Laman

Minggu, 27 Februari 2011

Menyikapi Hawa Nafsu Secara Bijak

Manusia dilahirkan dengan membawa nafsu, selain rasa dan kemampuan untuk berfikir. Hawa nafsu inilah yang membedakan antara manusia dengan makhluk-NYA yang lain. Malaikat diciptakan sebagai makhluk yang suci dan terjaga dari dosa karena ia tidak memiliki hawa nafsu. Sementara itu, syaitan dan iblis menjadi biangnya pembuat onar dan dosa karena ia hanya mengutamakan hawa nafsunya semata. Manusia merupakan makhluk yang paling mulia kedudukannya di hadapan-NYA lebih dari seorang malaikat apa bila manusia itu bisa mengendalikan hawa nafsunya dengan bijak, namun demikian bisa juga manusia menjadi lebih hina dari pada iblis terlaknat jika manusia hanya memperturutkan hawa nafsunya.

Hawa nafsu merupakan kecenderungan alamiah terhadap sesuatu yang sesuai dengannya. Kecenderungan tersebut diciptakan dalam diri manusia demi menjaga kelangsungan hidup manusia itu sendiri. Kawan... coba bayangkan seandainya dalam diri manusia tidak ada kecenderungan untuk makan, minum, dan menikah maka kelangsungan hidup manusia di muka bumi akan terhenti. Hawa nafsu merupakan keperluan bagi manusia karena sesuai dengan apa yang diinginkannya, sebagaimana amarah yang merupakan perwujudan dari penolakan terhadap sesuatu yang menyakitkan. Oleh karena itu hawa nafsu tidak layak untuk di cela dan tidak layak pula untuk dipuja secara mutlak sebagaimana halnya amarah. Kawan, yang dicela adalah sesuatu yang berlebih-lebihan diantara keduanya saat melakukannya demi memperoleh manfaat dan demi mencegah mudarat.

Seseorang yang memperturutkan hawa nafsu dan amarahnya tidak akan mampu mengondisikan dirinya untuk memperoleh manfaat dari sikapnya tersebut. Disaat itulah hawa nafsu dan amarah akan dicela karena yang paling dominan dampaknya pada saat itu adalah keburukan (mudarat). Kawan, jarang sekali orang yang akan dapat bersikap bijak dalam kondisi seperti itu, sebagaimana jarangnya untuk saling berdampingan antara air, api, udara dan tanah. Memposisikan hawa nafsu dan amarah secara bijak dari segala sisi jarang sekali mampu dilakukan orang, kecuali hanya segelintir saja dan mereka adalah orang yang berilmu.

Pada satu sisi, hawa nafsu merupakan kekuatan terpendam yang tidak bisa dipercayai keberadaannya, namun disisi lain, hawa nafsu dapat menjerumuskan pemiliknya. Kawan, yang jelas adalah hawa nafsu dakan membawa seseorang pada kenikmatan semu tanpa memikirkan akibat yang akan menimpanya. Ia kerap kali menganjurkan pada pemiliknya untuk selalu meraih beragam kesenangan nisbi sekalipun akan berdampak pada timpulnya penderitaan yang besar. Hawa nafsu akan membutakan pemiliknya untuk memperhatikan dampak negatif yang ditimbulkan dari perbuatanya tersebut.

Kawan, hindarilah jeratan hawa nafsu karena ia dapat menjerumuskan kita pada perbuatan-perbuatan yang tidak baik. Seseorang dapat terhindar dari jerat hawa nafsu melalui beberapa cara, antara lain:
  1. Bertekat bulat untuk bisa terlepas dari jerat hawa nafsu
  2. Meneguk kesabaran yang mendorongnya untuk bertahan dalam merasakan kepahitan disaat membebaskan diri dari jerat hawa nafsu
  3. Menyadari bahwa ada nilai positif yang dapat kita raih dari kesabaran yang kita lakukan
  4. Selalu menyadari akan adanya penderitaan yang selalu bertambah dalam kenikmatan disaat kita memperturutkan hawa nafsu.
  5. Memikirkan bahwa kita diciptakan bukan untuk memperturutkan hawa nafsu, akan tetapi kita diciptakan untuk meraih kemenangan di hari nanti.

"Hawa nafsu diciptakan bukan untuk dipuja, akan tetapi hawa nafsu diciptakan untuk lebih memperindah hidup kita di dunia ini. Sikapilah hawa nafsu secara bijak, karena jika kita salah dalam menilai hawa nafsu tersebut ia dapat membawa kita pada jurang kehancuran."

Sumber : http://murtaqicomunity.wordpress.com/2009/09/03/menyikapi-hawa-nafsu-secara-bijak/


DOA DARI KETIDAKBERMANFAATAN DAN PENGENDALIAN HAWA NAFSU


Ilmu-Hati-Hawa Nafsu merupakan tiga unsur yang selalu ada dalam diri manusia. Ada yang beranggapan kalau ilmu itu berada di alam pikiran manusia (akal), Hati yang merupakan sumber dari keimanan, dan hawa nafsu sebagai sumber penyemangat diri untuk memperoleh atau yang diinginkannya. Tiga unsur ini diharapkan seimbang atau jika salah satu dominan (menonjol) diharapkan tidak begitu jauh perbedaannya.

Nabi Muhammad SAW mengajarkan kita untuk memohon kepada Allah SWT agar ketiga unsur tersebut bermanfaat dan seimbang sehingga kita mendapatkan kebahagiaan di dunia dan akhirat. Doanya ini diriwayatkan  oleh An-nasa'i dan Muslim:  
"Allahumma inni a'udzu bika min 'ilmin laa yanfa' wa min  qalbin laa yakhsya wa min nafsin laa tasyba' wa min du'aain laa yusma"  (Yaa Allah, aku berlindung kepada Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat, hati yang tidak khusu', jiwa yang tidak pernah puas, dan do'a yang tidak didengar)

Memiliki ilmu namun tidak bermanfaat merupakan suatu musibah intelektual karena prinsip ilmu semakin banyak diberikan kepada orang lain maka akan semakin bertambah, tumbuh, dan berkembang. Hati yang tidak khusu merupakan suatu penyakit yang menyebabkan seseorang tidak fakus akan suatu hal, bimbang dan ragu dalam suatu hal. Jiwa yang tidak pernah puas menunjukkan kepada kita bahwa hawa nafsu yang tidak terkendali, banyak keinginan dan miskin kemampuan serta lemah kekuatan.

Sumber : http://sarmilih.blogspot.com/2010/07/doa-dari-ketidakbermanfaatan-dan.html


MENGALAHKAN HAWA NAFSU
Oleh: Ustadz Achmad Rofi'i, Lc.

Muslimin dan muslimat yang dirahmati Allah,
Kalau orang tahu siapa Allah, maka orang akan bertaqwa kepada Allah. Dan bila orang merasa selalu diawasi oleh Allah, maka ia senantiasa akan bertaqwa kepada Allah. Dan kalau orang mampu mengalahkan hawa nafsu, maka orang itu akan selalu dalam keadaan bertaqwa kepada Allah. Titik-titik rawan itu lah yang harus kita baca dan kita petakan dan selanjutnya mengupayakan bagaimana caranya agar kita mampu untuk menjadi orang yang bertaqwa.

Apakah yang dimaksud dengan Hawa Nafsu? Para Ulama menafsirkannya dalam beberapa definisi:
Pertama, misalnya Imaam Aal Jurjani dalam kitabnya At Tarifaat, beliau mengartikan bahwa adalah kecenderungan jiwa kepada kelezatan yang dirasakan oleh syahwat tanpa seruan / ajakan / landasan ajaran Syar'i. Maka kalau kita terkondisikan oleh sesuatu yang bukan Syar'i, yang dibuktikan secara ilmiah bahwa itu tidak ada argumentasi syar'ie-nya tetapi terus saja memaksakan untuk dikatakan / dikerjakan, maka itu berarti Hawa.

Misalnya di bulan Rojab (saat ini kita memasuki bulan Rojab) ini. Dimulai dari amalan, perkataan dan keyakinan yang berkaitan dengan bulan Rojab itu, lalu dinisbatkan seakan-akan itu berasal dari Diin (agama), contohnya: Rojab adalah bulan Allah, Sya'ban bulanku dan Romadhoon bulan umatku, dikatakan itu sebagai suatu Hadits, padahal perlu dicermati lebih lanjut tentang asal-usulnya. Lalu bulan selain bulan-bulan tersebut itu bulan-nya siapa? Tidak ada keterangannya. Itu membuktikan bahwa kalimat tersebut bukan Hadits, melainkan karangan manusia belaka. Tidak bisa dinisbatkan kepada Rosululloh.

Jika sesuatu amalan atau perkataan itu diminta dalilnya, landasannya yang shohiih, lalu memang ada dalilnya dan benar landasannya, benar memahaminya dan benar penerapannya, baru lah itu disebut benar.

Tetapi ketika sesuatu amalan (perkataan) tidak bisa dipertanggungjawabkan, tidak ada dalilnya yang shohiih; tetapi ia tetap saja ngotot dan tidak mau diubah, tidak mau diingatkan, maka itulah Hawa.

Kedua, secara bahasa, Ibnu Mandzuur dalam Kamusnya (Ensiklopedi Bahasa Arab terluas), beliau berkata: Hawa adalah cinta manusia terhadap sesuatu dan mampu mengalahkan qolbu (hatinya). Hatinya kalah dengan kecintaannya terhadap sesuatu. Kalau seseorang mencintai atau menggandrungi sesuatu dan tidak bisa terkalahkan serta cintanya itu mendominasi, sehingga ia tidak bisa diingatkan atau diberitahu, berarti itu adalah Hawa.

Orang yang demikian itu sudah dikuasai oleh Hawa. Dalam perkara apa saja apakah itu urusan duniawi atau urusan ibadah (urusan Diin), jika itu telah ada pada diri seseorang, maka berarti Hawa Nafsu telah mendominasi orang tersebut.

Ketiga, Ibnu Hajar Al Asqolaani dalam kitab Fathul Baari menjelaskan bahwa Hawa adalah apa-apa yang dicintai oleh jiwa, dan syahwat sangat merasakan lezatnya, meskipun itu menyelisihi kebenaran dan keadilan. Sampai-sampai ia buta dan tidak peduli apakah perbuatannya itu benar atau salah. Meskipun itu perbuatan dzolim, tetap dilakukannya. Orang yang demikian itu adalah pengikut Hawa Nafsu.

Apa yang dikemukakan diatas, substansi dari ketiga definisi itu sama. Artinya, ada obyek yaitu yang disebut Hati (Nafsu atau Jiwa). Lalu ada penyebab, mengapa orang itu cenderung atau gandrung. Juga ada qoidah atau manhaj (pedoman) tetapi dilanggar.

Ketiga koridor itu mudah diidentifikasi. Kalau ada sesuatu yang bermakna lezat, nikmat dan menyenangkan, lalu dirasakan oleh jiwa, dan menyelisihi (bertentangan) dan tidak sesuai dengan kebenaran dan keadilan, maka itu adalah Hawa.

Ada beberapa perkataan para Ulama, misalnya:
Imaam Al Maawardi dalam kitab Adaabud Dunyaa wad Diin, beliau mengatakan dalam bentuk kalimat yang puitis: Hawa adalah sesuatu yang menghalangi kebaikan, terhadap akal ia bertolak belakang. Hawa adalah menghasilkan akhlaq yang buruk. Hawa menampakkan keburukan. Hawa membuat tabir kebaikan seseorang terobek. Hawa merupakan pintu masuk kejahatan.

Jadi jika yang dikerjakan, yang dimasuki adalah pintu kejahatan (keburukan), maka tabir kebaikan terobek, pekerjaannya buruk, akhlaqnya tercela, tidak sesuai dengan akal sehat dan menentang kebaikan. Itulah yang disebut dengan Hawa Nafsu.

Jika orang tahu bahwa itu adalah keburukan (kejahatan), tentu tidak mungkin seseorang bisa bertaqwa kepada Allah, bila Hawa Nafsu (keburukan) itu masih bertengger pada jiwa seseorang. Maka hendaknya kita berusaha secara bersama-sama, secara berjama’ah (tidak sendiri-sendiri) untuk bertaqwa kepada Allah.

Orang yang menyendiri (kholwat) rawan terhadap Hawa Nafsu. Maka marilah secara berjama'ah, bahu membahu antara satu dengan yang lain, supaya kita kokoh dalam bertaqwa kepada Allah.

Berikutnya, perkataan Abdullooh bin Abbas (Ibnu Abbas), seorang shohabat. Beliau adalah sepupu dari Rosululloh. Ibnu Abbas mengatakan: Hawa (Hawa Nafsu) adalah tuhan yang diibadahi (disembah) selain Allah.Beliau mengambil dasar dari Surat Al Jaasiyah ayat 23:
"Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya dan Allah membiarkannya sesat dengan sepengetahuan-Nya, dan Allah telah mengunci pendengaran dan hatinya serta meletakkan tutup atas penglihatannya? Maka siapakah yang mampu memberinya petunjuk setelah Allah (membiarkannya sesat?) Mengapa kamu tidak mengambil pelajaran"

Allah membiarkan orang itu sesat karena Allah telah mengetahui bahwa dia tidak menerima petunjuk-petunjuk yang diberikan kepadanya.

Berarti, Hawa Nafsu adalah tuhan selain Allah. Maka berhati-hatilah, jangan sampai kita mengkultuskan Hawa Nafsu seperti tuhan. Naudzubillaahi min dzaalik.

Karena bila perintah Allahtidak dipatuhi, tetapi lebih cenderung kepada hatinya (Hawa Nafsu)-nya, berarti ia lebih memprioritaskan hawa nafsunya ketimbang Allah.

Dan Hawa Nafsu bukanlah khayalan, bukan tidak ada wujudnya, tetapi sudah menjadi kenyataan. Berbagai kemungkaran sekarang (dewasa ini) muncul karena dorongan Hawa Nafsu. Banyak kemungkaran, baik itu penyakit pribadi maupun penyakin komunitas, bahkan penyakit bangsa dan Negara, adalah karena Hawa Nafsu. Padahal sudah tidak sesuai dengan Syariat, tetapi tetap saja dipertahankan, diusung, bahkan diperjuangkan. Tetapi yang sesuai dengan Syariat menjadi bahan olok-olok, ejekan, anti, dimusuhi dan sebagainya.

Perkataan Ali bin Abi Tholib, menjelaskan tentang bahayanya Hawa Nafsu. Dalam kitab Aadaabud Dunya wad Diin karya Imam Al Mawardi, disampaikan bahwa Ali bin Abi Tholib berkata: Aku takut kalian ditimpa dua perkara, yaitu mengikuti hawa nafsu dan panjang harapan (panjang angan-angan, ingin hidup selamanya). Sesungguhnya orang yang mengikuti hawa nafsu akan menghalangi sampainya kebenaran.Demikian lah perkataan Ali bin Abi Tholib.

Maksudnya, orang yang mengikuti Hawa Nafsu akan sulit diajak kepada kebenaran. Kalau bukan karena mendapat Hidayah dari Allah, sulit sekali orang itu diajak kepada kebaikan dan kebenaran. Orang tidak mendapat Hidayah karena tertutupi oleh Hawa Nafsunya. Sehingga yang seharusnya petunjuk (hidayah) itu sampai, maka menjadi terhalang.

Maka cermatilah diri kita masing-masing dan segera lakukan imunisasi, sehingga kita tidak termasuk orang yang terjangkit Hawa Nafsu. Jangan dikiran penyakit Hawa Nafsu itu hanya menjangkiti anak-anak muda saja. Orangtua tidak luput pula bisa terjangkiti. Bahkan dalam suatu Hadits Shohiih, Rosululloh bersabda:
"Tiga golongan orang yang Allah tidak akan berbicara dengan mereka, tidak akan membersihkan mereka dan mereka berhaq atas adzab yang pedih, adalah: orangtua yang berzina, penguasa yang berdusta dan orang miskin yang sombong". (Hadits Riwayat Imam Muslim dari Abu Hurairoh)

Panjang harapan, bisa menjadikan lupa kepada Hari Akhir (Akhirat). Orang yang orientasinya hanya pada dunia saja, akan seperti melihat fatamorgana, seperti melihat ada air berlimpah diatas padang pasir, tetapi ketika dikejar maka ternyata tidak ada apa-apanya. Itu lah dunia. Orientasi pada dunia saja, akan semakin terjauhkan dari ingatan kepada Akhirat.

Itu semua bukan perkataan para ilmuwan, atau para Kyai, melainkan perkataan Amiirul Mu'miniin Ali bin Abi Tholib (Kholiifah yang ke-empat).

Orang-orang yang mengikuti Hawa Nafsu, meskipun Allah sudah berfirman dan Rosululloh sudah bersabda, mereka tetap saja ngotot, tidak mau mendengar nasihat.

Misalnya, Jilbab adalah pakaian muslimah. Allah berfirman dalam Surat Al Ahzab ayat 59:
"Wahai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mu'min: Hendak lah mereka menjulurkan jilbab mereka keseluruh tubuh mereka. Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang"

Lalu dikatakan oleh mereka yang mengikuti Hawa Nafsu: Ah, itu kan budaya Arab, bukan untuk kita orang Indonesia.

Akhirnya mereka yang mengikuti Hawa Nafsu berkiblat kepada orang Barat (sekuler), bukan kepada ajaran Islam. Orang yang seperti itu, selalu mengikuti hawa nafsunya. Mereka menutup diri dari kebenaran. Nauudzu billaahi min dzaalik.

Contoh yang seperti itu banyak sekali. Di Indonesia, ketika orang disodorkan Syari'at Islam, tidak sedikit yang menolak. Bahkan orang yang mengaku dirinya muslim, ikut-ikutan menolaknya!

Padahal seharusnya, ketika mereka itu mengaku muslim maka aqidah Islamnya lah yang berfungsi. Bahwa yang benar itu adalah Dienul Islam, karena Allah sudah berfirman:
"Innaddiinaind Allahil Islam (Sesungguhnya agama disisi Allah hanyalah Islam)" [QS Aal'imron ayat 19].

Dan Allah juga berfirman:
"Hukum siapa lagi yang paling baik, jika mereka adalah orang-orang yang yakin." - QS Al Maaidah ayat 50

Tetapi justru mereka memilih yang tidak yakin, dan yang tidak yakin itu adalah justru para muslimuun (orang-orang Islam). Berarti mereka itu lebih rela mengikuti Hawa Nafsunya daripada mengikuti Wahyu.

Dinukil dari Imaam Al Ghozaali dari kitab Ihyaa Ulaumuddiin, bahwa hati itu ada diantara kecenderungan terhadap kebaikan dan kecenderungan terhadap keburukan (kejahatan). Kadang teguh kepada kebaikan, kadang pula jatuh kepada keburukan. Jadi ada tiga keadaan:

Hati yang dibangun, dibina dan dirajut diatas Taqwa dan disucikan dengan selalu berlatih membiasakan diri berada dalam Taqwa kepada Allah, serta bersih dari akhlaq yang tercela. Artinya, perilaku dan kebiasaan yang terpuji itu tidak lah datang dengan tiba-tiba, melainkan harus dilatih dan melalui berbagai proses. Maka bila hati kita ingin dibangun, dan terbina dengan Taqwa, perlu diberi latihan atau dengan tarbiyyah. Bahkan terkadang melalui proses dicaci dan dicela orang terlebih dahulu.

Hati yang hina, yang terbebani oleh Hawa Nafsu, yang ternodai oleh akhlaq yang jelek, yang terbuka didalamnya pintu-pintu syaithoon, hati yang tertutup dari pintu malaikat (pintu malaikat tertutup, tetapi pintu syaithoon yang terbuka baginya). Akhlaqnya buruk, Hawa Nafsunya mendominasi, itu lah hati yang hina.

Hati yang memunculkan percikan, bisa yang berasal dari Hawa Nafsu maka akan mengajaknya kepada kejahatan, tetapi lalu ditumpas oleh adanya Lampu Imaan dalam diri orang itu sehingga diajaknya kepada kebaikan. Semula terbersit pemikiran yang jahat, jelek, tetapi karena ada imaan dalam diri seseorang, maka ditumpas lah dan diarahkan lah kepada kebaikan. Sehingga terbangkit lah si jiwa itu untuk mengalahkan bisikan jahat tersebut. Jadi ketika syahwatnya lebih cenderung untuk suka berfoya-foya, lalu akalnya mengajaknya untuk berpikir yang baik dan akhirnya mencela (menjelekkan) apa yang hendak dirinya kerjakan untuk mengikuti hawa nafsunya tersebut, serta mengatakan pada dirinya sendiri: Engkau bodoh, akalmu laksana hewan, engkau seperti binatang buas, dstnya, dstnya. Kalau akalnya bisa mengalahkan hawa nafsunya maka ia akan menjadi baik, sebaliknya kalau akalnya kalah maka ia akan berbuat hal yang buruk.

Jadi ada tiga keadaan, yaitu Hati yang Bertaqwa, Hati yang tertutup dari menerima kebaikan, dan Hati yang diantara keduanya (tergantung mana yang dominan, kadang menerima kebaikan, kadang menerima keburukan). Itu lah perkara yang harus diwaspadai.

Ada tiga akibat yang fatal apabila Hawa Nafsu diikuti. Dan kalau itu sudah kita sadari, maka mari lah kita kalahkan Hawa Nafsu diri kita, kemudian kita bersama-sama bertaqwa kepada Allah ?????? ?????? . Tiga akibat itu adalah:

Allah berfirman:
"Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasa lah langit dan bumi ini dan semua yang ada didalamnya. Sebenarnya Kami telah mendatangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur'an), akan tetapi mereka berpaling darinya." [QS Al Mu'minuun ayat 71]

Maksudnya, jika hati sudah dikendalikan oleh Hawa Nafsu, kalah dengan Hawa Nafsu, maka bumi, langit dan isinya akan menjadi rusak. Jika hawa nafsu sudah menjadi dominan, menjadi pengendali untuk mewarnai dan mengkomando kebenaran maka semua isi bumi dan langit ini menjadi rusak. Al Qur'an yang seharusnya menjadi pemutus perkara, lalu dikatakan tidak boleh menjadi pemutus perkara, sebagai gantinya dipakai yang sesuai dengan hawa nafsu saja. Apa yang berasal dari Sunnah Muhammad Rosululloh dikatakan: Tidak usah, jangan pakai yang itu. Sunnah itu kan berlakunya 14 abad yang lalu, sekarang kan zaman modern, pakai saja hukum-hukum yang ada sekarang. Berarti, kebenaran pun dikalahkan oleh Hawa Nafsu. Jika sudah terjadi yang demikian itu, maka langit, bumi dan isinya akan menjadi rusak.

Nah, perhatikan lah, sudahkah terjadi kerusakan itu sekarang? Kalau sudah, maka kita harus melakukan antisipasi. Hawa Nafsu harus kita kendalikan. Sebagaimana telah dijelaskan dalam ayat tersebut diatas: Maka Kami datangkan kepada mereka kebanggaan (Al Qur'an), tetapi mereka berpaling dari kebanggaan itu.

Maksudnya: Kemudian telah didatangkan kepada mereka peringatan (Al Qur'an), tetapi mereka berpaling (menolak). Jika diberi peringatan, mereka tetap menolak maka tunggulah kehancurannya. Itu lah Rumus, yang lebih pasti daripada hukum apa pun di alam semesta ini. Karena semua itu yang menetapkan adalah Allah Robbul aalamiin.

Maka jika kita ingin maju, ingin berkembang dan sukses, tidak ada jalan lain kecuali harus menjadikan Al Qur’an dan Sunnah sebagai pengendali dan pemutus perkara. Tetapi jika hawa nafsu dijadikan pemutus perkara, maka rusak lah semuanya.

Bila hukum diserahkan kepada manusia, tentu manusia punya kehendak / keinginan masing-masing. Bahkan bisa berkomplot (berpolitik) satu sama lain, sesuai kepentingan dan keinginan tertentu. Sedangkan ketika Allah memutuskan suatu hukum Allah sama sekali tidak butuh pada manusia, justu Allah lah yang mengatur untuk kemaslahatan manusia di dunia dan kebahagiaan mereka di hari Akhir.

Kesimpulan:

a) Bahwa jika manusia mengikuti Hawa Nafsunya, tidak mengikuti yang Haq, maka dunia akan menjadi rusak. Pertama, rusak alam semestanya, hutannya, lautnya dstnya. Kedua, adalah rusak moralnya, manusia sudah tidak punya peri kemanusiaan lagi. Ketiga, rusak dari segi Diin-nya. Agama tidak lagi dijalankan, tidak dilaksanakan, dstnya.

b) Bahwa jika manusia mengikuti Hawa Nafsunya, maka kesesatan akan menyelimuti mereka.

Lihat Surat Al Qoshos ayat 50:
"Maka jika mereka tidak menjawab (tantanganmu), maka ketahuilah bahwa mereka hanyalah mengikuti keinginan (hawa nafsu) mereka belaka. Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti keinginan (hawa nafsu)-nya tanpa mendapat petunjuk dari Allah sedikit pun? Sungguh, Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim."

Maksudnya, siapa yang diseur untuk berjalan dan menetapi Al Islam, Al Qur'an dan As Sunnah tetapi mereka tidak mau, berarti mereka mengikuti Hawa Nafsu. Dan orang yang paling sesat adalah orang yang tidak mengikuti petunjuk Allah. Dan Allah tidak akan memberi petunjuk kepada orang yang dzolim (yang tidak mau mengikuti petunjuk-Nya). Orang yang tidak mengikuti Al Qur'an dan As Sunnah, maka ia adalah orang yang paling sesat dan mereka adalah orang dzolim. Dan setiap orang yang sesat adalah penghuni neraka. Karena mereka mengikuti hawa nafsu.

Orang yang mengikuti Hawa Nafsu akan binasa.Lihat surat An Naazi'aat ayat 40 dan 41:
40. Dan ada pun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari (keinginan) hawa nafsunya,
41. maka sungguh, surga lah tempat tinggal(nya).

Artinya, jika orang itu mengikuti hawa nafsu maka ia akan menjadi penghuni neraka. Karena orang yang mengendalikan hawa nafsu akan masuk kedalam surga, maka orang yang terpedaya dengan hawa nafsunya akan menjadi penghuni neraka. Maka, jika kita tidak mengikuti Al Haq (kebenaran) dan hanya mengikuti Hawa, tunggu lah saja keputusan Allah, bahwa orang tersebut akan binasa.

Kita disuruh oleh Allah ?????? ?????? untuk menyelisihi Hawa Nafsu. Jangan mengikuti Hawa Nafsu. Lihat Surat Al Kahfi ayat 28:
"Dan bersabarlah engkau (Muhammad) bersama orang yang menyeru Tuhannya pada pagi dan senja hari dengan mengharap keridhoan-Nya; dan janganlah kedua matamu berpaling dari mereka (karena) mengharapkan perhiasan kehidupan dunia; dan jangan lah engkau mengikuti orang yang hatinya telah Kami lalaikan dari mengingat Kami, serta menuruti keinginan (hawa nafsu)-nya dan adalah keadaannya itu sudah melewati batas."

Allah menyuruh kita, agar bersabar, dalam arti bisa mengendalikan jiwa dan tidak mengikuti hawa nafsu. Bisa mengikuti Al Haq dan mengalahkan Al Hawa. Jika kita bisa melakukannya, maka kita akan menjadi orang yang bertaqwa kepada Allah.

Hadits diriwayatkan oleh Imaam Haakim dll, Rosululloh bersabda:
"Ada tiga perkara yang bisa membinasakan manusia, yaitu kikir yang amat sangat, Hawa Nafsu yang diikuti dan Ujub (bangga diri)."

a). Syuhhun (kikir yang amat sangat) adalah: Jangankan kikir terhadap hartanya, terhadap harta orang lain pun ia kikir. Maksudnya, bahwa miliknya adalah miliknya dan milik orang lain pun harus menjadi miliknya. Orang lain yang mendapatkan kenikmatan, ia yang merasa sakit. Keinginannya adalah agar kenikmatan dan keberuntungan jangan lah diperoleh oleh orang lain, tetapi diperoleh oleh dirinya sendiri saja. Lalu yang muncul dalam diri orang yang shokhun itu adalah dengki, iri kepada orang yang mendapatkan kesenangan (kebahagiaan).

b). Hawa Nafsu yang diikuti ini lah yang menjadikan manusia binasa. Apa yang disenangi, digandrunginya diikutinya terus, tanpa pengendalian sesuai dengan Syari'at Allah.

c). Ujub, kagum terhadap dirinya sendiri. Karena merasa ia orang pandai, merasa sebagai orang bangsawan, merasa paling kaya, merasa berstatus tinggi dstnya. Karena orang itu diberikan oleh Allah suatu kelebihan disbanding orang lain, lalu ia berbangga diri maka sifat ini adalah kakak-adik dengan sifat sombong.

Maka mari lah kita mengendalikan Hawa Nafsu, karena mengikuti Hawa Nafsu tidak ada baiknya. Justru akan membinasakan dan merugikan kita. Maka mari lah kita At ta'aawwun 'alal birri wat taqwa (saling tolong-menolong dalam kebaikan dan taqwa) dan selanjutnya jangan ada yang merasa dirinya lebih dari orang lain.

Kita adalah sama disisi Allah , maka mari lah bertolong-tolongan untuk mengalahkan Hawa Nafsu dan mematuhi apa yang Allah berikan kepada kita dan akhirnya kita menjadi hamba-hamba yang taat kepada Allah.


JIHAD MELAWAN HAWA NAFSU ATAU JIHAD KARENA HAWA NAFSU?
“Sesungguhnya jihad adalah salah satu dari pintu-pintu surga yang mana Allah telah membukakannya secara khusus kepada para kekasih-Nya (awliya’ihi), dan dia itulah yang disebut sebagai libasut taqwa (pakaian takwa), dan baju besi Allah yang kokoh, dan perisai-Nya yang kuat” (Imam Ali as, Nahjul Balaghah)

Al-Raghib al-Isfahani pertama-tama menjelaskan arti jihad dari akar katanya jahd yang berarti bekerja keras atau melakukan upaya sepenuh tenaga dan kata juhud yang berarti kesanggupan maximal seseorang (lihat QS 9 : 79).

Kemudian ia melanjutkan penjelasannya tentang jihad wa al-mujahidah yang berarti menghabiskan seluruh tenaga dan upaya semaximal kemampuannya di dalam mempertahankan dirinya dari serangan musuh.
Al-Raghib membagi jihad di dalam tiga kategori :
1) untuk berjuang melawan musuh yaitu mereka yang tak beriman;
2) melawan terhadap setan dan
3) melawan diri sendiri yaitu: ketamakan dan egoisme. 171]

Banyak orang Islam menyangka bahwa Jihad bukan merupakan ibadah. Bahkan lebih jauh lagi menyangka bahwa jihad bukan bagian dari ajaran Islam. Tentu saja pemikiran seperti ini jauh dari kebenaran.

Banyak sekali konsep-konsep Islam yang telah didistorsi para orientalis Barat dan Islamolog yang memang bermaksud menyimpangkan konsep-konsep Islam dari jalan yang sebenarnya.

Sayangnya lagi, sebagian kecil orang Islam, yang terdiri dari  kaum muda memahami beberapa konsep Islam secara keliru dan menyebarkannnya pada banyak orang yang masih awam.

Di Barat, kata jihad umumnya diterjemahkan dengan “Perang Suci” (holy war), dan kata inilah yang lebih populer digunakan oleh media-media Barat. Padahal kata jihad berasal dari bahasa Arab, dan jika kita kembalikan kata “Perang Suci” ke dalam bahasa Arab maka semestinya menjadi “al-harbu al-muqaddasah”, bukan jihad. Walau pun begitu, kata perang atau qital juga dapat kita temukan di dalam banyak ayat Qur’an.

Makna jihad yang secara harfiah adalah upaya keras, dan perang membela diri melawan kaum ingkar, tidak hanya tentang darah dan kematian fisik. Ia adalah kesiapan untuk mempertahankan kehidupan tanpa kenal takut dalam kehidupan rohani.

Nabi saww tidak menginginkan perang dan kematian atas orang lain yang diakibatkannya. Beliau berusaha menggunakan nalar untuk menghindarinya, namun jika keadaan memaksa (jahada), ia tak gentar untuk mengangkat senjata demi menjaga kehormatan agama dan melindungi kepentingan umat.

Imam Hasan ibn Ali as menggunakan nalarnya ketika ia melepaskan khilafah. Imam Hasan memiliki ribuan prajurit tapi ia tahu bahwa mereka tak mungkin mampu bertahan dan gigih. Oleh karena itu ia beranggapan tidaklah bijaksana menggiring mereka ke dalam peperangan sementara mereka tidak akan mampu bertahan, karena mereka tidak memiliki keyakinan yang dalam.

Jihad di dalam Islam merupakan salah satu ibadah yang mulia dan salah satu pilar dari delapan pilar agama Islam. Jihad sering diproyeksikan seolah-olah hanya merupakan bagian integral Islam untuk berjuang melawan orang-orang non muslim dan seolah-olah merupakan kewajiban atas umat Islam untuk berjuang melawan orang-orang yang tidak setia terhadap pemerintahan Islam.

Sebenarnya, Jihad memiliki makna yang berlapis-lapis (multi layered), yang sayangnya oleh sebagian orang Islam hanya diproyeksikan dalam satu dimensi pemaknaan, yaitu perjuangan melawan orang-orang yang tidak setia kepada Islam.
Kedangkalan pemahaman akan filsafat sejarah awal perkembangan Islam berakibat munculnya banyak kekeliruan didalam penafsirannya sehingga banyak konsep-konsep Islam yang diletakkan tidak pada tempatnya. Hal ini juga menimpa konsep Jihad.

Yang paling utama adalah bagaimana pemahaman yang pas atas konsep jihad dalam  situasi historisnya. Dan yang  terpenting, diharapkan dari kita tidak selalu meletakkan Jihad sebagaimana sejarah memposisikannya, karena banyak konsep-konsep Islam tidak hanya terkait pada pemahaman atas sejarah, tetapi tidak boleh diabaikan juga tinjauan hukum atau fiqih Islam yang mesti menjadi bagian penting untuk memahami dan menerapkannya. Pemahaman Islam yang hanya ditinjau dari satu sisi atau beberapa sisi saja hanya mengakibatkan munculnya pemahaman yang tidak integral dan tumpul.

Seluruh konsep-konsep Islam tidak bisa tidak mesti dipahami secara integral dan komprehensif, sehingga ia menjadi suatu sistem yang tidak terpisahkan antara yang satu dengan lainnya.

Begitu pun ketika kita mencoba memahami ayat-ayat Qur’an yang berlapis dan multi dimensi, beberapa adalah historis, beberapa sosial, beberapa etis dan hukum dan seterusnya. Hal ini dilakukan agar kita tidak sampai berlaku tidak adil terhadap al-Qur’an dan tidak menyalah gunakan (melaksanakan) Jihad hanya untuk kepentingan pribadi dan hawa nafsu.

Suatu studi yang hati-hati terhadap al-Qur’an dan hadits membuat pemahaman terhadap Jihad menjadi lebih jernih dan jauh dari semata-mata kekerasan dan peperangan. Sayangnya, beberapa peperangan yang dilakukan khalifah Islam setelah wafatnya Rasul saww telah banyak disimpangkan dari tujuan yang sebenarnya.

Pada masa khalifah pertama, Abu Bakar, terjadi beberapa peristiwa penyalahgunaan jihad seperti pada peristiwa Fuja’ah, juga peristiwa pembakaran Bani Salim yang dilakukan oleh Khalid bin Walid.

Pada masa itu alasan murtad dijadikan alasan untuk bisa melaksanakan jihad. Akan tetapi benarkah orang-orang itu murtad? Dan bolehkah kaum muslimin melakukan pembakaran hidup-hidup sebagai sanksi atas sesuatu yang dianggap melanggar hukum?

Padahal Rasulullah saww pernah bersabda,
Jangan menyiksa dengan api kecuali Pemiliknya (Allah)!(Shahih Bukhari 4 : 325, Kitab Jihad : ‘Jangan menyiksa dengan siksa yang hanya Allah saja yang boleh melakukannya’).

Bahkan setelah pemerintahan Abu Bakar, penyalahgunaan Jihad semakin banyak dilakukan, terutama pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbas. Penyimpangan makna dan penerapan Jihad di kemudian hari tampaknya telah diketahui oleh Rasulullah saw, sehingga karenanya beliau bersabda ketika beliau melihat pasukan yang kembali dari suatu peperangan,
Selamat datang, wahai orang-orang yang telah melaksanakan jihad kecil dan masih tertinggal jihad akbar”. Ketika orang-orang bertanya makna jihad akbar, Rasul saw menjawab, “Jihad melawan hawa nafsu atau diri sendiri (jihad al-nafs)” 172]

Hal ini dimaksudkan agar jihad ashghar (jihad kecil) tidak dilakukan kecuali atas dasar pertimbangan religius. Jika jihad kecil (perang) dilakukan tanpa kebersihan jiwa, tanpa niat yang murni semata-mata untuk mendapatkan ridha dan cinta-Nya, maka tentulah itu bukan jihad yang dimaksud oleh Islam.

Mungkin salah satu sebab munculnya Sufisme adalah karena kaum sufi menjaga dan menjauhkan diri dari  perjuangan demi kekuasaan dan  usaha para penguasa muslim saat itu pada perluasan wilayah.
Mereka, kaum sufi menyadari bahaya menyalahgunakan konsep jihad dan pentingnya penekanan aspek sosial dan moral dari jihad. Jihad Akbar bertujuan untuk mengendalikan sifat-sifat tercela, yang salah satunya adalah sifat tamak, haus kekuasaan dan zalim.

Adanya Jihad Akbar semata-mata untuk menjadi poros untuk tindakan Jihad Ashghar, sehingga jika jihad kecil dilakukan maka tidak boleh keluar dari asasnya yaitu Jihad Akbar.
Penekanan ini sangat diperlukan ketika konsep jihad dengan pedang telah disalahgunakan untuk pertimbangan yang egois. Ajaran Moral dan batasan etis yang dikenakan al-Qur’an secara total telah diabaikan oleh para penguasa Islam dan sepasukan tentara mereka untuk memenuhi ketamakan mereka untuk perluasan wilayah. Untuk alasan inilah kaum sufi turut campur pada langkah ini dan mencoba untuk menerbitkan moral dan dimensi yang etis atas konsep Jihad yang kaya.

Di dalam Shahih al-Bukhari, bisa kita temukan hadits tentang Miqdad ibn Amr al-Kindi. Ia bertanya kepada Nabi yang suci saww,”Sekiranya saya berjumpa dengan salah seorang kafir harb dan kami berperang, lantas ia memukul dan melukai salah satu dari tangan saya, bahkan memotongnya dengan pedangnya, kemudian ia berlari dan berlindung di balik pohon sambil berkata,”Aku menyerah kepada Allah!”, apakah boleh saya membunuhnya, setelah ia telah berkata ini, wahai Rasulullah?”

Rasulullah bersabda,”Semestinya kamu tidak membunuhnya” Al-Miqdad berkata,“Wahai Rasulullah, bukankah ia telah memotong tanganku, dan bukankah kata-kata itu hanya untuk melindungi dirinya dari pembalasan saya?” Rasul saw menjawab,
Kamu tidak boleh membunuhnya, karena jika kamu membunuhnya ketika ia berada dalam posisi seperti itu, maka kamu tidak berbeda dengan orang-orang yang kamu perangi” 173]

Dalam riwayat lainnya, peristiwa seperti ini berkenaan dengan Khalid bin Walid yang membunuh musuh yang telah menyerah dan mengucapkan syahadat Islam. Khalid berdalih,”Itu hanya tipu muslihat musuh saja agar ia selamat dari pedangku!” Nabi saw sangat marah dan mengatakan kepada Khalid,
Mengapa tidak kamu bongkar saja dadanya dan kamu korek hatinya? Apakah kamu benar-benar mengetahui isi hatinya?!

Riwayat-riwayat seperti ini mengajarkan kepada kita bahwa hatta dalam peperangan pun, Islam mengajarkan moral yang tinggi, yaitu agar memaafkan musuh dan tidak membenarkan pembalasan dendam.

Jihad merupakan salah satu dari ibadah politik Islam. Islam sebagai agama yang komprehensif, menjadikan politik sebagai salah satu bagian penting dari ajarannya. Pemisahan politik dari agama merupakan ancaman terbesar, dan inilah salah satu yang diinginkan oleh musuh-musuh Islam.

Oleh karena itu orang-orang yang menghendaki kebaikan bagi Islam berupaya agar agama dan politik tetap menyatu. Hubungan antara keduanya ini adalah seperti hubungan roh dan tubuh. Tubuh dan roh serta kulit dan isi harus selalu menjadi satu.

Kulit dibutuhkan untuk melindungi isi agar kuat. Islam memandang penting politik, pemerintah, undang-undang politik dan jihad, hanya dengan tujuan melindungi dan menjaga warisan spiritualnya, yaitu tauhid, supremasi nilai-nilai spiritual dan moral, keadilan sosial, persamaan hak dan perhatian terhadap sentimen manusia. Jika kulit dipisahkan dari isinya, maka isi akan rusak, dan kulit jadi tak ada gunanya.

Penggunaan kekuatan terkadang juga bisa bermoral. ltulah sebabnya Islam menganggap memerangi kekerasan dan tirani itu sebagai kewajiban suci, dan memandang Jihad dan perlawanan bersenjata, dalam keadaan tertentu, sebagai kewajiban. Allah SwT berfirman,
"Mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang-orang yang lemah, baik laki-laki, perempuan maupun anak-anak, yang semuanya berdoa,”Ya Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri ini (Mekah) yang zalim penduduknya, dan berilah kami pelindung dari sisi-Mu, dan berilah kami penolong dari sisi-Mu!" (QS an-Nisâ’: 75)

Ayat ini menekankan kepada kaum muslimin agar berjihad, dengan dua nilai spiritual
(1) Gerakan mereka adalah demi atau karena Allah,
(2) Orang-orang tak berdaya tengah ditindas oleh tiran, dan kaum muslimin wajib menolong mereka.

Dalam ayat lainnya Al-Qur’an yang suci mengatakan,
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Sesungguhnya Allah benar-benar Mahakuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, melainkan hanya karena mereka berkata,”Tuhan kami hanyalah Allah”. Dan sekiranya Allah tiada menolak (keganasan) sebagian manusia dengan sebagian yang lain, tentulah telah dirubuhkan biara-biara Nasrani, gereja-gereja, rumah-rumah ibadah orang Yahudi dan masjid-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha-kuat lagi Maha Perkasa. (Yaitu) orang-orang yang jika Kami teguhkan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan salat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat yang makruf dan mencegah perbuatan yang munkar, dan kepada Allah lah kembali segala urusan.” (QS. al-Hajj [22]: 39-41)

Di dalam ayat ini kita lihat bahwa seraya memberikan izin berjihad, disebutkan hak-hak kaum Muslim yang hilang dan pada saat yang sama, juga disebut-sebut sebuah nilai yang lebih tinggi daripada hak-hak yang hilang, dan merupakan filosofi pembelaan diri.

Al-Qur’an mengatakan bahwa jika kaum muslimin tidak melakukan jihad, atau tidak berbuat apa-apa, maka keselamatan masjid dan rumah ibadah lainnya, yang menjadi jantung kehidupan spiritual masyarakat, terancam bahaya dan tidak lagi akan berfungsi.

Al-Qur’an juga mengatakan,
Allah tidak menyukai ucapan buruk (yang diucapkan) dengan terus terang kecuali oleh orang yang dianiaya.” (QS. an-Nisâ’: 148)
Jelaslah ini merupakan dorongan kepada kaum tertindas untuk melakukan perlawanan.

Rasulullah saw bersabda,
“…maka barangsiapa yang meninggalkan jihad, niscaya Allah pakaikan (pakaian) kehinaan atas dirinya, kefakiran dalam penghidupannya, dan Allah matikan agamanya. Sesungguhnya Allah Tabaraka Ta’ala akan melemahkan umatku karena mereka meninggalkan kuda-kuda mereka dan pos-pos pertahanan mereka” 174]

Sebagian mufassir Al-Qur’an menggambarkan golongan kanan (ashhâb al-yamin) sebagai ashhâb al-mujâhadah, yakni orang-orang yang berjihad, orang-orang yang terus-menerus berjuang dan bersabar dalam menanggung penderitaan mereka.

Akan ada kedamaian bagi mereka, meskipun mereka berada dalam cobaan dan kegelisahan. Kehidupan ini adalah gudang cobaan dan penderitaan. Akan tetapi, jika cobaan itu dijalani di atas jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw, maka ia akan terasa ringan dan bisa ditanggung.

Bila tidak demikian, seorang yang waras hanya bisa melompat dari jendela dan terang-terangan menyatakan bahwa eksistensi dirinya sama sekali tidak bisa dipahami. Kehidupan ini adalah tempat cobaan dan kesulitan di mana pembangkangan atas rahmat Allah dihapuskan. Manusia tidak punya pilihan kecuali harus berjihad. 175]

Rasulullah saww bersabda,
Barangsiapa yang menjumpai Allah tanpa ada bekas jihad maka Allah akan menjumpainya dalam keadaan sumbing” 176]

Namun hal yang paling penting untuk diperhatikan dari semua yang tertera dalam tulisan ini adalah bahwa jihad tidak bisa dilakukan kecuali dengan syarat-syarat yang telah ditentukan di dalam hukum-hukum fiqih. Salah satunya adalah sebagaimana yang dikatakan Imam al-Shadiq as,
Jihad hanya wajib dilaksanakan bersama pemimpin yang adil” 177]

Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Sumber : http://qitori.wordpress.com/2010/04/01/jihad-melawan-hawa-nafsu-atau-jihad-karena-hawa-nafsu/


Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

Tidak ada komentar:

Posting Komentar