkan ke
dalam perkara batil, jika senang maka kesenangannya tidak mengeluarkan dari
kebenaran dan jika dia mampu dia tidak melakukan yang tidak semestinya.”
Maka wajib bagi setiap muslim menempatkan nafsu amarahnya terhadap apa yang
dibolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, tidak melampaui batas terhadap apa
yang dilarang sehingga nafsu dan syahwatnya menyeret kepada kemaksiatan,
kemunafikan apalagi sampai kepada kekafiran.
Kesempatan baik ini untuk melatih diri kita menuju sifat kesempurnaan dengan
menghilangkan sifat pemarah dan berupaya menjadi orang yang tidak mudah marah.
Rasulullah Shalallahu alaihi wasallam bersabda:“Bukanlah puasa itu sekedar
menahan makan dan minum. Sesungguhnya puasa itu (adalah puasa) dari perbuatan
keji dan sia-sia. Apabila ada orang yang mencelamu atau membodohimu maka
katakanlah: sesungguhnya aku sedang berpuasa, sesungguhnya aku sedang
berpuasa.” (HR. Ibnu Huzaimah dengan sanad shahih)
Sumber : http://wadahgratisan.wordpress.com/2010/12/27/menahan-marah/
Nabi Muhammad SAW. bersabda,
"Barang siapa yang bertambah ilmunya namun tiada bertambah amalnya Tiada bertambah baginya dengan Allah kecuali bertambah jauh " (HR. Dailami dari Ali).
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...
Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...
Semoga Bermanfaat dan bisa kita ambil hikmahnya... Amin
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat...
Catatan :
Lampirkan sumbernya ya... Syukron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar