Laman

Kamis, 24 Februari 2011

MENYEMBUNYIKAN AMAL

Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih Maha Penyayang...

Di dalam dunia usaha mem-“blow-up” suatu berita mengenai kegiatan perusahaan adalah suatu hal yang biasa. Apalagi bila berita tersebut diyakini akan meningkatkan gengsi atau nama baik perusahaan. Kegiatan promosi seperti itu merupakan hal yang wajar dan sah-2 saja dalam dunia usaha. Tidak terbatas pada kegiatan yang memang di-design khusus sebagai iklan atau media promosi lainnya, tapi tidak jarang kegiatan sosial sebagai partisipasi perusahaan dalam kepedulian sosial-pun di expose secara besar-2-an melalui media cetak maupun televisi dan radio. Atas nama kepentingan perusahaan, semua kegiatan perusahaan diusahakan bisa ter-expose secara terus-menerus, agar masyarakat konsumen ingat terus terhadap lambang perusahaan yang bersangkutan berikut produk-2-nya. Dan pada gilirannya diharapkan akan bisa meningkatkan omzet dan keuntungan perusahaan.

Didalam dunia celebritis hal semacam itu terjadi pula. Orang sengaja membuat rumor atau cerita-2 advonturir yang serem, yang aneh, atau yang sangat exclusive sebagai bahan berita dalam infotainment. Targetnya adalah, agar nama celebritis yang bersangkutan naik pamornya dan menarik minat producer untuk menariknya dalam produksi berikutnya. Semuanya tampak wajar-2 saja dan mereka bilang bahwa sekarang hal semacam itu sudah lumrah, semua serba pamrih, dan semuanya serba materialistis.

Zaman sekarang tak ada lagi yang gratis, demikian paradigma yang sering mereka katakan.

Bahkan hal seperti itu, mewabah pula kedalam dunia dakwah dan penyebaran agama Islam. Dengan sedikit pengetahuan mengenai hadist dan kitab kuning, mereka sudah menyebut dirinya “ustadz” dan berani memakai titel “Kiyai Haji” didepan namanya, karena hal itu bisa mengangkat pamor dan popularitasnya. Banyak “ustadz” yang pasang tarip tinggi dan syarat yang aneh-2, untuk dapat hadir memenuhi undangan umat untuk menyampaikan tausyiah atau ceramah agama di majelis-2 ta’lim atau dalam upacara keagamaan lainnya. Apabila syarat yang diminta tidak dapat dipenuhi, mereka menggunakan berbagai alasan untuk tidak hadir. Atau kalau-pun tidak bisa menolak, ia akan kirim muridnya sebagai wakilnya. Pada zaman sekarang memang agak sulit untuk membedakan mana yang celebritis dan mana yang “Da’i” kondang. Semuanya berpakaian bagus (baca: mewah), semuanya berkendaraan bagus (baca: mewah), dan semuanya tinggal di kawasan elit dalam sebuah (atau lebih) rumah yang bagus (baca: mewah).

Bandingkan dengan para Da’i pada zaman Rasulullah SAW. dan Khulafa’ur-rasyidin, mereka menyiarkan agama Islam dengan ikhlas, tanpa pamrih, tanpa dibayar, tidak jarang justru harus mengorbankan harta kekayaannya dan bahkan nyawanya sendiri. Semuanya itu mereka lakukan se-mata-2 karena mencari keridhaan Allah SWT ., bukan karena pamrih duniawi. Bagi sahabat-2 Rasulullah, dakwah adalah ladang amal dan pembuka pintu sorga bagi saudara-2-nya seiman. Sedikitpun tidak terbetik di dalam pikiran mereka, untuk menggunakannya sebagai ladang bisnis yang dapat dikomersialkan mengeruk harta dan keuntungan duniawi yang melimpah ruah.

Kondisi masyarakat yang makin keras dan makin kering, membuat banyak orang merasakan kekosongan jiwa dan kehilangan pegangan hidup. Hal tersebut menimbulkan kebuntuan serta kesumpekan yang luar biasa. Orang kemudian berpaling kepada hal-2 yang bersifat spiritual dan merasakan kebutuhan yang mendesak terhadap bimbingan rokhani. Memanfaatkan kondisi yang demikian, banyak “ustadz” masa kini yang kemudian membuat berbagai program penyuluhan dan /atau pencerahan yang dijual dalam program paket dengan tarif yang cukup mahal. Ternyata program seperti itu laku keras bak jualan kacang goreng, karena orang lebih memerlukan ketenangan hati dari pada harus capek-2 berpikir mengapa program seperti itu dijual dengan harga mahal. Orang yang sinis mengatakan bahwa kegiatan seperti itu, sudah termasuk dalam kategori “menjual ayat“. Dan “ustadz” yang demikian, tidak jauh berbeda dengan orang yang sengaja membaca keras ayat-ayat Al-Qur’an di depan pintu mesjid, untuk mengundang simpati jamaah dan menaruh lembaran uang kertasnya kedalam kantong atau kopiah yang dibalik dipangkuannya.

Tentu saja tidak semua Da’i atau ustadz , seperti itu . Masih banyak Da’i dan ustadz yang baik , yang sebagian besar justru tidak banyak dikenal orang , karena keluguan dan kesederhanaan hidupnya . Sebagian besar mereka bukan termasuk golongan orang kaya kalau tidak boleh dikatakan miskin .Tapi orang tidak tahu bahwa mereka sangat dicintai oleh penduduk langit . Ustadz yang baik tidak banyak “neko-2”,yang kalau tidak dijemput dengan Mercedes Benz segan untuk datang. Mereka tidak memasang tarif atau meminta upah, dan kadang-2 mereka datang hanya naik sepeda butut atau bergelantungan di bis kota. Tapi mereka ikhlas melaksanakan tugas sucinya hanya karena Allah SWT. Pamrihnya hanya satu yakni keridhaan-Nya. Tapi banyak orang yang justru melecehkannya sebagai Da’I yang tidak laku, tidak terkenal, tidak kharismatik, membosankan, dsb ,dsb.

“Tiada paksaan dalam agama . Sungguh , kebenaran jelas berbeda dari kesesatan . Maka barang siapa ingkar kepada thagut (syaitan dan sembahan selain Allah), dan ia beriman kepada Allah , sungguh . ia berpegang pada tali yang kuat, yang tiadakan putus . Dan Allah Maha Mendengar , Maha Tahu .” (Al Baqarah/02:256)

“Dan hendaklah ada diantara kamu suatu umat yang menyeru berbuat kebaikan , dan menyuruh orang melakukan yang benar , serta melarang yang mungkar . Merekalah orang yang mencapai kejayaan.“ (Ali Imran/03:104)

“Serulah ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan peringatan yang baik . Dan bantahlah mereka dengan (bantahan) yang lebih baik . Sungguh , Tuhanmu , Ialah yang lebih mengetahui siapa yang tersesat di jalan-Nya . Dan Ialah yang lebih mengetahui orang yang mendapat bimbingan.“ (An Nahl/16:125)

“Katakanlah ,“ Tiada aku meminta upah untuk (tugasku) ini kepadamu. Dan akupun bukan orang yang meng-ada-2-kan.” (Shad/38:86)

Dunia makin terbuka, kehidupan makin modern, pengaruh budaya global yang masuk dari Barat maupun dari Timur makin tak terbendung lagi. Pola hidup masyarakatpun semakin individualistis dan semakin materialistis. Kepentingan pribadi lebih diutamakan daripada kepentingan orang banyak. Semua kegiatan diukur dan dinilai dengan uang. Apa keuntungannya bagiku ? ; “ What in it for me ?” , demikian mereka selalu bertanya. Tidak seperti apa yang pernah diucapkan President Kennedy , “Jangan bertanya apa yang dapat kau peroleh dari negeri ini, tapi tanyalah apa yang telah kau perbuat untuk negeri ini! “

Apabila seorang Kennedy saja mempunyai prinsip yang demikian mulia, tentunya kita sebagai umat Islam harusnya merasa malu apabila ukuran yang kita pakai adalah seberapa besar keuntungan buat kantong kita sendiri.

Wabah “ matere ‘ ” telah menjalar pula kedalam kehidupan anak muda. “Ada uang abang sayang tidak ada uang abang melayang !” Pameo seperti itu sering kita dengar dikalangan anak muda. Kedengarannya seperti hanya sekedar jokes saja, tapi sebenarnya memang demikian kenyataannya. Dalam kasus yang lebih mengerikan lagi, tidak jarang terjadi, hanya karena setumpuk uang, keperawananpun rela di lelang. It’s really a wild wild world! Na’udzubillahi min dzalik!

“Ya Allah Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Lindungilah anak cucu kami dari kejahatan dan kekejaman dunia. Bimbinglah mereka selalu dalam lindungan-Mu. Sungguh, Engkaulah Maha Pelindung, Maha Pembimbing.“

Dalam dunia film dan sinetron, gaya-2 hidup materialistis hampir mewarnai seluruh produksinya. Ditambah lagi dengan kedok membawa missi moral, justru mereka tanpa sungkan-2 mengekspose budaya free love free sex dalam kehidupan anak muda di ibu kota. Para producer tidak peduli terhadap dampak dan akibat yang bisa ditimbulkan di kalangan anak-2 muda baik di ibu kota maupun di pelosok-2 desa. Yang penting filmnya sukses dan menuai keuntungan besar bagi kocek producernya.

Apabila kita tidak hati-2 dan terseret kedalam pengaruh kebebasan yang tak kenal batas, maka tanpa memanfaatkan kejernihan berpikir dan kebeningan nurani, kita bisa tersesat dalam rimba raya budaya bebas yang lebih menekankan pada kehidupan duniawi. Menghadapi hal-2 tersebut di atas, yang kita perlukan adalah filter keimanan dan pedoman nilai-2 luhur budaya Islami. Hal itu sangat penting untuk menghindarkan atau se-tidak-2-nya mengurangi dampak negative budaya luar yang makin permissive. Peganglah kuat-2 ajaran-2 fundamental yang telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul.
“Merekalah orang-2 yang membeli kehidupan dunia dengan mengorbankan (kehidupan) akhirat. Maka tiada diringankan baginya azab, dan tiada mereka beroleh pertolongan.” (Al Baqarah/02:86)

“Orang yang kafir tiada sedikitpun berguna baginya kekayaan dan anak-2-nya (untuk menolak azab Allah). Merekalah penghuni api (neraka), mereka tinggal di dalamnya se-lama-2-nya.” (Ali Imran/03:116)

“Orang yang kafir, sekiranya memiliki segala yang ada di bumi, ditambah sebanyak itu lagi untuk menebus dirinya dari azab hari kiamat, tiadalah (semua itu) akan diterima daripadanya. Mereka akan mendapat azab yang pedih menyakitkan.” (Al Ma’idah/05:36)

“Bukankah kehidupan di dunia ini hanya permainan dan senda gurau? Lebih baik kediaman akhirat bagi mereka yang takwa (kepada Tuhan). Maka tiadakah kamu mengerti juga?" (Al An’am/06:32)

“Dan segala sesuatu yang diberikan kepadamu, hanyalah kenikmatan hidup di dunia dan perhiasannya. Tapi apa-apa yang ada pada Allah, lebih baik dan lebih lestari.Tidakkah kamu paham?” (Al Qashash/28:60)

“Kehidupan di dunia ini hanyalah senda gurau dan main-2 belaka. Sungguh, negeri akhirat itulah se-benar-2-nya hidup, kalau mereka tahu.“ (Al Ankabut/29:64)

Salah satu tanda orang munafiq adalah bermuka dua. Secara lahiriah tampak mereka melaksanakan ibadah dengan baik, tapi sebenarnya ada motive lain dibalik penampilannya. Ingin memperoleh pujian, ingin pamornya naik, ingin memperoleh simpati dari atasannya, ingin dihormati oleh anak buahnya, dsb, dsb .

Amalannya bukan dilandasi keikhlasan dan keimanan untuk memperoleh ridha Allah SWT., tapi karena adanya tujuan-2 lain tersebut. Dalam istilah agama amalan seperti itu disebut riya’. Allah SWT memperingatkan dengan keras, jangan se-kali-2 ada riya’ dalam ibadah kita, karena hal itu akan menghilangkan dan menghancur-leburkan pahala amal-2 kita. Riya’ termasuk salah satu penyakit hati yang menjadi trade-mark-nya orang munafiq. Namun demikian tidak berarti hanya orang munafiq saja yang melakukan riya’. Kita-2-pun kalau tidak ber-hati-2, tanpa kita sadari bisa tertular penyakit ini, karena ia bisa tampil dengan cara yang sangat halus dan tidak kentara sama sekali.

Seorang yang pada waktu shalat sendiri dirumah biasanya relative cepat, pada waktu shalat sendiri di mesjid tampak lebih khusyuk dan lebih lama. Tanpa disadari hal itu bisa menjadi riya’. Apapun motivasinya. Karena ingin kelihatan khusyuk , karena takut dikatakan shalatnya asal-2-an, atau karena alasan lain , diluar mencari keridhaan-Nya. Orang yang membaca Al-Qur’an dengan suara keras agar orang lain mendengar bahwa ia sedang membaca Al-Qur’an, bisa termasuk salah satu amalan riya’.

Orang yang menceritakan bagaimana nikmatnya ia telah melakukan shalat tahajud tadi malam ; orang yang menceritakan bagaimana panjangnya ia telah berdzikir dan berdo’a ; orang yang bersedekah kemudian tidak ber-henti-2 menceritakannya kepada semua orang ; dan orang yang membantu saudaranya atau tetangganya, kemudian selalu mengingatkan kepada yang bersangkutan agar jangan lupa bahwa ia telah berbaik hati membantunya. Semua itu adalah riya’ ! Maka untuk menghindarkan yang satu ini, kita harus ekstra hati-2 dalam beramal. Janganlah terbetik sekecil apapun didalam hati kita motivasi lain dari amal kita, kecuali ikhlas karena Allah SWT. Janganlah dibiasakan meng-ungkit-2 kebaikan sendiri, baik kepada pihak yang telah kita bantu maupun kepada orang lain. Itu bisa menyakitkan hati orang yang menerima kebaikan tersebut. Sayang sekali apabila pahala amal kita jadi hilang percuma, hanya karena kita ingin membanggakan ibadah, kebaikan hati atau kedermawanan kita. Apabila kita melakukan kebaikan, janganlah di-sebut-2 atau diceritakan kepada orang lain, biarlah hal itu menjadi rahasia kita sendiri dengan Allah SWT. Sebaliknya, apabila kita menerima kebaikan orang lain, ceritakanlah hal itu kepada semua orang yang kita temui, jangan di-tutup-2-i.

“Janganlah kamu mengira orang yang bergembira dengan apa yang mereka capai, dan yang ingin mendapat pujian untuk apa yang tiada mereka lakukan, janganlah kamu mengira, bahwa mereka lolos dari azab. Bagi mereka azab yang yang pedih menyakitkan.“ (Ali Imran/03:188)

“Hai orang yang beriman! Janganlah batalkan sedekah mu dengan umpatan dan ganggguan, seperti orang yang menafkahkan kekayaannya supaya dilihat orang, tapi tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Perumpamaan mereka adalah seperti batu yang licin dengan tanah diatasnya. Maka tinggallah (batu yang) licin. Mereka tiada menguasai sesuatu-pun dari apa yang telah mereka dapatkan. Dan Allah tiada membimbing orang yang kafir.” (Al Baqarah/02:264)

“Sungguh, orang munafik (mengira telah) menipu Allah, tapi (Allah) (membalas) memperdayakan mereka. Dan bila mereka berdiri untuk melakukan shalat, mereka berdiri dengan malas saja, minta dilihat orang. Dan tiada mereka ingat Allah, kecuali sedikit saja.” (An Nisa’/04:147)

“Janganlah kamu jadi seperti orang yang keluar dari rumahnya dengan sombong dan ingin dilihat orang, serta merintangi (orang) dari jalan Allah. Allah meliputi dengan ilmu-Nya segala yang mereka lakukan.” (Al Anfal/08:47)

ZUHUD DAN MENYEMBUNYIKAN AMAL

Ulama-2 shalih masa lalu (ulama salaf) sangat ber-hati-2 dalam menjaga kemurnian amalannya. Jangan sampai, dengan atau tanpa sengaja, amalannya tercampur dengan niat lain kecuali mencari keridhaan-Nya. Hal yang sangat mereka khawatirkan adalah tercemarnya amalan mereka dengan penyakit hati seperti riya’, ujub, atau sum’ah. Mereka sangat faham, apabila amalan mereka tercemar dengan penyakit seperti itu, pahalanya akan hilang musnah hancur lebur tidak bersisa lagi. Dan di akhirat nanti mereka akan termasuk golongan orang yang bangkrut.

Mereka adalah hamba-2 pilihan yang seluruh kehidupannya dipersembahkan bagi Allah SWT. serta kejayaan agama-Nya. Mereka tidak mementingkan keperluan dirinya , mereka lebih memperhatikan kepentingan orang lain, tanpa membedakan yang satu dengan lainnya. Tidak berarti bahwa mereka mengucilkan diri dari urusan duniawi, tapi urusan akhirat lebih diutamakan. Mereka tetap bermuamalah dengan anggota masyarakat lainnya, dan mereka juga berinteraksi dalam segala macam transaksi duniawi. Tidak berbeda dengan manusia pada umumnya. Hal yang membedakannya dengan penduduk bumi lainya adalah, mereka tidak pernah memamerkan amalannya, tidak mencari popularitas, tidak membanggakan diri, tidak menepuk dada, tidak menyombongkan kepandaiannya, dan tidak menonjolkan keshalihannya. Mereka menjalani hidup dalam keheningan dan kebeningan nurani.

Mereka tidak pula termasuk kelompok sufi atau ulama yang menjalani kehidupan zuhud yang mengucilkan diri dari kehidupan duniawi, yang hidup menyendiri dan menyepi dari keramaian dunia, yang katanya untuk memperoleh derajat yang tinggi.

Kaum sufi atau ulama zuhud model begini, tampak hanya mementingkan diri sendiri, tidak peduli terhadap orang lain atau kehidupan sosial masyarakatnya. Mereka asyik berkhalwat ditempat sepi, tidak peduli banyak keluarga miskin disekitarnya memerlukan uluran tangan orang lain untuk mengatasi permasalahannya. Argumentasi yang disampaikan biasanya adalah,“ Bagaimana bisa membantu orang lain,sedang perut sendiri saja sudah sekian hari tidak terisi ?”
Siapa yang suruh? Bagaimana bisa beli makanan kalau kerjaannya hanya menyepi mengisolir diri dan tidak pernah mencari rezeki? Bagaimana orang bisa bersedekah apabila ia sendiri tidak bekerja dan lebih senang menerima sedekah orang lain ? Sedangkan Allah SWT. memerintahkan hambanya agar mencari rezeki dan makan dari rezeki yang diberikan-Nya. Tindakan menyiksa diri seperti itu, termasuk dalam kategori tindakan ber-lebih-2-an yang dilarang oleh Allah SWT. Kemudian mereka juga berdalih bahwa Tuhan menyenangi hambanya yang suka menyembunyikan amalnya, dan mereka menganggap mengisolir diri adalah cara yang paling baik untuk itu. Mereka lupa bahwa dengan demikian maka mereka telah meninggalkan perintah Allah SWT. untuk ber “amar- ma’ruf nahi-munkar “

Diriwayatkan oleh Asy Sya’by , seorang pakar fiqh dari Kufah , bahwa suatu sa’at ada beberapa orang yang pergi ke Kufah , lalu mereka pergi kesuatu tempat mengisolir diri dari keramaian kota untuk beribadah . Hal ini didengar oleh Abdullah bin Mas’ud , yang kemudian menemui mereka .

“Apa yang mendorong kalian melakukan hal ini ? ,“ tanya Ibnu Mas’ud .
“Kami ingin menjauh dari gemerlapnya kehidupan manusia untuk beribadah ,“ mereka menjawab .
“ Sekiranya semua orang berbuat seperti yang kalian lakukan , lalu siapa yang akan mengurusi umat ? Siapa yang akan maju berperang menghadapi musuh ? Aku tidak akan beranjak dari tempat ini sebelum kalian kembali .“ kata Ibnu Mas’ud dengan geram .

“ … Dan janganlah kamu membunuh dirimu sendiri. Sungguh, Allah amat Penyayang terhadap dirimu! “  (An Nisa’/04:29)

“Hai orang yang beriman! Janganlah haramkan yang baik-2 yang dihalalkan Allah bagimu. Dan janganlah ber-lebih-2-an. Sungguh, Allah tidak menyukai orang yang melampaui batas . Dan makanlah apa yang diberikan Allah kepadamu sebagai rezeki yang halal dan baik. Dan takwalah kepada Allah, yang kepada-Nya kamu beriman.” (Al Ma’idah/05:87-88)

“ Berimanlah kepada Allah dan Rasul-Nya, dan nafkahkanlah sebagian dari hartamu yang Ia jadikan kamu sebagai penguasanya. Maka orang-2 yang beriman diantara kamu, dan menafkahkan hartanya, bagi mereka pahala yang besar.“ (Al Hadid/57:07)

“Maka bertakwalah kepada Allah menurut kesanggupanmu. Dengarlah dan ta’atlah. Berilah nafkah yang baik demi keuntungan dirimu. Barang siapa yang terpelihara dari kekikiran dirinya, merekalah yang beroleh kejayaan.“ (At Taghabun/64:16)

Para ulama salaf tidak menjalani kehidupan zuhud seperti zuhud-nya para sufi. Dalam perspektif mereka pengertian zuhud adalah mengutamakan urusan akhirat dari pada urusan duniawi, tanpa harus mengucilkan atau mengisolir diri dari kehidupan bermasyarakat.

Zuhud yang benar adalah zuhud yang tidak lari dari manusia, yang tidak membebaskan diri dari tanggung-jawab sosialnya, tidak meninggalkan “amar-ma’ruf nahi-munkar“, tidak lari dari apapun dan tidak takut kepada siapapun kecuali Allah SWT.

Ibnul Jauzy berkata ,“ Para ahli zuhud berada disarang burung. Mereka mengubur diri sendiri dengan uzlah (mengisolir diri), tidak mau memberi manfaat kepada orang lain. Uzlah memang baik sekiranya tidak mencegah terhadap kebaikan, seperti shalat berjama’ah, mengiringkan jenazah, menjenguk orang sakit, dsb. Ada-pun yang paling baik adalah yang termasuk dalam golongan pemberani yakni mereka yang mau belajar dan mengajar. Dan itulah golongan para nabi.“ Orang-2 salaf seperti Ibnu Mubarok, Ayyub As Sakhtiyani dan lain-lain adalah tokoh-2 shalih yang aktif menjalankan Amar-Ma’ruf Nahi-Munkar, mereka mengahadirkan amal-2 shalih yang tersembunyi, namun mereka tidak melakukan uzlah, tidak diam meninggalkan ishlah (menjalin perdamaian) dalam masyarakat, dengan dalil yang lemah yang tidak jelas rujukannya.

Mereka sadar, bahwa dalam berinteraksi dengan manusia lain (hablum min-annas), hampir semua kegiatannya diwarnai adanya kepentingan dan pamrih antara pihak-2 yang terlibat. Dan bila tidak hati-2, hal tersebut bisa mengarah kepada timbulnya riya’, ujub atau sum’ah. Karenanya, mereka lebih suka merahasiakan atau menyembunyikan amalan-2 kebaikan yang dilakukannya, karena hal tersebut lebih dapat menjauhkannya dari penyakit-2 hati tersebut.

Dibawah ini diriwayatkan contoh beberapa tokoh salaf yang suka menyembunyikan amalan shalihnya.

Sa’d bin Ibrahim pernah berkata,“Aisyah biasa menutup pintunya kemudian shalat dhuha yang amat panjang .“

Muhammad bin Ziyad berkata,“ Aku pernah melihat Abu Umamah menemui seseorang di dalam mesjid yang sedang sujud sambil menangis dan berdo’a. Abu Umamah berkata kepada orang itu, “ Jika engkau melakukan hal semacam itu, lakukanlah didalam rumahmu “

Ibnu Munkadir berkata,“ Suatu malam aku pernah menghadap ke mimbar ini untuk berdo’a. Tiba-2 kulihat seorang yang kepalanya menekur kebawah. Kudengar sayup-2 ia berkata,“ Ya Robbi, sesungguhnya musim paceklik dan kelaparan menimpa hamba-2-Mu. Aku bermohon kepada-Mu ya Robbi, kiranya Engkau menurunkan hujan kepada mereka.” Tak seberapa lama kemudian muncul awan, kemudian Allah menurunkan hujan yang lebat.

Ibnu Munkadir merasa bahwa orang tersebut tentulah orang yang dimuliakan Allah SWT, sehingga dia perlu merahasiakan keberadaanya sebagai orang yang baik. Setelah imam mengucapkan salam, orang itu langsung bangkit dan pergi. Aku membuntutinya hingga tiba di rumah Anas. Dia masuk rumah dengan tawadhu’, membuka pintu dan masuk kedalam. Setelah matahari meninggi, aku menemuinya dan kukatakan kepadanya, “Bolehkah aku masuk ?“
Dia menjawab ,“ Silahkan masuk !“
Aku bertanya ,“ Bagaimana keadaanmu pagi ini ? Semoga Allah memberi kemaslahatan kepadamu .“
Dia menjawab ,“ Aku kira kemaslahatan itu terlalu besar bagiku . “
Aku berkata ,“ Aku mendengar do’amu semalam kepada Allah . Wahai saudaraku , apakah engkau mempunyai nafkah yang membuatmu kecukupan sehingga engkau menyendiri untuk akhirat ?”
Dia menjawab ,“ Tidak ada . Tapi saya mohon janganlah engkau menceritakan hal ini kepada siapapun hingga aku meninggal dunia dan janganlah engkau menemui aku lagi wahai Ibnu Mundzir , karena jika engkau menemui aku , maka hal itu bisa membuatku dikenal banyak orang .“

Sufyan menuturkan, aku diberitahu kebiasaan Ar Rabi’ bin Khutsaim , bahwa amal Ar Rabi’ selalu dirahasiakan . Jika ada seorang datang ketika dia sedang membaca Al-Qur’an , maka dia buru-2 menutupnya kembali .

Abu Hamzah Ats-Tsumaly berkata bahwa Ali bin Al Husain membawa roti dipunggungnya pada malam hari lalu mencari orang-2 miskin di kegelapan malam . Dia berkata ,“ Sesungguhnya shadaqoh yang diberikan pada kegelapan malam dapat memadamkan kemurkaan Allah .“ Penduduk Medinah hidup dengan makanan itu , sementara mereka tidak tahu , siapa yang memberi makanan itu kepada mereka Setelah Ali bin Al Husain meninggal dunia , maka mereka tidak lagi mendapatkan makanan pada malam hari .

Orang-2 salaf yang suka menyembunyikan amalnya kebanyakan tidak dikenal bahkan sering dilupakan manusia , tapi Allah SWT. tidak pernah melupakan mereka, dan penghuni langit sangat mencintainya. Hal ini se-mata-2 karena keikhlasannya banyak menyebut nama Allah secara sembunyi-2, jauh dari pandangan mata manusia yang lain .
Seharusnya kita merasa malu karena telah mengabaikan keberadaan hamba-2 Allah yang mulia . sementara kita mengenal secara rinci tokoh-2 duniawi seperti politikus , para pemimpin penyelenggara negara , sastrawan , budayawan , musikus , celebritis , dan bintang-2 sinetron . Padahal apabila kita tahu , mengenal hamba-2 pilihan yang dimuliakan Allah SWT. , lebih bermanfaat dan lebiih menyejukkan hati.

Dari sudut yang berbeda , banyak keutamaan menyembunyilkan amal justru disalah-gunakan oleh orang-2 yang malas , lemah dan tidak bersemangat , sebagai kedok . Sekiranya kita bermaksud untuk menasihatinya , dan menanyakan bagaimana ia melaksanakan amal shalihnya , seperti puasanya , shalatnya , hapalan Al- Qur’annya , dan pertanyaan-2 lain , untuk mengetahui seberapa jauh ia telah melaksanakan kewajiban agamanya , niscaya ia akan berdalih ,“ Ini merupakan urusan diriku dengan Allah . Apakah setiap amal yang kukerjakan harus kulaporkan kepadamu ? “
Sangat disayangkan ternyata orang seperti ini sangat banyak jumlahnya . Dan hal seperti itu sebenarnya adalah tipuan belaka , seperti mengaku merasa kenyang padahal tidak makan . Mudah-2-an kita dijauhkan dari sikap seperti itu .

Yusuf bin Asbath berkata :
“Allah Azza wa Jalla mewahyukan kepada seorang Nabi-Nya , katakanlah kepada mereka ,‘ Sembunyikan amal kalian karena aku , dan Akulah yang akan menampakkannya bagi mereka ‘ “

Sebenarnya menampakkan amal tidak dilarang oleh agama . Yang dilarang adalah apabila ditampakkannya amal karena adanya riya’ , ujub atau sum’ah . Riya’ adalah memamerkan amal atau adanya tujuan lain kecuali mencari keridhaan Allah dalam amalannya . Ujub adalah membanggakan atau menyombongkan amal kebaikan yang ada pada dirinya atau yang telah dilakukannya ; dan sangat suka apabila orang lain memuliakan dirinya karena amalnya . Sedangkan sum’ah adalah timbulnya perasaan bangga dan ber-bunga-2 atas pujian atau sanjungan orang lain terhadap dirinya karena amalnya .
Al A’masy berkata : Ada seseorang mendatangi Ubadah bin Ash Shamit , seraya berkata ,“ Bagimana pendapatmu mengenai seseorang yang mendirikan shalat karena mengharapkan Wajah Allah dan dia suka dipuji . Dia berpuasa karena mengharap Wajah Allah , namun dia juga suka dipuji ? “

Ubadah bin Ash Shamit menjawab ,“ Dia tidak mendapat pahala apapun . Sesungguhnya Allah berfirman ,‘ Siapa yang memiliki sekutu bersama-Ku , maka ia menjadi milik sekutunya secara keseluruhan dan tidak ada kebutuhannya kepada-Ku . ‘ “
Yusuf bin Asbath berkata ,“ Tidak ada sesuatu yang lebih dituntaskan orang-2 yang beribadah selain dari menghindari kesukaan dipuji (menginginkan sanjungan manusia).“
Bisyr berkata ,“ Orang yang menyukai popularitas berarti bukan orang yang takwa kepada Allah .“
Meskipun orang-2 salaf , mampu mengendalikan dirinya untuk tidak riya’ , ujub atau sum’ah , mengapa mereka lebih suka menyembunyikan amalnya? Toch, beramal dengan terang-2-an tidak dilarang oleh Allah SWT . sebagaimana firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat 274 . Mereka lebih suka menyembunyikan amalnya , karena Allah SWT. juga berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 271 , bahwa menyembunyikan amal lebih utama dari menampakkannya .
Ibnu Katsir menafsirkan , bahwa hal ini karena menyembunyikan amal lebih bisa menjauhkan diri dari riya’ .

“Jika kalian menampakkan shadaqah (kalian) , maka ini adalah baik sekali . Dan , jika kalian menyembunyikannya dan kalian beriSSkan kepada orang-2 fakir , maka menyembunyikan itu lebih baik bagi kalian . Dan , Allah akan menghapuskan dari kalian sebagian kesalahan-2 kalian,dan Allah mengetahui apa yang kalian kerjakan .“ (Al Baqarah/02:271)

“Sedikit riya’ merupakan syirik . Siapa yang memusuhi wali-2 Allah , berarti dia telah memperlihatkan permusuhan terhadap Allah .Sesungguhnya Allah menyukai orang-2 yang berbuat kebajikan , bertakwa dan menyembunyikan amalnya , yang sekiranya mereka tidak ada , maka mereka tidak di-cari-2 , dan jika mereka hadir , maka mereka tidak dikenali . Hati mereka adalah pelita petunjuk . Mereka keluar dari setiap sudut yang gelap .” (Mu’adz bin Jabal)

Masyarakat yang suka menyembunyikan amal dan hidup dalam keheningan hati yang suci , jelas berbeda dengan masyarakat yang mencintai hiruk pikuknya dunia ; suka memamerkan harta , kekuasaan dan amal kebaikannya ; senang disanjung dan dimuliakan karena amalnya , dan gandrung pada popularitas .

Kehadiran komunitas yang menjauhi pujian dan pamer keduniawiaan , akan terasa lebih menyejukkan dan tidak menimbulkan gangguan atau gejolak psychologis yang tidak perlu . Sementara didalam masyarakat yang haus mengejar popularitas , sanjungan serta pujian , akan timbul ketidak seimbangan dan ketidak harmonisan dalam hubungan antara manusia dalam masyarakat tersebut .

Orang cenderung lebih menghormati ketenangan dan keheningan dari pada ke-hiruk-pikukan atau kegaduhan . Sebagai contoh , didalam taman-2 pahlawan , justru yang memperoleh tempat paling terhormat adalah “ prajurit yang tidak dikenal ” , bukan Jendral-2 besar ahli strategy yang sangat terkenal .

Sumber : http://novalhassan.blogspot.com/2009/06/menyembunyikan-amal.html

Wallahu a'lam...
Semoga bermanfaat
Silahkan CHOPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

Tidak ada komentar:

Posting Komentar