Laman

Minggu, 27 Februari 2011

Ini Tentang Cinta Dan Ini Tentang Seni dalam Mengambil Keputusannya

Ini Tentang Cinta Dan Ini Tentang Seni dalam Mengambil Keputusannya

“Dijadikan Indah dalam pandangan manusia cinta terhadap apa yang diinginkan, berupa anak-anak, harta benda yang bertumpuk dalam bentuk emas dan perak, kuda pilihan, hewan ternak dan sawah lading. Itulah kesenangan dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik” [ Ali Imran : 14]

Cinta adalah garis tipis antara nafsu dan ketulusan. Hanya karena kekaguman semu terhadap penampilan fisik dan cover luar, banyak orang telah tertipu dalam memutuskan sebuah pilihan cintanya.

Padahal sebuah keputusan adalah momentum vital yang tak boleh kita remehkan. Karena keputusan cinta yang salah, akhirnya jangan aneh kalau perjalanan cinta anda isinya cuma pertengkaran, saling mencurigai, acuh tak acuh dengan kekasihnya sendiri, kebosanan, mulai melirik ke yang lain, tidak puas dengan semua yang ada pada kekasihnya terutama ketika sudah mulai melihat kekurangan demi kekurangan yang ada pada kekasihnya yang akhirnya berujung pada penyesalan panjang atau hancurnya sebuah perjalanan cinta. Padahal waktu dulu ketika pertama kali melihat sang pujaan, hati kita berdebar, setiap waktu kita penuh rindu, gundah dan lusinan kegelisahan, ditambah hidup yang penuh kekhawatiran atas keadaan kekasih kita.

Mengapa sekarang semuanya berubah? Mengapa bisa demikian? Jawabannya sederhana, bukan hanya kita tertipu oleh penampilan luar tapi kebanyakan kita juga terlalu cepat terbuai dalam mengambil keputusan. Umar Bin Khatab ra pernah menyarankan kepada kita bahwa untuk mengetahui kepribadian asli seseorang ada 3 hal yang harus dilakukan. Pertama adalah melakukan perjalanan jauh bersama orang tersebut, kedua adalah melakukan transaksi bisnis dan yang ketiga adalah bertetangga dengannya. Inti dari pesan khalifah Umar ini adalah kita tidak boleh tergesa-gesa dalam memberikan penilaian buruk dan baiknya seseorang. Apalagi dalam urusan orang yang akan kita jadikan belahan jiwa kita. Salah salah bisa menyesal deh kita akhirnya.

Jika kita sudah terpesona kepada keindahan fisik secara berlebihan. Kesalahan pertama ini akan diikuti dengan sikap gegabah selanjutnya. Sikap gegabah itu adalah sikap tergesa-gesa dalam mengagumi seseorang hanya karena keindahan fisiknya yang menurut kita cantik atau tampan, atau karena kita baru saja melihat sebuah kebaikan sesaat, secara kasat mata dalam dirinya. Memang berprasangka baik terhadap seseorang itu adalah hal yang disunnahkah, tapi bersikap waspada dan memberikan sedikit waktu kepada diri kita untuk mempertimbangkan secara matang sebuah keputusan cinta juga adalah sifat kehati-hatian yang sangat dianjurkan oleh Islam.

Agar cinta dapat bermuara pada kapal yang tepat dengan pemimpin dan pendamping yang tepat membutuhkan sebuah proses yang tidak cepat. Begitulah keputusan cinta harus dipersiapkan dengan matang dan seksama hingga ketika ia mengarungi samudera kehidupan ia selalu siap dengan managemen dan strategi yang baik dalam menghadapi semua dinamika keluarga dan kehidupan. Dalam prosesnya cinta adalah menggabungkan dua buah karakter manusia yang berbeda untuk menjadi kekuatan yang mampu mewarnai kehidupan yang isinya beragam. Disana ada keindahan kehidupan, namun disana ada juga badai yang selalu datang silih berganti dan tidak menentu. Oleh karena itu kesalahan dalam memilih sebuah kekasih hidup kita akan memberikan pengaruh besar dalam langkah ke depan cita-cita kehidupan kita.

Pertimbangan yang tepat adalah hal vital yang harus kita perhitungkan. Rasulullah SAW pernah mengingatkan kita tentang 4 hal yang harus diperhatikan dalam memilih seorang pasangan hidup. Pertama karena fisiknya, kedua karena keturunannya, ketiga karena kekayaannya dan keempat adalah sebaik-baiknya sebuah pilihan adalah karena agamanya.

Keputusan cinta itu seperti seni. Ia berbicara dengan kejernihan imajinasi akan cita-cita kehidupan yang tinggi. Jika kita mau seni itu memiliki nilai jual maka kita juga harus tahu bagaimana cara mengolah bahan baku perasaan kita agar bisa menjadi seni terindah yang memiliki nilai jual yang sangat mulia yang kita sering menyebutnya cinta sejati. Nilai jual itu hanya bisa kita dapatkan dalam keseimbangan guratan perasaan dan resep perpaduan antara logika, hati dan hakikat ibadah kita sebagai hamba Allah. Banyak orang salah memilih sebenarnya bukan karena ia tidak bisa memilih dengan tepat, tapi kebanyakan karena ia tidak mampu menyeimbangkan resep kehidupan tersebut dengan porsi dan takaran yang tepat dan seimbang.


Antara Perasaan, Logika Dan Hati Yang Bersih
“Dan kebanyakan mereka hanya mengikuti dugaan. Sesungguhnya dugaan itu tidak sedikitpun berguna untuk melawan kebenaran. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang mereka kerjakan” [Yunus : 36]

Perasaan adalah hal yang paling menjebak dalam sebuah gejolak cinta. Karena dari mata ia akan turun ke hati itulah bahasa populernya. Karena mitos tentang cinta itu buta tidak mesti ada jika kita mampu mengelola perasaan kita untuk tidak terlalu membuncah sebelum saatnya. Perasaanlah yang melahirkan rindu, resah, gundah, gelisah, egoisme dan sejuta hasrat yang mematikan nurani. Terlalu banyak mempercayakan keputusan cinta kita pada perasaan hanya akan membuat kita menjadi orang yang lemah. Berapa banyak kasus patah hati, putus asa, hilang semangat hidup, dendam hingga bunuh diri disebabkan cinta yang tak kesampaian. Semua itu bisa terjadi karena eksistensi perasaan terlalu mendominasi di dalam diri kita. Inilah mengapa banyak orang mengatakan cinta itu buta, yap! benar! Cinta itu buta karena kita telah membutakan hati nurani kita dengan perasaan yang terlanjur kita penjarakan diatas hawa nafsu kita sendiri.

Logika adalah sisi lain yang menemani langkah fitrah perasaan, ibarat kita sedang naik sebuah kendaraan. Perasaan adalah gas penambah kecepatan kendaraan kita maka logika akan bekerja sebagai remnya. Dengan adanya logika kita jadi bisa berpikir panjang tentang semua efek dan kemungkinan yang baik ataupun yang buruk tentang pilihan hidup kita. Dari logika lahir pertimbangan, analisa, perencanaan hingga kehati-hatian.

Setelah perasaan dan logika maka kita perlu mesin penggerak jiwa yang lain. Dialah hati kita. Perasaan lahir karena sentuhan hati begitu juga logika yang berprasangka baik lahir karena hati yang jauh dari penyakit. Pastikanlah sebelum kita membuka perasaan kita, sebelum kita mengejewantah dalam setiap pertimbangan cinta kita, pastikan bahwa hati kita dalam posisi yang bersih dan netral. Tidak berpihak pada pengharapan untuk memiliki, tidak juga skeptis dan merasa tidak layak untuk memiliki. Perasaan dan logika ibarat dua sisi timbangan, maka hati adalah tiang penyeimbangnya. Jika ia sedikit bergeser ke kanan, maka sisi kiri akan terasa lebih berat begitu juga sebaliknya.
“Sesungguhnya janji Allah itu benar.” [Al Mu’min : 77]


Keutamaan hati
Suatu ketika Lukman Al Hakim yang sedang menyembelih seekor kambing di datangi anaknya dan bertanya mana bagian manusia yang paling baik. Lukman Al Hakim mengambil bagian hati dari kambing tersebut dan menunjukkannya kepada anaknya. Begitu juga ketika anaknya menanyakan bagian terburuk dari manusia, Lukman Al Hakim tetap menunjukkan hati dari kambing tersebut. Begitu vital kontribusi hati dalam mempengaruhi seseorang adalah suatu hal yang tidak bisa kita bohongi.

Baik atau buruknya sebuah perasaan dan logika semua kembali kepada kualitas hati kita. Jika hati kita kotor dan penuh maksiat maka itupun akan mempengaruhi bentuk apresiasi perasaan dan pikiran kita. Pertanyaannya adalah bagaimana cara memiliki hati yang bersih dan kuat dari cobaan yang mampu mengotori kemurniannya?

Ibarat tubuh yang membutuhkan energi dari makanan seperti nasi, sayur mayur dan lauk pauk lainnya. Maka begitupun hati membutuhkan input energi. Hati juga membutuhkan makanan agar ia tidak sakit apalagi mati. Kualitas hati manusia itu terbagi menjadi tiga jenis, pertama adalah hati yang mati, kedua adalah hati yang sakit dan ketiga adalah hati yang sehat.

Kata Rasulullah SAW hati itu seperti besi, jika ia tidak dirawat ia akan berkarat lalu kropos dan mudah hancur dan patah, lalu mati tak berguna. Hati yang mati adalah hati yang sudah tidak bisa lagi menerima nasehat kebaikan. Ia sudah disesatkan oleh dominasi nafsunya yang terdorong oleh nilai-nilai yang jauh dari semua nasehat kebaikan. Pintu pencerahannya sudah ditutup dari semua bentuk hidayah Allah. Ia sudah tersesat karena kebodohannya sendiri.

Hati kita menjadi mati karena kita begitu sering mendustakan kebenaran Allah Swt. Kemaksiatan yang lahir dari sikap menyepelekan tuntunan hidup Allah Swt telah membuat hati menjadi sakit lalu mati karena tertutup oleh tumpukan noda hitam yang lahir karena maksiat demi maksiat yang kita lakukan. Mencintai sesuatu atau seseorang lebih daripada Allah Swt merupakan salah satu maksiat yang membutakan hati kita dari cahaya hidayah Allah. Apalagi kalau maksiat itu telah berubah menjadi sebuah rutinitas dan kebutuhan yang akhirnya telah membiasakan kita menjadikan itu bagian dari keseharian hidup kita, hingga tak ada lagi rasa bersalah dan takut kepada Allah Swt, maka percayalah kalian tidak akan pernah menemukan jejak cinta sejati dengan keputusan yang berasal dari hati yang mati seperti ini.


Ikhtiar dari sebuah misteri keputusan cinta
“tetapi boleh jadi kamu tidak menyenangi sesuatu padahal itu baik bagimu, dan boleh jadi kamu menyenangi sesuatu padahal itu tidak baik bagimu. Allah mengetahui sedangkan kamu tidak mengetahui.” [Al Baqoroh : 216]

Maka begitu juga ketika kita ingin mendapatkan kisah cinta terbaik dalam diri hidup ini, kita harus sadar tidak ada rasa cinta terbaik selain sentuhan cinta Allah kepada hidup kita. bahwa kita berikhtiar ingin mendapatkan yang terbaik bagi diri kita adalah hal yang sangat dibolehkan. Namun ketahuilah bahwa yang terbaik menurut kita belum tentu baik menurut Allah begitu juga sebaliknya. Beginilah akhirnya titik akhir perenungan dari usaha penyeimbangan perasaan, logika dan kebersihan hati akhirnya tetap berujung pada mulianya keridhoan Allah terhadap perjalanan cinta kita.

Menggapai keridhoan Allah, itulah akhir rahasia yang harus kita ketahui. Keridhoan Allah terhadap keputusan cinta kita akan menuai berkah. Berkah Allah tidak diukur dari materi semata, tapi juga kemampuan mengelola keluarga dalam proses pencocokan dua perbedaan manusia. Keberkahan adalah ikhtiar jiwa yang penuh keikhlasan baik di saat saat suka ataupun di saat duka. Keberkahan adalah energi bagi ruh dikala lemah, karena keberkahan adalah rasa syukur yang akan menghiburnya untuk tabah dan tegar diantara dinamika badai kehidupan. Keberkahan adalah persepsi dari pondasi ketakwaan. Karena dalam kondisi apapun hatinya akan lapang, dalam situasi segenting apapun jiwanya akan tetap tenang dan yakin akan pertolongan Allah. Keberkahan adalah kemampuan mengelola perbedaan menjadi kekuatan, dan menata kekurangan menjadi motivasi. Itulah makna berkah Allah yang paling hakiki, ia bukan materi atau hasrat duniawi yang membuta. Tapi dia adalah energi yang selalu membuat kita makin dekat dengan Allah dalam kondisi selonggar apapun atau bahkan sesulit apapun.

Inilah inti dari seni mengambil keputusan itu, inilah corong untuk melihat kesuksesan cinta itu. Beginilah semestinya cinta itu di tumbuhkan oleh kematangan analisa dan konsep hidup yang jelas. Ia tidak sekedar bicara tentang memilih, mengungkapkan dan meminang. Tapi cinta juga mempunyai hakikat yang paling mendasar harus dipahami oleh para pecinta yaitu memberi. Hakikat percintaan yang utama adalah memberi, bukan meminta apalagi menuntut. Memberi apa yang bisa kita berikan kepada orang yang kita cintai adalah ibadah. Dan itulah hakikinya sebuah pembuktian cinta yang di dalam bersemai ruang ibadah yang mulia. Karena itu orang orang yang ingin mendapatkan kenikmatan cinta terbaik iya harus tahu bagaimana seni memberikan cinta kepada orang yang saling mencintai bersama kita.


Vitalitas dan konsekuensi
“Mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat.” [ Al Baqoroh : 45]

Memberikan cinta terbaik harus dengan vitalitas terbaik. Karena itu dia tidak sembarangan. Semua itu memerlukan analisa akurat. Karena pertemuan cinta adalah kebahagiaan tapi dia bisa jadi masalah yang menyesakkan hati karena kita sedang memaksakan sebuah momen bukan menunggu momen yang tepat. Akhirnya yang kita temukan hanyalah perasaan yang rapuh, hati galau, pikiran yang gundah, air mata yang menyakitkan dan hati yang patah. Karena resiko ketergesa-gesaan adalah terpeleset dan jatuh. karena itu hati-hatilah.

Selain itu juga, hari ini ada begitu banyak wanita terenggut harga dirinya, melakukan seks bebas entah dalam kondisi terpaksa atau suka sama suka. Akhirnya semua bermuara pada penyesalan, penyesalan melahirkan rasa bersalah, dari rasa bersalah ada dua kemungkinan lagi yang lahir. Yang satu ia akan kapok dan menjaga diri untuk bertaubat atau ia justru makin larut dalam kehidupan bebas yang menyedihkan itu. Tidak sedikit memilih mencari ketenangan dan perhatian dengan jatuh ke pelukan demi pelukan laki-laki yang tidak jelas tanggung jawabnya. Tidak sedikit wanita yang terlanjur menjalani kehidupan prostitusi dengan alasan terlanjur basah. Kenistaan peradaban yang awalnya hanya dimulai karena masalah keputusan.

Maka sebelum kau memutuskan kondisikan semua perasaan, logika dan kebersihan hatimu pada titik cinta tertinggi menembus khasanah sidratul muntaha. Arahkan semua mata hati untuk melihat dengan jeli, jika kau tak sanggup maka mintalah malam malam menemanimu dengan sejuknya sentuhan wudhu dan heningnya sayup sayup syair kehidupan ketika kau bercumbu dengan Penciptamu di sepertiga malam yang sunyi. Karena di sana ada petunjuk vitalitas yang akan menuntunmu dari sikap ketergesa-gesaan. Disana ada kekuatan yang menjaga jiwa kita dari lelahnya melawan egosentris kedagingan yang setiap orang memilikinya.

Pastikanlah bahwa kondisi perasaan, logika dan hati kita dalam posisi yang sabar dan tenang. Tenang dalam keadaan berbunga bunga yang tidak berlebihan dan tidak juga dalam keadaan pesimis yang menyedihkan. Pastikan bahwa kita siap dengan semua resiko, siap melihat malam berarti anda harus siap melihat siang, siap melihat bulan berarti anda juga siap melihat mentari. Karena itulah hidup berputar seperti roda, seperti permainan rollercoaster, kadang kita diatas kadang kita dibawah, kadang semua sesuai harapan kita, kadang tidak juga. Karena apa? Karena garis hidup kita sudah ada yang menulis. siap menerima berarti siap ditolak. Siap menikmati kelebihan berarti siap juga mensyukuri kekurangan. Siap berharap berarti siap untuk untuk tidak diharapkan. Siap untuk menikahi istri seperti Khadijah ra berarti kita harus siap menjadi seperti Nabi Muhammad SAW. Pertimbangkanlah dalam kondisi hati yang bersih, perasaan yang tenang, logika yang sehat dan niat yang lurus.

Jangan biarkan nafsu kita memimpin kita untuk memilih sebuah momen pemberian cinta. Karena yang ada di sana hanya penyesalan pada akhirnya atau hanya kebahagiaan sesaat. Namun jika kita berhasil memenangkan pertempuran jiwa ini dan memilih karena kemuliaan ibadah. Niscaya waktu akan memperlihatkan pada kita apa itu kecantikan yang tak pernah keriput dan menua bahkan takkan pernah mati mengiringi umur bumi.

Kejelian sikap kita adalah hal yang menentukan, namun ketergesa-gesaan hanya akan membawa kita pada keterpurukan dan kenikmatan yang singkat. Karena itu bersabarlah..jangan menangkan hawa nafsumu..libatkan Allah, biarkan Dia yang menentukan yang terbaik bagi kita. Itupun jika memang kita percaya kepada vitalitas cinta, karena itu hanya datang dari keridhoan Allah, karena hanya Dialah sebaik baik cinta itu bisa kita dapatkan.

Bagaimana bukti kedahsyatan?
Pada saat itu kau tak menemukan satupun penyesalan dalam jiwa ketika kau memberikan cintamu pada mahligai kepribadian yang telah di pilih Allah untuk memimpin atau menemani sejarah hidupmu yang selanjutnya. Bahkan ketika kau mengetahui satu persatu tabir kekurangannya yang terbuka di hadapanmu..semua itu menjadi suatu kesempurnaan dirinya di hadapanmu. Kau akan memandang itu sebagai sebuah ladang amal kehidupan, sebuah peta yang mencerahkanmu akan jalan menuju cinta yang abadi. Kenapa kau bisa sebijak itu? Karena kisah cintamu dipenuhi keridhoan dan menuai berkah kehidupan ilahi.

Selamat mengambil keputusan semoga kita tidak salah dalam memaknai momentum kehidupan itu. Percayalah kita mungkin paling tahu apa yang kita mau, tapi Allah lebih tahu apa yang kita butuhkan. Maka keputusannya tetap ditangan anda begitu pula dengan semua resikonya.

“Maka berpegang teguhlah engkau pada (Dien) yang telah di wahyukan padamu. Sungguh, engkau berada di jalan yang lurus.” [As Zukhruf : 43]

Oleh : Muhammad Thufail Al Ghifari


Sumber : http://smaemunah.multiply.com/journal?&page_start=60


Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

Untukmu, Para Penuntut Ilmu

Penulis: Ummu ‘Affan Nafisah bintu Abi Salim'Sakinah,
Mutiara Kata, 12 - Februari - 2004, 00:38:36

Berikut ini adalah nasihat berharga yang ditinggalkan oleh seorang ‘alim yang mulia yang kini telah tiada. Keharuman ilmunya yang semerbak tetap dinikmati oleh para penuntut ilmu yang ingin meraup faidah darinya, Asy-Syaikh Abdul ‘Aziz bin Abdullah bin Baz, semoga Allah merahmatinya

Kuwasiatkan bagi seluruh kaum muslimin untuk bertakwa kepada Allah dan mempelajari agama di berbagai madrasah ataupun tempat menuntut ilmu agama lainnya, dan hendaknya mereka bertanya kepada ulama mengenai hukum-hukum agama yang masih menjadi permasalahan bagi mereka, karena Allah ta’ala berfirman:
“Dan bertanyalah kepada orang-orang yang berilmu, jika kalian tidak mengetahui.” (Al-Anbiya: 7)

Rasulullah bersabda:
 “Barangsiapa yang Allah kehendaki kebaikan baginya, maka Allah akan memahamkannya dalam agama.”

Adapun perkara yang paling penting dalam menuntut ilmu adalah membaca Al Qur’an Al Karim dan memahami maknanya, serta mencurahkan perhatian dan mempelajari sunnah-sunnah Rasulullah, juga mengambil faidah dari kitab-kitab ahlus sunnah, kitab tafsir Al Qur’an Al Karim, dan kitab-kitab yang menerangkan hadits-hadits Nabi buah karya para ulama yang terkenal dengan keilmuannya, kebaikan agama dan akidahnya.

Rasulullah bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al Qur’an dan mengajarkannya.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dalam Shahih-nya)
Beliau juga mengatakan:
“Barangsiapa menempuh jalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga. Dan tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu dari rumah-rumah Allah mereka membaca Kitabullah dan saling mengajarkannya di antara mereka, kecuali akan turun kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmah, dikelilingi oleh para malaikat, dan Allah akan menyebut-nyebut mereka kepada siapa saja yang ada di sisi-Nya. Barangsiapa yang berlambat-lambat dalam amalannya, niscaya tidak akan bisa dipercepat oleh nasabnya.” (HR. Muslim dalam Shahih-nya)

Telah diketahui bahwasanya mempelajari syariat Allah yang untuk tujuan itulah manusia diciptakan adalah kewajiban yang paling penting. Allah telah memudahkan jalan untuk menuntut ilmu bagi semua orang, baik itu melalui siaran Idza’ah Al Qur’an Al Karim1, Nur ‘alad Darb2 maupun halaqah-halaqah ilmu yang diadakan di masjid, atau melalui kajian intensif ilmiah dan media yang lain.

Seorang mukmin ataupun mukminah wajib untuk memperhatikan dan mengambil faidah darinya, di mana pun dia berada. Yang perlu diperhatikan adalah larangan menyimak segala sesuatu yang dapat merusak hati dan akhlak, seperti nyanyian, kaset-kaset yang menyimpang, atau pun alat-alat musik. Semua ini merusak hati dan akhlak, sehingga wajib untuk memperingatkannya dan menasihatkan untuk meninggalkannya, dalam rangka mengamalkan firman Allah :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia berada di dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shalih dan orang-orang yang saling berwasiat dengan al haq dan saling berwasiat di dalam kesabaran.” (Al-‘Ashr: 1-3)
Dan sabda Rasulullah :
“Agama ini adalah nasihat.” Kemudian ditanyakan kepada beliau, “Untuk siapa, wahai Rasulullah?” Beliau mengatakan, “Untuk Allah, Kitab-Nya, Rasul-Nya, dan untuk para imam kaum muslimin dan orang-orang awam di kalangan mereka.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya)

Perkara yang harus diperhatikan sungguh-sungguh dan harus saling diwasiatkan oleh kaum muslimin semuanya, adalah menyeru manusia kepada Allah dan memerintahkan mereka pada kebaikan dan melarang dari kemungkaran. Karena hal ini merupakan sebab terbesar yang dapat memperbaiki hati dan masyarakat. Dengannya kemuliaan mereka akan tampak dan kehinaan akan tertutupi. Dalil-dalil tentang hal ini sangatlah banyak, di antaranya surat Al-‘Ashr dan hadits Ad-Diinu An-Nashihah di atas, termasuk pula firman Allah :
“Dan saling tolong-menolonglah kalian di dalam kebaikan dan takwa dan janganlah kalian saling tolong-menolong dalam dosa dan permusuhan.” (Al-Maidah: 2)

“Dan orang laki-laki yang beriman dan wanita yang beriman adalah wali sebagian yang lain. Mereka saling memerintahkan kepada hal yang ma’ruf dan melarang kepada yang mungkar dan mereka mendirikan shalat dan mereka menunaikan zakat. Dan mereka menaati Allah dan Rasul-Nya. Mereka itulah orang-orang selalu dirahmati oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mulia dan Maha Sempurna Hikmah-Nya.” (At-Taubah: 71)

Dan sabda Nabi :
“Barangsiapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka dia mendapatkan pahala semisal dengan orang yang melakukannya.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya)

“Barangsiapa di antara kalian yang melihat satu kemungkaran hendaknya ia mengubah dengan tangannya, apabila ia tidak mampu maka hendaknya ia mengubahnya dengan lisannya, namun apabila ia tidak mampu maka dengan hatinya dan ini adalah selemah-lemah keimanan.” (Shahih, HR. Muslim dalam Shahih-nya)

Di samping itu masih banyak ayat-ayat serta hadits-hadits dalam masalah ini. Tidak diragukan lagi bahwa kewajiban para pengajar lebih berat daripada kewajiban murid-muridnya. Wajib bagi mereka untuk memperhatikan anak didiknya dan mengarahkan mereka agar memiliki akhlak mulia, sifat-sifat yang terpuji serta mengamalkan apa yang telah mereka ketahui. Kewajiban para pengajar wanita adalah bertakwa kepada Allah dalam mendidik murid-murid perempuan mereka, dan mengajarkan kepada mereka akhlak mulia yang dilandasi oleh agama dan aqidah yang benar di dalam setiap pelajaran dan nasihat, sehingga akan muncul generasi yang shalih dari kalangan para pelajar dan pengajar, kelak di kemudian hari. Kewajiban para pengajar merupakan sesuatu yang besar, demikian pula dakwah kepada Allah ta’ala merupakan kewajiban yang besar bagi setiap orang.

Oleh karena itu, setiap orang yang berilmu wajib mengajari anak-anaknya serta keluarganya dan selain mereka sesuai kemampuannya. Begitu pula setiap wanita yang berilmu, wajib mengajari anak-anak, saudara perempuannya dan para wanita di sekelilingnya. Hendaknya ia mengambil kesempatan dalam pertemuan-pertemuan, seperti walimah dan yang lainnya, untuk berdakwah kepada Allah dan memerintahkan perkara yang ma’ruf serta mencegah dari perkara-perkara yang mungkar, memberikan peringatan kepada kaumnya, mengajari serta memberi petunjuk kepada mereka.

Ketika melihat saudaranya ber-tabarruj3 di hadapan laki-laki atau di jalanan, hendaknya ia melarang dan memperingatkannya dari perbuatan seperti itu. Ia harus pula memperingatkan anak-anak, saudara-saudara perempuan ataupun tetangga dan selain mereka, dari rasa malas menunaikan shalat, mengajak mereka untuk melakukan kebaikan dan melarang mereka dari kemungkaran. Inilah kewajiban setiap orang, sebagaimana Allah berfirman:
“Dan laki-laki yang beriman dan perempuan yang beriman sebagian mereka adalah wali bagi sebagian yang lain.” (At-Taubah: 71)

Makna / auliya disini adalah bahwasanya mereka saling mencintai karena Allah sehingga mereka tidak saling bermusuhan. Seorang mukmin adalah wali bagi saudaranya sesama muslim, demikian juga seorang mukminah adalah wali bagi bagi saudaranya yang muslim. Mereka harus saling memerintahkan pada kebaikan dan memperingatkan dari kemungkaran, saling menasihati karena Allah.

Dengan demikian, seorang suami seharusnya memerintahkan istrinya kepada perkara yang ma’ruf dan melarangnya dari perkara yang mungkar, demikian pula yang dilakukan seorang istri. Ketika melihat suaminya melalaikan shalat, meminum minuman yang memabukkan, merokok atau memotong jenggotnya, maka ia mengatakan kepada suaminya, “Bertakwalah kepada Allah, tidak sepantasnya kau melakukan hal ini. Bagaimana bisa engkau menyukai perbuatan jelek seperti itu? Bagaimana bisa engkau bermaksiat terhadap Rabbmu?” Hendaknya dia menyampaikan ucapannya dengan kata-kata yang lembut dan cara yang baik. Jangan sampai ia merasa sungkan ataupun bosan.

Demikian pula semestinya yang dia tunaikan terhadap ayahnya, saudaranya, ibunya, tetangga maupun teman-temannya. Inilah yang wajib dilaksanakan oleh setiap muslimin dan muslimat di mana pun mereka berada dan apa pun profesi mereka. Hal ini adalah kewajiban mereka sesuai kemampuan dan ilmu yang mereka miliki.

Aku memohon kepada Allah dengan seluruh nama-nama-Nya yang terpuji dan sifat-sifat-Nya yang tinggi, agar Dia memberi taufik kepada kita beserta seluruh kaum muslimin menuju perkara-perkara yang diridhai-Nya, menunjukkan kepada kita jalan-Nya yang lurus dan menganugerahkan pemahaman dan kekokohan dalam agama. Semoga kita dikaruniai taufik untuk menegakkan kewajiban dalam ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya dan saling menasihati kepada Allah dan hamba-hamba-Nya.

Tak luput aku wasiatkan kepada seluruh kaum muslimin agar mereka berdoa bagi saudaranya yang jauh, yang tidak di hadapannya, dan hendaknya mendoakan para pemimpin di dalam shalat atau ketika akhir malam agar mendapatkan taufik dan hidayah serta kebaikan dan perbaikan. Pemerintah sangatlah membutuhkan doa, agar Allah memperbaiki mereka dan memperbaiki keadaan masyarakat dengan adanya mereka serta memberi petunjuk kepada mereka dan memberi petunjuk kepada masyarakat dengan keberadaan mereka.

Oleh sebab itu, mereka pantas untuk mendapatkan doa. Bagi para pemimpin negeri ini (Saudi Arabia) dan seluruh pemimpin kaum muslimin di mana pun berada, doakanlah mereka dengan kebaikan, taufik dan hidayah. Doakanlah pula anak dan istri kalian, juga selain mereka, agar mendapatkan petunjuk, taufik, kebaikan, taubat yang nashuha. Allah berfirman:

“Katakanlah inilah jalanku.” (Yusuf: 108) Maknanya: Katakanlah wahai Muhammad, inilah jalanku di mana aku dan para pengikutku menyeru kepada Allah di atas bashirah (cahaya/ ilmu). Demikianlah para pengikut Nabi baik dari kalangan laki-laki maupun perempuan mereka menyeru manusia kepada Allah di atas bashirah (cahaya/ilmu), memperingatkan manusia dari bermaksiat kepada-Nya, dan mereka memberi bimbingan kepada manusia menuju kebaikan. Allah  berfirman:
“Serulah manusia kepada jalan Rabbmu dengan hikmah dan nasehat yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (An-Nahl: 125)

Ayat ini tidak terkhususkan bagi laki-laki tanpa mencakup wanita ataupun sebaliknya, tetapi merupakan kewajiban bagi mereka semua sekadar ilmu dan kemampuan mereka, sebagaimana firman-Nya:
“Bertakwalah kalian kepada Allah semampu kalian.” (At-Taghabun: 16)

Para ulama serta para pengajar memiliki kewajiban besar, demikian pula para pemuka dan tokoh masyarakat. Kewajiban mereka lebih berat dibanding yang lainnya sesuai kemampuan ilmu dan kekuatan mereka. Hendaknya setiap muslim mengetahui perkara yang menjadi kewajibannya dan memperhatikan kewajiban tersebut serta mendekatkan diri dan bertakwa kepada Allah dalam hal tersebut. Kita berada di akhir zaman di mana Islam semakin asing, sehingga wajib bagi kita untuk saling bahu-membahu dan saling tolong-menolong dalam kebaikan dan kebenaran. Kami memohon taufik kepada Allah dan memohon hidayah serta kekokohan dan kesudahan yang baik bagi seluruh kaum muslimin.

Semoga Allah memberi taufik kepada kita semuanya menuju perkara yang diridhai-Nya dan semoga Ia memberi petunjuk kepada kita menuju jalan-Nya yang lurus. Sesungguhnya Dia Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Dan shalawat serta salam kepada Nabi kita Muhammad, para shahabat beliau dan orang-orang yang mengikuti beliau dengan baik hingga hari kiamat.

(Diterjemahkan dari Mauqi’ Ibnu Baz dalam Majmu’ Fatawa wa Maqalat, juz 9).
.sumber URL ; www.asysyariah.com 


Sumber : http://abudiat.blogspot.com/


Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

Hak-Hak Suami Atas Isteri dan Hak-Hak Istri atas Suami

HAK-HAK SUAMI ATAS ISTRI

Wahai isteri yang shalihah, ini adalah hak-hak suami atasmu. Bersungguh-sungguhlah dalam menunaikan hak-hak tersebut dan lupakanlah jika suamimu kurang dapat memenuhi hak-hakmu karena sesungguhnya yang demikian itu akan dapat melanggengkan cinta dan kasih sayang di antara kalian, dapat memelihara keharmonisan rumah tangga sehingga dengannya masyarakat akan menjadi baik pula.

[1]. Wanita yang cerdas dan pandai akan mengagungkan apa yang telah diagungkan oleh Allah dan Rasul-Nya dan menghormati suaminya dengan sebenar-benarnya, ia bersungguh-sungguh untuk selalu taat kepada suami karena ketaatan kepada suami termasuk salah satu di antara syarat masuk Surga. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
“Apabila seorang wanita mau menunaikan shalat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat terhadap suaminya, maka akan dikatakan kepadanya (di akhirat), ‘Masuklah ke Surga dari pintu mana saja yang engkau kehendaki.”  [Shahih: Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 660), Ahmad (XVI/228, no. 250)]

Maka kewajibanmu sebagai seorang isteri, wahai para wanita shalihah, adalah untuk selalu mendengar dan taat terhadap setiap perintah suami selama tidak menyelisihi syari’at. Akan tetapi berhati-hatilah, jangan sampai engkau berlebih-lebihan dalam mentaati perintah suami sehingga mau mentaatinya dalam kemaksiatan. Karena sesungguhnya jika melakukan hal tersebut, maka engkau telah berdosa.

[2]. Di antara hak suami atas isteri, seorang isteri harus menjaga kehormatan dan memelihara kemuliaannya serta mengurusi harta, anak-anak, dan segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan rumah, sebagaimana firman Allah Ta’ala,
“Sebab itu, maka wanita yang shalih, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara (mereka).”  [QS. An-Nisaa': 34]

Dan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
“Dan seorang isteri adalah pemimpin di dalam rumah suaminya dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.”  [Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (II/380 no. 893), Shahiih Muslim (III/1459 no. 1829)]

[3]. Berhias dan memperindah diri untuk suami, selalu senyum dan jangan bermuka masam di depannya. Jangan sampai menampakkan keadaan yang tidak ia sukai. Ath-Thabrani telah mengeluarkan sebuah hadits dari ‘Abdullah bin Salam radhiyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Sebaik-baik isteri ialah yang engkau senang jika melihatnya, taat jika engkau perintah dan menjaga dirinya dan hartamu di saat engkau pergi.”  [Shahiih: Shahiih al-Jaami'ish Shaghiir (no. 3299)]

Janganlah engkau sekali-kali menampakkan perhiasan pada orang yang tidak boleh melihatnya, karena hal itu adalah merupakan perkara yang diharamkan.

[4]. Isteri harus selalu berada di dalam rumahnya dan tidak keluar meskipun untuk pergi ke masjid kecuali atas izin suami. Allah berfirman,
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu.” [QS. Al-Ahzaab: 33]

[5]. Janganlah seorang isteri memasukkan orang lain ke dalam rumah kecuali atas izinnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Hak kalian atas para isteri adalah agar mereka tidak memasukkan ke dalam kamar tidur kalian orang yang tidak kalian sukai dan agar mereka tidak mengizinkan masuk ke dalam rumah kalian bagi orang yang tidak kalian sukai.”  [Hasan: Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1501), Sunan at-Tirmidzi (II/315 no. 1173), Sunan Ibni Majah (I/594 no. 1851)]

[6]. Isteri harus menjaga harta suami dan tidak menginfaqkannya kecuali dengan izinnya. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah seorang isteri menginfaqkan sesuatu pun dari harta suaminya kecuali atas izinnya.” Kemudian ada yang bertanya, “tidak juga makanan?” Beliau menjawab, “bahkan makanan adalah harta yang paling berharga.”  [Hasan : Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1859), Sunan at-Tirmidzi (III/293 no. 2203), Sunan Abi Dawud (IX/478 no. 3548), Sunan Ibni Majah (II/770 no. 2295)]

Bahkan di antara hak suami atas isteri adalah agar ia tidak menginfaqkan harta miliknya jika ia mempunyai harta kecuali jika sang suami mengizinkannya karena dalam sebuah hadist yang lain Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

“Janganlah seorang isteri menggunakan sesuatu pun dari hartanya kecuali dengan izin suaminya.”  [Dikeluarkan oleh Syaikh al-Albani dalam Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 775), beliau berkata, "Telah dikeluarkan oleh Tamam dalam al-Fawaa-id (II/182 no. 10) dari jalan 'Anbasah bin Sa'id dari Hammad, maula (budak yang dibebaskan). Bani Umayyah dari Janaah maula al-Walid dari Watsilah, ia berkata, "Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam bersabda, kemudian ia menyebutkan hadits tersebut." Beliau (al-Albani) berkata, "Sanad hadits ini lemah, akan tetapi ada beberapa riwayat penguat yang menunjukkan bahwa hadits ini adalah tsabit."]

[7]. Janganlah seorang isteri melakukan puasa sunnah sedangkan suami berada di rumah kecuali dengan izinnya, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam yang berbunyi,  
“Tidak boleh bagi isteri melakukan puasa (sunnah) sedangkan suaminya ada kecuali dengan izinnya.” [Mutaffaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/295 no. 5195), Shahiih Muslim (no. 1026)]

[8]. Janganlah seorang isteri mengungkit-ungkit apa yang pernah ia berikan dari hartanya untuk suami maupun keluarga karena menyebut-nyebut pemberian akan dapat membatalkan pahala. Allah Ta’ala berfirman, “Hai orang-orang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti perasaan (si penerima).” [QS. Al-Baqarah: 264]

[9]. Isteri harus ridha dan menerima apa adanya, janganlah ia membebani suami dengan sesuatu yang ia tidak mampu. Allah Ta’ala berfirman,
“Hendaklah orang yang mampu memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan rizkinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang Allah berikan kepadanya. Allah kelak akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.”  [QS. Ath-Thalaq: 7]

[10]. Isteri harus bersungguh-sungguh mendidik anak-anaknya dengan kesabaran. Janganlah ia marah kepada mereka di depan suami dan jangan memanggil mereka dengan kejelekan maupun mencaci-maki mereka karena yang demikian itu akan dapat menyakiti hati suami.

[11]. Isteri harus dapat berbuat baik kepada kedua orang tua dan kerabat suami karena sesungguhnya isteri tidak dianggap berbuat baik kepada suami jika ia memperlakukan orang tua dan kerabatnya dengan kejelekan.

[12] Janganlah isteri menolak jika suami mengajaknya melakukan hubungan intim karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Apabila seorang suami mengajak isterinya ke tempat tidur, tapi ia menolak untuk datang lalu sang suami marah sepanjang malam maka para Malaikat melaknatnya (sang isteri) hingga datang waktu pagi.”  [Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/294 no. 5194), Shahiih Muslim (II/1060 no. 1436), Sunan Abu Dawud (VI/179 no. 2127)]

Dan di dalam hadits yang lain beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Apabila seorang suami mengajak isterinya untuk berhubungan intim, maka hendaknya sang isteri melayaninya meskipun ia sedang berada di atas unta.”  [Shahih: Shahiih al-Jaami' as-Shaghiir 534, Sunan at-Tirmidzi (II/314 no. 1160)]

[13]. Isteri harus dapat menjaga rahasia suami dan rahasia rumah tangga, janganlah sekali-kali ia menyebarluaskannya. Dan di antara rahasia yang paling yang sering diremehkan oleh para isteri sehingga ia menyebarluaskannya kepada orang lain, yaitu rahasia yang terjadi di ranjang suami isteri. Sungguh Rasulullah shalallahu ‘alaihi telah melarang hal demikian.

[14]. Isteri harus selalu bersungguh-sungguh dalam menjaga keberlangsungan kehidupan rumah tangga bersama suaminya, janganlah ia meminta cerai tanpa ada alasan yang disyari’atkan. Dari Tsauban radhiyallahu’anhu, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Isteri mana saja yang minta cerai dari suaminya tanpa adanya alasan, maka ia tidak akan mencium bau wanginya Surga.”  [Shahih: Irwaa-ul Ghaliil (no. 2035), Sunan at-Tirmidzi (II/329 no. 1199), Sunan Abi Dawud (VI/308 no. 2209), Sunan Ibni Majah (I/662 no. 2055)]

Dan dalam hadits yang lain beliau shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,  
“Para isteri yang minta cerai adalah orang-orang yang munafik.”  [Shahih: Shahiih al-Jaamii'ish Shaghiir (no. 6681), Silsilah al-Ahaadiits ash-Shahiihah (no. 632), Sunan Tirmidzi (II/329 no. 1198)]


www.shalihah.com Sumber: ‘Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz’ edisi Bahasa Indonesia ‘Panduan Fiqih Lengkap Jilid 2′ karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka Ibnu Katsir

Sumber : http://www.humairoh.inef.web.id/2010/09/hak-hak-suami-atas-isteri.html


HAK-HAK ISTRI ATAS SUAMI
Berikut ini adalah beberapa hak-hak isteri atas suami. Namun ketahuilah wahai para isteri yang shalihah, hendaknya engkau melupakan kekurangan suami dalam hal memenuhi hak-hak mereka. Kemudian hendaklah menutupi kekurangan suami tersebut dengan bersungguh-sungguh dalam mengabdikan diri untuk suami karena dengan demikian kehidupan rumah tangga yang harmonis akan dapat kekal dan abadi.
"Karena dengan demikian kehidupan rumah tangga yang harmonis akan dapat kekal dan abadi."

Dan hak-hak istri atas suaminya adalah:
[1]. Suami harus memperlakukan istri dengan cara yang ma’ruf karena Allah Ta’ala telah berfirman,  
“Dan bergaullah dengan mereka secara patut.”  [QS. An-Nisaa': 19]

Yaitu, dengan memberinya makan apabila ia juga makan dan memberinya pakaian apabila ia berpakaian. Mendidiknya jika takut ia akan durhaka dengan cara yang telah diperintahkan oleh Allah dalam mendidik istri, yaitu dengan cara menasihatinya dengan nasihat yang baik tanpa mencela dan menghina maupun menjelek-jelekannya. Apabila ia (istri) telah kembali taat, maka berhentilah, namun jika tidak, maka pisahlah ia di tempat tidur. Apabila ia masih tetap pada kedurhakaannya, maka pukullah ia pada selain muka dengan pukulan yang tidak melukai sebagaimana firman Allah:
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasihatilah mereka dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Mahatinggi lagi Mahabesar.”  [QS. An-Nisaa': 34]

Dan juga berdasarkan sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam tatkala ditanya apakah hak isteri atas suaminya? Beliau menjawab,
“Engkau memberinya makan jika engkau makan, engkau memberinya pakaian jika engkau berpakaian, janganlah memukul wajah dan janganlah menjelek-jelekkannya serta janganlah memisahkannya kecuali tetap dalam rumah.” [Shahih: Shahiih Sunan Ibni Majah (no. 1500), Sunan Abi Dawud (VI/180, no. 2128, Sunan Ibni Majah (I/593 no. 1850)]

Sesungguhnya sikap lemah lembut terhadap istri merupakan indikasi sempurnanya akhlak dan bertambahnya keimanan seorang mukmin, sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam,
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya ialah yang paling bagus akhlaknya dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” [Hasan Shahih: Shahiih Sunan at-Tirmidzi (no. 928), Sunan at-Tirmidzi (II/315 no. 1172)]

[2]. Suami harus bersabar dari celaan isteri serta mau memaafkan kekhilafan yang dilakukannya karena Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“Janganlah seorang mukmin membenci mukminah. Apabila ia membencinya karena ada satu perangai yang buruk, pastilah ada perangai baik yang ia sukai.[Muttafaq 'alaih: Shahiih al-Bukhari (IX/253 no. 5186), Shahiih Muslim (II/ 1091 no. 1468 (60)]

Sebagian ulama Salaf mengatakan, “Ketahuilah bahwasanya tidak disebut akhlak yang baik terhadap isteri hanya dengan menahan diri dari menyakitinya namun dengan bersabar dari celaan dan kemarahannya.”

[3]. Suami harus menjaga dan memelihara isteri dari segala sesuatu yang dapat merusak dan mencemarkan kehormatannya, yaitu dengan melarangnya dari bepergian jauh (kecuali dengan suami atau mahramnya). Melarangnya berhias (kecuali untuk suami) serta mencegahnya agar tidak berikhtilath (bercampur baur) dengan para lelaki yang bukan mahram.

Suami berkewajiban untuk menjaga dan memeliharanya dengan sepenuh hati. Ia tidak boleh membiarkan akhlak dan agama isteri rusak. Ia tidak boleh memberi kesempatan baginya untuk meninggalkan perintah-perintah Allah ataupun bermaksiat kepada-Nya karena ia adalah seorang pemimpin (dalam keluarga) yang akan dimintai pertanggungjawaban tentang isterinya, Ia adalah orang yang diberi kepercayaan untuk menjaga dan memeliharanya.

[4]. Suami harus mengajari isteri tentang perkara-perkara penting dalam masalah agama atau memberinya izin untuk menghadiri majelis-majelis taklim. Karena sesungguhnya kebutuhan dia untuk memperbaiki agama dan mensucikan jiwanya tidaklah lebih kecil dari kebutuhan makan dan minum yang juga harus diberikan kepadanya.

[5]. Suami harus memerintahkan isterinya untuk mendirikan agamanya serta menjaga shalatnya, berdasarkan firman Allah Ta’ala,
“Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya.”   [QS. Thahaa: 132]

[6]. Suami mau mengizinkan isterinya keluar rumah untuk keperluannya, seperti jika ia ingin shalat berjama’ah di masjid atau ingin mengunjungi keluarga, namun dengan syarat menyuruhnya tetap memakai hijab busana muslimah dan melarangnya untuk tidak bertabarruj atau sufur. Sebagaimana ia juga harus melarang isteri agar tidak memakai wangi-wangian serta memperingatkannya agar tidak ikhtilath dan bersalam-salaman dengan laki-laki yang bukan mahram, melarangnya menonton telivisi dan mendengarkan musik serta nyanyian-nyanyian yang diharamkan.

[7]. Suami isteri tidak boleh menyebarkan rahasia dan menyebutkan kejelekan-kejelekan isteri di depan orang lain. Karena suami adalah orang yang dipercaya untuk menjaga isterinya dan dituntut untuk dapat memeliharanya. Di antara rahasia suami isteri adalah rahasia yang mereka lakukan di atas ranjang. Rasulullah shalalallahu ‘alaihi wasallam melarang keras agar tidak mengumbar rahasia tersebut di depan umum.

[8]. Suami mau bermusyawarah dengan isteri dalam setiap permasalahan, terlebih lagi dalam perkara-perkara yang berhubungan dengan mereka berdua, anak-anak, sebagaimana apa yang telah dicontohkan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam. Beliau selalu bermusyawarah dengan para isterinya dan mau mengambil pendapat mereka.

[9]. Suami harus segera pulang ke ruamh isteri setelah shalat ‘Isya. Janganlah ia begadang di luar rumah sampai larut malam. Karena hal itu akan membuat hati isteri menjadi gelisah. Apabila hal itu berlangsung lama dan sering berlang-ulang, maka akan terlintas dalam benak isteri rasa waswas dan keraguan. Bahkan di antara hak isteri atas suami adalah untuk tidak begadang malam di dalam rumah namun jauh dari isteri walaupun untuk melakukan shalat sebelum dia menunaikan hak isterinya.

[10]. Suami harus dapat berlaku adil terhadap para isterinya jika ia mempunyai lebih dari satu isteri. Yaitu berbuat adil dalam hal makan, minum, dan pakaian, tempat tinggal dan dalam hal tidur seranjang. Ia tidak boleh sewenang-wenang atau berbuat zhalim karena sesungguhnya Allah Ta’ala melarang yang demikian.

Sumber: ‘Al-Wajiiz fii Fiqhis Sunnah wal Kitaabil ‘Aziiz’ edisi Bahasa Indonesia ‘Panduan Fiqih Lengkap Jilid 2′ karya ‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi, Pustaka Ibnu Katsir
http://www.shalihah.com/

Sumber : http://www.humairoh.inef.web.id/2010/09/hak-hak-istri-atas-suami.html


Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

Tiga Pokok Kebahagiaan


Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,
 “Ada tiga pokok yang menjadi pondasi kebahagiaan seorang hamba, dan masing-masingnya memiliki lawan. Barangsiapa yang kehilangan pokok tersebut maka dia akan terjerumus ke dalam lawannya. [1] Tauhid, lawannya syirik. [2] Sunnah, lawannya bid’ah. Dan [3] ketaatan, lawannya adalah maksiat. Sedangkan ketiga hal ini memiliki satu musuh yang sama yaitu kekosongan hati dari rasa harap di jalan [ketaatan kepada] Allah dan keinginan untuk mencapai balasan yang ada di sisi-Nya serta ketiadaan rasa takut terhadap-Nya dan hukuman yang dijanjikan di sisi-Nya.”  (al-Fawa’id, hal. 104)


Tauhid Mengantarkan Menuju Bahagia
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),  
“Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuri iman mereka dengan kezaliman/syirik, mereka itulah yang akan mendapatkan keamanan dan mereka itulah orang-orang yang diberikan petunjuk.”  (QS. al-An’aam: 82).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  
“Sesungguhnya Allah mengharamkan neraka atas orang yang mengucapkan la ilaha illallah dengan ikhlas mengharapkan wajah Allah.”  (HR. Bukhari dan Muslim).
Abdullah Ibnu Mubarak rahimahullah berkata,  
“Betapa banyak amalan kecil menjadi besar karena niat (yang ikhlas), dan betapa banyak amalan besar menjadi kecil karena niat (yang tidak ikhlas).”


Syirik Mengantarkan  Menuju Sengsara
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),  
“Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka sungguh Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tiada seorang penolongpun bagi orang-orang yang zalim itu.” (QS. al-Maa’idah: 72).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  
“Barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan mempersekutukan Allah dengan sesuatu apapun maka dia pasti masuk neraka.” (HR. Muslim).


Sunnah Mengantarkan Menuju Bahagia
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),  
“Katakanlah (Muhammad); Jika kalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni dosa-dosa kalian.” (QS. Ali Imran: 31).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  
“Islam itu datang dalam keadaan asing dan akan kembali menjadi asing sebagaimana datangnya, maka beruntunglah orang-orang yang asing.” (HR. Muslim).
Imam Malik rahimahullah berkata,
“Sunnah adalah [laksana] bahtera Nabi Nuh, barangsiapa yang menaikinya akan selamat, dan barangsiapa yang tertinggal akan tenggelam.”


Bid’ah Mengantarkan Menuju Sengsara
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),  
“Barangsiapa yang menentang rasul setelah jelas baginya petunjuk dan dia justru mengikuti selain jalan orang-orang beriman, niscaya akan Kami biarkan dia terombang-ambing dalam kesesatannya dan Kami pun akan memasukkannya ke dalam Jahannam, dan sesungguhnya Jahannam itu adalah seburuk-buruk tempat kembali.” (QS. an-Nisaa’: 115).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  
“Sejelek-jelek urusan adalah yang diada-adakan -dalam agama-, [dan setiap yang diada-adakan itu adalah bid'ah] dan setiap bid’ah pasti sesat [dan setiap kesesatan di neraka].” (HR. Muslim, tambahan dalam kurung dalam riwayat Nasa’i)


Ketaatan Mengantarkan Menuju Bahagia
Allah ta’ala berfirman (yang artinya),  
“Barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia akan mendapatkan keberuntungan yang sangat besar.” (QS. al-Ahzab: 71).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  
“Semua umatku pasti masuk surga, kecuali yang enggan.” Para sahabat pun bertanya, “Siapakah orang yang enggan itu wahai Rasulullah?”. Beliau menjawab, “Barangsiapa mentaatiku masuk surga dan barangsiapa yang mendurhakaiku maka dialah orang yang enggan itu.” (HR. Bukhari).
Ibnu Abbas radhiyallahu’anhuma berkata,  
“Allah menjamin bagi siapa saja yang membaca al-Qur’an dan mengamalkan ajaran yang ada di dalamnya bahwa dia tidak akan sesat di dunia dan tidak akan celaka di akherat.”


Kemaksiatan Mengantarkan Menuju Sengsara
Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang durhaka kepada Allah dan rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata.” (QS. al-Ahzab: 36). Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Surga diliputi dengan perkara-perkara yang tidak disenangi nafsu (ketaatan) sedangkan neraka diliputi dengan perkara-perkara yang disenangi nafsu (kemaksiatan).” (HR. Bukhari dan Muslim)


Hilangnya Harapan dan Rasa Takut
Sementara ketiga hal di atas -tauhid, sunnah, dan ketaatan- memiliki satu musuh yang sama yaitu ketiadaan rasa harap dan rasa takut. Yaitu ketika seorang hamba tidak lagi menaruh harapan atas apa yang Allah janjikan dan tidak menyimpan rasa takut terhadap ancaman yang Allah berikan. Akibat ketiadaan harap dan takut ini maka timbul berbagai dampak yang membahayakan. Di antara dampaknya adalah;
[1] terlena dengan curahan nikmat sehingga lalai dari mensyukurinya,
[2] sibuk mengumpulkan ilmu namun lalai dari mengamalkannya,
[3] cepat terseret dalam dosa namun lambat dalam bertaubat,
[4] terlena dengan persahabatan dengan orang-orang saleh namun lalai dari meneladani mereka,
[5] dunia pergi meninggalkan mereka namun mereka justru senantiasa mengejarnya,
[6] akherat datang menghampiri mereka namun mereka justru tidak bersiap-siap untuk menyambutnya. Ibnul Qayyim rahimahullah menerangkan bahwa ketiadaan rasa harap dan takut ini bersumber dari lemahnya keyakinan.

Lemahnya keyakinan itu timbul akibat lemahnya bashirah/pemahaman. Dan lemahnya bashirah itu sendiri timbul karena jiwa yang kerdil dan rendah (lihat al-Fawa’id, hal. 170).

Bersihkan Jiwamu!
Jiwa yang kerdil dan rendah akan merasa puas dengan perkara-perkara yang hina, sementara jiwa yang besar dan mulia tentu hanya akan puas dengan perkara-perkara yang mulia (lihat al-Fawa’id, hal. 170). Allah ta’ala berfirman (yang artinya),  
“Sungguh berbahagia orang yang menyucikan jiwanya dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. asy-Syams: 9-10).
Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata,  
“Yaitu orang yang menyucikan jiwanya dari dosa-dosa dan membersihkannya dari aib-aib, lalu dia meninggikannnya dengan ketaatan kepada Allah serta memuliakannya dengan ilmu yang bermanfaat dan amal saleh.” (Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 926).
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata,
“Yang dimaksud penyucian di sini ialah dia menyucikan dirinya dengan cara membebaskannya dari syirik dan noda-noda maksiat, sehingga jiwanya menjadi suci dan bersih.” (Tafsir Juz ‘Amma, hal. 165)

Dari sinilah, kita menyadari betapa besar peran ilmu yang diamalkan. Oleh sebab itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada kita untuk senantiasa berdoa seusai sholat Subuh dengan doa yang sangat indah, Allahumma inni as’aluka ‘ilman nafi’an wa rizqan thayyiban wa ‘amalan mutaqabbalan. Yang artinya;  
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat, rezki yang baik, dan amalan yang diterima.” (HR. Ahmad dan Ibnu Majah).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,  
“Barangsiapa yang dikehendaki baik oleh Allah niscaya akan dipahamkan dalam urusan agamanya.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan ilmu dan pemahaman seorang hamba tentang agamanya diukur dengan rasa takutnya kepada Allah. Allah ta’ala berfirman (yang artinya),  
“Sesungguhnya yang merasa takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah orang-orang yang berilmu.” (QS. Fathir: 28).
Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu berkata,
“Cukuplah rasa takut kepada Allah sebagai bukti ilmu -seseorang-.”

Penulis: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Artikel www.muslim.or.id

Sumber : http://www.humairoh.inef.web.id/2010/09/tiga-pokok-kebahagiaan.html


Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

Sembilan Wasiat Rasulullah

Refleksi Pemikiran K.H.M. Idris Djauhari, Al Amien Prenduan Madura

Dalam Kitab “Misykat al-Mashobih” lit-Tibriziy, Kitab “Al-‘Aqd al-Farid” lil Andalusy, Kitab “Al-Bayan wa at-Tabyin” lil Jaahidh, dan Kitab “Bahjah al-Majalis” li Ibni Abdil Bar disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Tuhanku telah berwasiat kepadaku dengan 9 perkara, dan aku wasiatkan kepada kalian (untuk melaksanakannya) : Tuhanku berwasiat

(1). agar aku berlaku “ikhlas’ baik secara tersembunyi atau terang-terangan,
(2). agar bersikap “adil” baik pada saat ridho atau marah
(3) agar bersikap “sederhana” baik dalam keadaan kaya atau miskin
(4) agar aku “memaafkan” orang yang dholim kepadaku,
(5) agar aku “memberi” kepada orang yang mencekalku
(6) agar aku “menyambung silaturrahim” dengan orang yang memutuskannya
(7) agar aku menjadikan “diam”ku untuk berpikir
(8) agar menjadikan “bicara”ku sebagai dzikir
(9). dan agar menjadikan “pandangan” ku untuk mengambil i’tibar. (HR. Razin)

Sembilan Wasiat (Nine Commandments) yang disampaikan Allah kepada RasulNya dan beliau sampaikan kepada umatnya ini, sungguh merupakan pedoman dan tuntunan hidup kita dalam segala aspek kehidupan. Kalau kita mampu mengimplemetasi kannya dalam keseharian kita, sesuai kemampuan kita, insya Allah kita akan menjadi manusia yang “baik” di sisi Allah dan “terhormat” di mata makhluqNya. Kemudian mengingat terbatasnya ruang yang tersedia, dan mencermati kandungan isinya sekaligus untuk memudahkan ingatan, maka baiklah kita coba kelompokkan Sembilan Wasiat ini menjadi 3 (tiga) trilogi sebagai berikut :  

..(0)..
Trilogi Pertama

1. Al-Ikhlash fis-Sirri wal ‘Alaniyah
 (Bersikap Ikhlas Secara Tersembunyi atau Terang-terangan) Al-Ikhlas (sincerity, surrender) artinya memurnikan segalanya hanya untuk Allah semata, memulai segalanya dari Allah, melakukannya karena Allah dan mengakhirinya untuk Allah.. Lawan dari ikhlas adalah semua kondisi hati yang muncul dari maksud-maksud untuk selain Allah, seperti “riya’” (berbuat karena ingin dipuji orang) atau “ujub” (bangga dengan diri sendri, merasa diri paling baik) dan lain-lainnya.

Riya dan ‘Ujub ini merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, Bahkan Rasulullah menganggap riya’ sebagai “syirik ashghor” (syirik terkecil) yang paling beliau takuti untuk menimpa umatnya, karena kebanyakan syirik –dalam segala bentuknya – memang bersumber dari riya’ . Dalam hadits ini, Allah dan RasulNya menyuruh kita, untuk senantiasa bersikap “ikhlas” dalam segala kondisi; dimana dan kapan saja ; baik secara tersembunyi (sendirian, diam-diam, di tempat-tempat tertutup, tanpa diketahui orang) ataupun secara terang-terangan (ketika bersama orang lain atau di tempat-tempat terbuka).

Ketika sendirian, barangkali kita bisa bersikap ikhlas dengan mudah, karena kita terhindar dari sifat riya’ atau pamer, walaupun kita harus tetap hati-hati dengan sifat ‘ujub yang seringkali muncul dalam hati, secara diam-diam. Namun ketika kita berada di tempat terbuka atau bersama orang-orang lain, seringkali kita kesulitan untuk bersikap ikhlas yang sebenarnya, karena penyakit-penyakit hati tersebut (terutama riya’) pada suasana yang demikian begitu mudah muncul di hati kita, tanpa kita sadari. Na’udzubillah.

2. Al-‘Adl fir-Ridho wal-Ghodhob
(berlaku “adil”, dalam keadaan Rela atau Marah) Al-‘Adl (justice, fairness) artinya bersikap seimbang, sama, fair, terhadap dua objek yang bertolak belakang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Lawan dari adil adalah “dholim” (injustice), yang berarti aniaya kepada diri sendiri atau kepada orang lain serta sikap-sikap yang menjurus pada ketidak-adilan, seperti tirani, sewenang-wenang, memihak, merampas hak-hak orang lain, dan lain-lainnya. Dalam Islam, keadilan menempati posisi yang sangat sentral dan strategis dan merupakan “inti dari substansi” ajaran Islam, terutama dalam aspek kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.

Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai inti dari ajarannya, Islam tidaklah demikian. Kasih dalam kehidupan pribadi, apalagi sosial, bisa berdampak buruk dan negatif Sekedar contoh, seorang hakim seringkali tidak tega menghukum seorang penjahat, gara-gara dia kasih atau sayang kepada si penjahat tersebut, dengan berbagai latar belakangnya.. Jadi, keadilan yang ditegakkan dengan sebenar-benarnya pasti mengandung kasih, Tapi kasih, apalagi yang berlebihan, justru seringkali bertolak belakang dengan keadilan dan rasa keadilan.

Dalam hal ini, Al-Quran memerintahkan kita untuk selalu bersikap adil, hatta kepada diri sendiri, kepada ayah ibu, dan kepada keluarga dekat kita (QS, An-Nisa’, 4, 135). Bahkan kita diperintahakan untuk tetap bersikap adil kepada musuh-musuh kita, walaupun kita tidak suka kepada mereka (Al-Maidah, 5, 8): Subhanallah wa shodaqollah. Dalam hadits ini, Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk senantiasa bersikap “adil” dalam segala situasi dan kondisi, kepada siapa dan kepada apa saja. : baik ketika kita sedang ridho (suka, senang, like) maupun ketika kita sedang ghodhob (marah, tidak suka, dislike). Sikap ridho/like, biasanya muncul karena adanya hubungan kekeluargaan atau persahabatan, karena punya interes tertentu, baik pribadi atau kelompok, bahkan bisa karena adanya unsur sogok menyogok (risywah).

Sedangkan ghodhob/dislike, biasanya muncul karena adanya penyakit-penyakit dalam hati (ghillun fil qolb), seperti dendam, iri hati, hasud, dll. Berlaku adil dalam keadaan ridho “sama sulitnya” dengan berlaku adil dalam keadaan ghodhob Karena itu, seseorang yang sedang terlibat dalam suatu masalah, atau sedang dikuasai oleh nafsu “like or dislike”, sebaiknya tidak menjadi hakim yang memutuskan suatu masalah, karena bisa menjurus pada kedholiman dan ketidak adilan.

3. Al-Qoshd fil Ghina wal-Faqr
(Bersikap “sederhana” dalam keadaan Kaya atau Miskin) Al-Qosd (sederhana, simplicity) artinya bersikap apa adanya, tidak berlebihan dan sesuai dengan kebutuhan. Lawan kata dari al-qoshd adalah (ta’addy, tajawuz, exceeding, overleap) artinya bersikap berlebihan atau melampaui batas-batas kebutuhan atau batas-batas kewajaran. Secara tersirat, dalam kata al-qoshd ini, sebenarnya terkandung makna “adil” yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Sekedar contoh, untuk memenuhi kebutuhan atau menjalankan tugas sehari-hari, sebenarnya kita hanya memerlukan 1 (satu) mobil, umpamanya.. Tapi karena kita kaya, kita justru membeli 3 atau 4 mobil sekaligus dengan alasan yang terkesan dibuat-buat (artifisial). Dalam posisi ini, kita tidak lagi disebut sederhana. karena kita sudah melakukan pemborosan (tabdzir), bahkan kesombongan (takabbur) yang sangat tercela.

Sebaliknya, apabila tanpa mobil, kita tidak mungkin bisa menjalankan tugas-tugas dengan baik, umpamanya, tapi kita tidak mau membelinya padahal kita mampu untuk itu, maka kita tidak lagi disebut sederhana tapi sudah menjurus ke derajat kikir atau bakhil. Dalam Al-Quran disebutkan : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu (terlalu kikir), dan jangan pula mengulurkannya seulur-ulurnya (terlalu pemurah), sehingga kamu jadi tercela dan menyesal (Al-Isro’, 17. 19) Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk bersikap “sederhana”, baik dalam keadaan kaya (berkecukupan, sedang berkuasa) ataupun miskin (berkekurangan, sedang tidak berkuasa) Dalam keadaan miskin, bersikap sederhana memang tidak terlalu sulit, karena dia memang miskin dan tidak mampu untuk bersikap berlebihan. Tapi harus disadari bahwa tidak sedikit orang yang miskin atau pas-pasan, namun cara hidupnya boros dan berlebih-lebihan.

Inilah orang yang paling celaka, dalam konteks kesederhanaan itu, Sebaliknya dalam keadaan kaya, bersikap sederhana itu memang agak sulit, karena dengan kekayaan itu sebenarnya dia punya peluang untuk hidup berlebihan atau berfoya-foya. Tapi dengan penuh kesadaran, dia memilih untuk hidup sederhana dan menampakkan kesederhanaan dalam segala aspek kehidupannya Inilah sebenarnya orang yang paling arif dan bijaksana Kiranya tepatlah apa yang dikatakan para Ahli Hikmah : “Orang yang paling celaka adalah orang miskin yang hidupnya berfoya-foya, dan orang yang paling bijaksana adalah orang kaya yang hidupnya sederhana”. Jelasnya, sederhana itu bukan berarti pasrah atau menyerah pada nasib, tapi sederhana adalah pilihan sikap bathin yang bersumber dari kesadaran hati yang paling dalam dan mengandung semangat atau optimisme untuk meraih kehidupan yang lebih baik.

Demikianlah Trilogi Pertama (tiga hal yang saling terkait) dari “Sembilan Wasiat Allah dan RasulNya” kepada kita. Semoga bisa dilanjutkan dengan pembahasan tentang Trilogi II dan III, pada edisi-edisi berikutnya. Ikhlas, Adil dan Sederhana memang merupakan suasana bathin yang harus melahirkan keyakinan dan komitmen yang kokoh dalam hati kita, tapi pada saat yang sama, kita harus bisa membuktikan ketiganya dalam prilaku dan budaya kita sehari-hari. Semuanya ini akan memiliki “nilai tambah” yang signifikan dan determinan, kalau bisa dilakukan oleh mereka yang saat ini sedang menerima amanat khusus dari Allah SWT, baik berupa amanat kekuasaan (Umaro’/Penguasa), atau berupa amanat ilmu pengetahuan (Ulama’/Cendikiawan), maupun yang berupa amanat kekayaan (Aghniya’/Hartawan), karena mereka inilah sebenarnya yang menjadi 3 pilar tegaknya kahidupan dunia ini, untuk mencapai kebahagian di akhirat nanti, selain dukungan, simpati dan doa-doa para Grass-Roots (Fuqoro’/Rakyat Kecil). Wallahu A’lam wa Ahkam (dimuat dalam majalah Qalam ed. 4, Juli 2009)

..(0)..
Trilogi Kedua

Kalau pada edisi yang lalu, kita telah menguraikan Bagian I (Trilogi Pertama) dari Sembilan Wasiat Nabi SAW, yaitu agar kita bersikap “ikhlas” baik secara sembunyi–sembunyi atau terang-terangan, bersikap “adil” ketika marah atau ketika rela, dan bersikap “sederhana” dalam keadaan kaya atau miskin, maka dalam edisi kali ini akan kita lanjutan pada uraian selanjutnya, yaitu Bagian II (Trilogi Kedua) dari Sembilan Wasiat tersebut. yaitu:
1. Agar memaafkan orang yang mendholimi kita.
Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering kali didholimi (diperlakukan tidak adil atau tidak proporsional) oleh orang-orang lain di sekitar kita, baik langsung maupun tidak langsung, secara fisik atau non-fisik, material atau immaterial, oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya dari kita, seperti para pejabat, penguasa, bos atau orang kaya, atau oleh orang yang sederajat dengan kita, seperti teman sekantor, seprofesi atau teman seorganisasi dll, atau bahkan oleh orang yang lebih rendah kedudukannya dari kita, seperti anak kandung, anak buah. anak didik, dan lain-lainnya. Allah SWT lewat RasulNya SAW memerintahkan kita untuk memaafkan orang-orang tersebut.

2. Agar memberi kepada orang yang mencekal kita.
Sesuai dengan sunnatullah yang berlaku untuk makhlukNya, selain kewajiban yang harus dijalankan, kita juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi. Tapi kenyataannya, seringkali hak-hak tersebut tidak dipenuhi, dicekal, dirampas atau dikebiri oleh orang-orang lain di sekitar kita. Hak-hak tersebut bermacam-macam ; kadang berupa harta, pangkat atau jabatan, tapi juga bisa berupa pelayanan atau pemberian kesempatan. Perampasan atau pengebirian ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kita, baik lebih tinggi secara material ataupun lebih tinggi dalam status sosial dan hirarki organisatoris. Dalam konteks ini, kita diperintahkan oleh Allah SWT lewat RasulNya SAW untuk tetap memberi atau memenuhi hak-hak mereka, siapapun mereka dan apapun motif mereka mencekal kita.

3. Agar menyambung kembali tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya.
Memutuskan tali silaturrahim biasanya dilakukan seseorang, karena adanya alasan-alasan tertentu atau bahkan tanpa alasan apapun. Alasan-alasan itupun bermacam-macm : ada yang jelas dan disengaja tapi ada juga yang sama sekali tidak diketahui dan tidak disengaja, ada yang menyangkut urusan ekonomi, jabatan, pengaruh dan politik. Ini sering terjadi dalam pergaulan hidup sehari-hari, tidak saja antar teman sejawat, bahkan juga sering terjadi antar orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan.

Dalam konteks ini, kita diperintahkan Allah dan RasulNya agar terus berusaha untuk menyambung kembali tali silaturrahim tersebut.

Amma Ba’du….
Ketiga sikap tersebut (memaafkan orang yang mendholimi. memberi orang yang mencekal dan menyambung tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya) rasa-rasaya “sangat pas dan cocok” untuk para pemimpin atau calon-calon pemimpin kita–formal, nonformal atau informal- terutama pada saat persaingan antar kepentingan yang sangat ketat dan keras (kunkurensi) seperti sekarang ini. Memang sangat sulit ! Apalagi terhadap orang-orang yang memang jelas-jelas –atau kita anggap- “bersalah” kepada kita atau kepada orang yang kita anggap sebagai “musuh dan saingan” kita –terang-terangan atau dalam selimut-. Sungguh sangat sulit untuk dilaksanakan, bukan? Tapi kita harus sadar bahwa semua itu bukan hal yang mustahil atau tidak mungkin, sebab Allah dan RasulNya tidak akan menyuruh kita untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan. “La yujakalliful Lah nafsan illa wus’aha” kata Allah.

Terus bagaimana caranya, agar kita mampu melaksanakan ketiga Wasiat Nabi SAW ini? Paling tidak, ada 5 langkah yang harus kita coba laksanakan dengan sungguh-sungguh dan istiqamah :
Pertama, “Dzikrullah” Kita harus memulai upaya ini dengan mengingat dan menyebut asma Allah, agar Allah selalu mengingat kita. Kalau sudah begitu, pasti. kita akan selalu mendapat pertolongan, perlindungan dan pembelaan dari Allah. Firman Allah : “Fadzkuruni adzkurkum”.  
Kedua, “Haqqul Yaqin”. Kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa ini adalah wasiat Allah dan RasulNya untuk kebaikan kita sendiri dan kita harus yakin bahwa kita pasti bisa melakukannya dengan taufiq dan ma’unah Allah. Kalau tidak yakin, kita tidak akan pernah bisa. “Man la ya’taqid la yantafi’”.  
Ketiga, “Husnudhdhon”. Kita harus selalu berbaik sangka terhadap siapapun bahkan terhadap orang yang berbuat jahat kepada kita. Umpamanya, ketika didholimi, dicekal atau diputus tali silaturrohim, kita anggap saja mereka berbuat begitu, karena ketidaktahuan mereka terhadap diri dan kondisi kita yang sebenarnya.  
Keempat, “Muhasabah” (introspeksi). Kita harus selalu bertanya kepada diri sendiri dan menjawabnya dengan jujur, bahwa mereka melakukan hal–hal tersebut, mungkin karena memang bersumber dari kesalahan atau kelemahan kita, bukan semata-mata karena kejahatan dan keburukan mereka.
Kelima. “Dzikrullah” Kita akhiri semua usaha ini dengan mengingat Allah kembali, dengan tasbih, tahmid, tamjid dan istighfar, dan lain-lainnya.. “Subahanakal Lahumma wa bihamdiKa. Asyhadu an la ilaha illa Anta, AstadghfiruKa wa atubu ilaiKa. SubahanaKa fa qina ‘adzaban nar”. Nah, Selamat Mencoba dan Memperhatikan kelima langkah ini. “Jarrib wa lahidh takun ‘arifan.


Akhirnya…, perlu disadari bahwa semua sikap terhadap berbagai kedholiman dan ketidakadilan seperti yang disebutkan tadi, hanyalah apabila hal itu menyangkut hak-hak dan kepentingan pribadi atau kelompok. Tapi apabila kedholiman dan ketidakadilan tersebut sudah menyangkut prinsip-prinsip agama atau kehormatan bangsa, tentu saja sikap kita harus berbeda. “Janganlah kita marah atau tersinggung, hanya karena urusan pribadi atau kelompok. Tapi marahlah dan tersinggunglah karena Allah, demi Allah dan untuk Allah semata.”. Wallahu A’lam wa Ahkam.

..(0).. 
Trilogi Ketiga

Berikut ini adalah Trilogi Ketiga (Bagian Terakhir) dari Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang diwasiatkannya kepada kita umat Islam :
1. “Diam” untuk Berpikir
Dalam keseharian, ada 2 kegiatan yang saling bertolak belakang ; “diam” dan “bicara”. Kalau tidak diam, pasti bicara, kalau tidak bicara, kita pasti diam. Pada kenyataannya, sering kali kita tidak tahu (atau tidak mau tahu (?) bagaimana kita bersikap ketika berbicara dan apa yang mesti kita lakukan ketika diam. Dalam hadits ini Allah SWT memberi wasiat kepada kita melalui RasulNya SAW tentang hal ini, yaitu ketika “diam”, kita harus “berpikir” dan ketika “berbicara”, kita harus “berdzikir” Berpikir tentu saja tidak sama dengan ngelamun, berkhayal tentang hal-hal yang negatif, atau lain-lainnya yang berbahaya.

Berpikir, menurut istilah psikologi, adalah salah satu aktivitas jiwa yang melahirkan pengertian (komprehensi), pendapat (opini) dan kesimpulan (konklusi) tentang hal-hal yang positif dan gagasan-gagasan yang bermanfaat untuk diri sendiri atau orang lain. Islam adalah agama yang sangat mengutamakan kegiatan berpikir, Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW yang menyuruh kita untuk berpikir.

Perintah pertama dalam Al-Quran “Iqro’” dan ayat-ayat lain yang berupa perintah untuk berpikir atau berupa pertanyaan-pertanyaan retoris lainnya, tidak bisa dilepaskan dari konotasi berpikir ini. Demikian juga dalam hadits, Rasulullah SAW menegaskan Ad-Din huwa al-‘Aql. La dina liman la ‘aqla lahu (Agama itu adalah akal (berpikir). Tidak dianggap sempurna agama bagi orang yang tidak (mau) berpikir). Bahkan dalam hadits lain (aw kama qila), Rasululullah SAW menegaskan : At-Tafakkur sa’atan khoirun minal Ibadah sanatan (Berpikir satu jam lebih baik dari pada ibadah (tanpa berpikir) satu tahun. Subhanallah. Begitu tingginya nilai berpikir dalam Islam. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa : “Umat Islam mundur karena mereka malas berpikir”. Dan itu semua hanya bisa dilakukan dengan penuh konsentrasi, apabila kita sedang diam. Ash-Shomtu hikmatun wa qolilun fa’iluhu. (Diam itu penu hikmah, tapi sedikit yang bisa melakukannya)

2. “Bicara” untuk Berdzikir
Dalam berbicara, seringkali justru kita berdosa, karena tidak bisa mengendalikan diri atau berbohong. Paling tidak, ada 4 dosa yang bisa muncul akibat bicara yang tidak terkendali.
(1). Ghibah (ngerasani) yaitu berbicara tentang kejelekan orang lain di belakangnya, walaupun memang benar dan apa adanya
(2). Syatm atau mencaci orang lain dengan kata-kata kotor
(3). Buhtan yaitu berbicara tentang hal-hal yang tidak benar/dusta
(4). Fitnah, yaitu menyebarkan ke tengah-tengah halayak tentang sesuatu yang tidak benar/dusta, baik menyangkut seseorang ataupun sekelompok orang.

Karena itu, kita diperintahkan agar dalam berbicara apapun kita selalu berdzikir. Seperti kita ketahui ada 3 jenis Dzikrullah, yaitu dzikir dengan hati (Dzikrul Qolb), dengan lisan (Dzikrul Lisan), dan dengan perbuatan (Dzikrul Jawarih). Berdzikir ketika berbicara ini termasuk Dzikrul Lisan, artinya kita harus berusaha untuk tidak melanggar nilai-nilai akidah, syariat, dan akhlaq, ketika kita berbicara tentang apa saja, dimana, kapan, dan dalam situasi apa saja. sehingga tidak sampai melakukan 4 jenis dosa di atas. Kalau tidak, lebih baik kita diam saja. Tentu saja, diam untuk berpikir. Sabda Rasul SAW : Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaknya ia bicara yang baik atau diam saja. (Man kana yu’minu billahi wal-yaumil akhir, falyaqul khoiron aw li yashmut)

3. “Melihat” untuk Mengambil I’tibar.
Ketika kita melihat (atau setidaknya mendengar) kejadian atau peristiwa apapun yang terjadi di sekitar kita atau di tempat-tempat yang jauh, kita diperintahkan untuk bisa mengambil “i’tibar” (hikmah dan pelajaran) darinya. Peristiwa-peristiwa tersebut bemacam-macam, ada yang berupa fenomena alam atau fenomena sosial, fenomena politik, ekonomi, budaya, dll. Ada peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan bahkan mengenaskan, ada yang berupa kejadian yang mendadak atau yang memang merupakan akumulasi dari sebuah proses rekayasa yang panjang, dll.

Peristiwa-peristiwa tersebut pada hakekatnya merupakan salah satu dari tanda-tanda keagungan Allah SWT, untuk menguji kita, apakah kita bersyukur atau kufur. Kemampuan mengambil i’tibar ini tentu saja pertama kali harus dimulai dengan “dzikirullah”, baru dilanjutkan dengan “berpikir” tentang fenomena-fenomena tersebut (baik yang bersifat substantif, proses, atau instrumentatif), serta dampak-dampak yang muncul di balik fenomena tersebut. Kemudian kita akhiri dengan “pengakuan” bahwa semuanya ini tidaklah diciptakan dengan sia-sia (bathil), dan kita “bertasbih” serta mohon “perlindungan” dari siksa api neraka (Robbana ma kholaqta hadza bathilan. Subhanaka. Faqina ‘adzaban-nar) IKHTITAM Demikianlah, lengkap sudah Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang kemudian diwasiatkannya kepada kita.

Tentu saja, sebagai umatnya, kita harus berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang mendapatkan 3 amanat paling utama dari Allah SWT, yaitru amanat ilmu bagi para “Ulama’”, amanat kekuasaan bagi para “Umaro’”, dan amanat harta benda bagi para “Aghniya’”. Semoga untuk itu semua, kita selalu nemperoleh taufiq dan hidayah, ma’unah dan inayah serta rahmah dan barokah dari Allah SWT. Amien.

Sumber : http://orbitrupawan.blogspot.com/2010/08/sembilan-wasiat-rasulullah.html


Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron