Refleksi Pemikiran K.H.M. Idris Djauhari, Al Amien Prenduan Madura
(1). agar aku berlaku “ikhlas’ baik secara tersembunyi atau terang-terangan,
(2). agar bersikap “adil” baik pada saat ridho atau marah
(3) agar bersikap “sederhana” baik dalam keadaan kaya atau miskin
(4) agar aku “memaafkan” orang yang dholim kepadaku,
(5) agar aku “memberi” kepada orang yang mencekalku
(6) agar aku “menyambung silaturrahim” dengan orang yang memutuskannya
(7) agar aku menjadikan “diam”ku untuk berpikir
(8) agar menjadikan “bicara”ku sebagai dzikir
(9). dan agar menjadikan “pandangan” ku untuk mengambil i’tibar. (HR. Razin)
Sembilan Wasiat (Nine Commandments) yang disampaikan Allah kepada RasulNya dan beliau sampaikan kepada umatnya ini, sungguh merupakan pedoman dan tuntunan hidup kita dalam segala aspek kehidupan. Kalau kita mampu mengimplemetasi kannya dalam keseharian kita, sesuai kemampuan kita, insya Allah kita akan menjadi manusia yang “baik” di sisi Allah dan “terhormat” di mata makhluqNya. Kemudian mengingat terbatasnya ruang yang tersedia, dan mencermati kandungan isinya sekaligus untuk memudahkan ingatan, maka baiklah kita coba kelompokkan Sembilan Wasiat ini menjadi 3 (tiga) trilogi sebagai berikut :
..(0)..
Trilogi Pertama
1. Al-Ikhlash fis-Sirri wal ‘Alaniyah
(Bersikap Ikhlas Secara Tersembunyi atau Terang-terangan) Al-Ikhlas (sincerity, surrender) artinya memurnikan segalanya hanya untuk Allah semata, memulai segalanya dari Allah, melakukannya karena Allah dan mengakhirinya untuk Allah.. Lawan dari ikhlas adalah semua kondisi hati yang muncul dari maksud-maksud untuk selain Allah, seperti “riya’” (berbuat karena ingin dipuji orang) atau “ujub” (bangga dengan diri sendri, merasa diri paling baik) dan lain-lainnya.
Riya dan ‘Ujub ini merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, Bahkan Rasulullah menganggap riya’ sebagai “syirik ashghor” (syirik terkecil) yang paling beliau takuti untuk menimpa umatnya, karena kebanyakan syirik –dalam segala bentuknya – memang bersumber dari riya’ . Dalam hadits ini, Allah dan RasulNya menyuruh kita, untuk senantiasa bersikap “ikhlas” dalam segala kondisi; dimana dan kapan saja ; baik secara tersembunyi (sendirian, diam-diam, di tempat-tempat tertutup, tanpa diketahui orang) ataupun secara terang-terangan (ketika bersama orang lain atau di tempat-tempat terbuka).
Ketika sendirian, barangkali kita bisa bersikap ikhlas dengan mudah, karena kita terhindar dari sifat riya’ atau pamer, walaupun kita harus tetap hati-hati dengan sifat ‘ujub yang seringkali muncul dalam hati, secara diam-diam. Namun ketika kita berada di tempat terbuka atau bersama orang-orang lain, seringkali kita kesulitan untuk bersikap ikhlas yang sebenarnya, karena penyakit-penyakit hati tersebut (terutama riya’) pada suasana yang demikian begitu mudah muncul di hati kita, tanpa kita sadari. Na’udzubillah.
2. Al-‘Adl fir-Ridho wal-Ghodhob
(berlaku “adil”, dalam keadaan Rela atau Marah) Al-‘Adl (justice, fairness) artinya bersikap seimbang, sama, fair, terhadap dua objek yang bertolak belakang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Lawan dari adil adalah “dholim” (injustice), yang berarti aniaya kepada diri sendiri atau kepada orang lain serta sikap-sikap yang menjurus pada ketidak-adilan, seperti tirani, sewenang-wenang, memihak, merampas hak-hak orang lain, dan lain-lainnya. Dalam Islam, keadilan menempati posisi yang sangat sentral dan strategis dan merupakan “inti dari substansi” ajaran Islam, terutama dalam aspek kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai inti dari ajarannya, Islam tidaklah demikian. Kasih dalam kehidupan pribadi, apalagi sosial, bisa berdampak buruk dan negatif Sekedar contoh, seorang hakim seringkali tidak tega menghukum seorang penjahat, gara-gara dia kasih atau sayang kepada si penjahat tersebut, dengan berbagai latar belakangnya.. Jadi, keadilan yang ditegakkan dengan sebenar-benarnya pasti mengandung kasih, Tapi kasih, apalagi yang berlebihan, justru seringkali bertolak belakang dengan keadilan dan rasa keadilan.
Dalam hal ini, Al-Quran memerintahkan kita untuk selalu bersikap adil, hatta kepada diri sendiri, kepada ayah ibu, dan kepada keluarga dekat kita (QS, An-Nisa’, 4, 135). Bahkan kita diperintahakan untuk tetap bersikap adil kepada musuh-musuh kita, walaupun kita tidak suka kepada mereka (Al-Maidah, 5, 8): Subhanallah wa shodaqollah. Dalam hadits ini, Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk senantiasa bersikap “adil” dalam segala situasi dan kondisi, kepada siapa dan kepada apa saja. : baik ketika kita sedang ridho (suka, senang, like) maupun ketika kita sedang ghodhob (marah, tidak suka, dislike). Sikap ridho/like, biasanya muncul karena adanya hubungan kekeluargaan atau persahabatan, karena punya interes tertentu, baik pribadi atau kelompok, bahkan bisa karena adanya unsur sogok menyogok (risywah).
Sedangkan ghodhob/dislike, biasanya muncul karena adanya penyakit-penyakit dalam hati (ghillun fil qolb), seperti dendam, iri hati, hasud, dll. Berlaku adil dalam keadaan ridho “sama sulitnya” dengan berlaku adil dalam keadaan ghodhob Karena itu, seseorang yang sedang terlibat dalam suatu masalah, atau sedang dikuasai oleh nafsu “like or dislike”, sebaiknya tidak menjadi hakim yang memutuskan suatu masalah, karena bisa menjurus pada kedholiman dan ketidak adilan.
3. Al-Qoshd fil Ghina wal-Faqr
(Bersikap “sederhana” dalam keadaan Kaya atau Miskin) Al-Qosd (sederhana, simplicity) artinya bersikap apa adanya, tidak berlebihan dan sesuai dengan kebutuhan. Lawan kata dari al-qoshd adalah (ta’addy, tajawuz, exceeding, overleap) artinya bersikap berlebihan atau melampaui batas-batas kebutuhan atau batas-batas kewajaran. Secara tersirat, dalam kata al-qoshd ini, sebenarnya terkandung makna “adil” yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Sekedar contoh, untuk memenuhi kebutuhan atau menjalankan tugas sehari-hari, sebenarnya kita hanya memerlukan 1 (satu) mobil, umpamanya.. Tapi karena kita kaya, kita justru membeli 3 atau 4 mobil sekaligus dengan alasan yang terkesan dibuat-buat (artifisial). Dalam posisi ini, kita tidak lagi disebut sederhana. karena kita sudah melakukan pemborosan (tabdzir), bahkan kesombongan (takabbur) yang sangat tercela.
Sebaliknya, apabila tanpa mobil, kita tidak mungkin bisa menjalankan tugas-tugas dengan baik, umpamanya, tapi kita tidak mau membelinya padahal kita mampu untuk itu, maka kita tidak lagi disebut sederhana tapi sudah menjurus ke derajat kikir atau bakhil. Dalam Al-Quran disebutkan : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu (terlalu kikir), dan jangan pula mengulurkannya seulur-ulurnya (terlalu pemurah), sehingga kamu jadi tercela dan menyesal (Al-Isro’, 17. 19) Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk bersikap “sederhana”, baik dalam keadaan kaya (berkecukupan, sedang berkuasa) ataupun miskin (berkekurangan, sedang tidak berkuasa) Dalam keadaan miskin, bersikap sederhana memang tidak terlalu sulit, karena dia memang miskin dan tidak mampu untuk bersikap berlebihan. Tapi harus disadari bahwa tidak sedikit orang yang miskin atau pas-pasan, namun cara hidupnya boros dan berlebih-lebihan.
Inilah orang yang paling celaka, dalam konteks kesederhanaan itu, Sebaliknya dalam keadaan kaya, bersikap sederhana itu memang agak sulit, karena dengan kekayaan itu sebenarnya dia punya peluang untuk hidup berlebihan atau berfoya-foya. Tapi dengan penuh kesadaran, dia memilih untuk hidup sederhana dan menampakkan kesederhanaan dalam segala aspek kehidupannya Inilah sebenarnya orang yang paling arif dan bijaksana Kiranya tepatlah apa yang dikatakan para Ahli Hikmah : “Orang yang paling celaka adalah orang miskin yang hidupnya berfoya-foya, dan orang yang paling bijaksana adalah orang kaya yang hidupnya sederhana”. Jelasnya, sederhana itu bukan berarti pasrah atau menyerah pada nasib, tapi sederhana adalah pilihan sikap bathin yang bersumber dari kesadaran hati yang paling dalam dan mengandung semangat atau optimisme untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Demikianlah Trilogi Pertama (tiga hal yang saling terkait) dari “Sembilan Wasiat Allah dan RasulNya” kepada kita. Semoga bisa dilanjutkan dengan pembahasan tentang Trilogi II dan III, pada edisi-edisi berikutnya. Ikhlas, Adil dan Sederhana memang merupakan suasana bathin yang harus melahirkan keyakinan dan komitmen yang kokoh dalam hati kita, tapi pada saat yang sama, kita harus bisa membuktikan ketiganya dalam prilaku dan budaya kita sehari-hari. Semuanya ini akan memiliki “nilai tambah” yang signifikan dan determinan, kalau bisa dilakukan oleh mereka yang saat ini sedang menerima amanat khusus dari Allah SWT, baik berupa amanat kekuasaan (Umaro’/Penguasa), atau berupa amanat ilmu pengetahuan (Ulama’/Cendikiawan), maupun yang berupa amanat kekayaan (Aghniya’/Hartawan), karena mereka inilah sebenarnya yang menjadi 3 pilar tegaknya kahidupan dunia ini, untuk mencapai kebahagian di akhirat nanti, selain dukungan, simpati dan doa-doa para Grass-Roots (Fuqoro’/Rakyat Kecil). Wallahu A’lam wa Ahkam (dimuat dalam majalah Qalam ed. 4, Juli 2009)
..(0)..
Trilogi Kedua
Kalau pada edisi yang lalu, kita telah menguraikan Bagian I (Trilogi Pertama) dari Sembilan Wasiat Nabi SAW, yaitu agar kita bersikap “ikhlas” baik secara sembunyi–sembunyi atau terang-terangan, bersikap “adil” ketika marah atau ketika rela, dan bersikap “sederhana” dalam keadaan kaya atau miskin, maka dalam edisi kali ini akan kita lanjutan pada uraian selanjutnya, yaitu Bagian II (Trilogi Kedua) dari Sembilan Wasiat tersebut. yaitu:
1. Agar memaafkan orang yang mendholimi kita.
Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering kali didholimi (diperlakukan tidak adil atau tidak proporsional) oleh orang-orang lain di sekitar kita, baik langsung maupun tidak langsung, secara fisik atau non-fisik, material atau immaterial, oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya dari kita, seperti para pejabat, penguasa, bos atau orang kaya, atau oleh orang yang sederajat dengan kita, seperti teman sekantor, seprofesi atau teman seorganisasi dll, atau bahkan oleh orang yang lebih rendah kedudukannya dari kita, seperti anak kandung, anak buah. anak didik, dan lain-lainnya. Allah SWT lewat RasulNya SAW memerintahkan kita untuk memaafkan orang-orang tersebut.
2. Agar memberi kepada orang yang mencekal kita.
Sesuai dengan sunnatullah yang berlaku untuk makhlukNya, selain kewajiban yang harus dijalankan, kita juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi. Tapi kenyataannya, seringkali hak-hak tersebut tidak dipenuhi, dicekal, dirampas atau dikebiri oleh orang-orang lain di sekitar kita. Hak-hak tersebut bermacam-macam ; kadang berupa harta, pangkat atau jabatan, tapi juga bisa berupa pelayanan atau pemberian kesempatan. Perampasan atau pengebirian ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kita, baik lebih tinggi secara material ataupun lebih tinggi dalam status sosial dan hirarki organisatoris. Dalam konteks ini, kita diperintahkan oleh Allah SWT lewat RasulNya SAW untuk tetap memberi atau memenuhi hak-hak mereka, siapapun mereka dan apapun motif mereka mencekal kita.
3. Agar menyambung kembali tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya.
Memutuskan tali silaturrahim biasanya dilakukan seseorang, karena adanya alasan-alasan tertentu atau bahkan tanpa alasan apapun. Alasan-alasan itupun bermacam-macm : ada yang jelas dan disengaja tapi ada juga yang sama sekali tidak diketahui dan tidak disengaja, ada yang menyangkut urusan ekonomi, jabatan, pengaruh dan politik. Ini sering terjadi dalam pergaulan hidup sehari-hari, tidak saja antar teman sejawat, bahkan juga sering terjadi antar orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan.
Dalam konteks ini, kita diperintahkan Allah dan RasulNya agar terus berusaha untuk menyambung kembali tali silaturrahim tersebut.
Amma Ba’du….
Ketiga sikap tersebut (memaafkan orang yang mendholimi. memberi orang yang mencekal dan menyambung tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya) rasa-rasaya “sangat pas dan cocok” untuk para pemimpin atau calon-calon pemimpin kita–formal, nonformal atau informal- terutama pada saat persaingan antar kepentingan yang sangat ketat dan keras (kunkurensi) seperti sekarang ini. Memang sangat sulit ! Apalagi terhadap orang-orang yang memang jelas-jelas –atau kita anggap- “bersalah” kepada kita atau kepada orang yang kita anggap sebagai “musuh dan saingan” kita –terang-terangan atau dalam selimut-. Sungguh sangat sulit untuk dilaksanakan, bukan? Tapi kita harus sadar bahwa semua itu bukan hal yang mustahil atau tidak mungkin, sebab Allah dan RasulNya tidak akan menyuruh kita untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan. “La yujakalliful Lah nafsan illa wus’aha” kata Allah.
Terus bagaimana caranya, agar kita mampu melaksanakan ketiga Wasiat Nabi SAW ini? Paling tidak, ada 5 langkah yang harus kita coba laksanakan dengan sungguh-sungguh dan istiqamah :
Pertama, “Dzikrullah” Kita harus memulai upaya ini dengan mengingat dan menyebut asma Allah, agar Allah selalu mengingat kita. Kalau sudah begitu, pasti. kita akan selalu mendapat pertolongan, perlindungan dan pembelaan dari Allah. Firman Allah : “Fadzkuruni adzkurkum”.
Kedua, “Haqqul Yaqin”. Kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa ini adalah wasiat Allah dan RasulNya untuk kebaikan kita sendiri dan kita harus yakin bahwa kita pasti bisa melakukannya dengan taufiq dan ma’unah Allah. Kalau tidak yakin, kita tidak akan pernah bisa. “Man la ya’taqid la yantafi’”.
Ketiga, “Husnudhdhon”. Kita harus selalu berbaik sangka terhadap siapapun bahkan terhadap orang yang berbuat jahat kepada kita. Umpamanya, ketika didholimi, dicekal atau diputus tali silaturrohim, kita anggap saja mereka berbuat begitu, karena ketidaktahuan mereka terhadap diri dan kondisi kita yang sebenarnya.
Keempat, “Muhasabah” (introspeksi). Kita harus selalu bertanya kepada diri sendiri dan menjawabnya dengan jujur, bahwa mereka melakukan hal–hal tersebut, mungkin karena memang bersumber dari kesalahan atau kelemahan kita, bukan semata-mata karena kejahatan dan keburukan mereka.
Kelima. “Dzikrullah” Kita akhiri semua usaha ini dengan mengingat Allah kembali, dengan tasbih, tahmid, tamjid dan istighfar, dan lain-lainnya.. “Subahanakal Lahumma wa bihamdiKa. Asyhadu an la ilaha illa Anta, AstadghfiruKa wa atubu ilaiKa. SubahanaKa fa qina ‘adzaban nar”. Nah, Selamat Mencoba dan Memperhatikan kelima langkah ini. “Jarrib wa lahidh takun ‘arifan”.
Akhirnya…, perlu disadari bahwa semua sikap terhadap berbagai kedholiman dan ketidakadilan seperti yang disebutkan tadi, hanyalah apabila hal itu menyangkut hak-hak dan kepentingan pribadi atau kelompok. Tapi apabila kedholiman dan ketidakadilan tersebut sudah menyangkut prinsip-prinsip agama atau kehormatan bangsa, tentu saja sikap kita harus berbeda. “Janganlah kita marah atau tersinggung, hanya karena urusan pribadi atau kelompok. Tapi marahlah dan tersinggunglah karena Allah, demi Allah dan untuk Allah semata.”. Wallahu A’lam wa Ahkam.
..(0)..
Trilogi Ketiga
Berikut ini adalah Trilogi Ketiga (Bagian Terakhir) dari Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang diwasiatkannya kepada kita umat Islam :
1. “Diam” untuk Berpikir
Dalam keseharian, ada 2 kegiatan yang saling bertolak belakang ; “diam” dan “bicara”. Kalau tidak diam, pasti bicara, kalau tidak bicara, kita pasti diam. Pada kenyataannya, sering kali kita tidak tahu (atau tidak mau tahu (?) bagaimana kita bersikap ketika berbicara dan apa yang mesti kita lakukan ketika diam. Dalam hadits ini Allah SWT memberi wasiat kepada kita melalui RasulNya SAW tentang hal ini, yaitu ketika “diam”, kita harus “berpikir” dan ketika “berbicara”, kita harus “berdzikir” Berpikir tentu saja tidak sama dengan ngelamun, berkhayal tentang hal-hal yang negatif, atau lain-lainnya yang berbahaya.
Berpikir, menurut istilah psikologi, adalah salah satu aktivitas jiwa yang melahirkan pengertian (komprehensi), pendapat (opini) dan kesimpulan (konklusi) tentang hal-hal yang positif dan gagasan-gagasan yang bermanfaat untuk diri sendiri atau orang lain. Islam adalah agama yang sangat mengutamakan kegiatan berpikir, Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW yang menyuruh kita untuk berpikir.
Perintah pertama dalam Al-Quran “Iqro’” dan ayat-ayat lain yang berupa perintah untuk berpikir atau berupa pertanyaan-pertanyaan retoris lainnya, tidak bisa dilepaskan dari konotasi berpikir ini. Demikian juga dalam hadits, Rasulullah SAW menegaskan Ad-Din huwa al-‘Aql. La dina liman la ‘aqla lahu (Agama itu adalah akal (berpikir). Tidak dianggap sempurna agama bagi orang yang tidak (mau) berpikir). Bahkan dalam hadits lain (aw kama qila), Rasululullah SAW menegaskan : At-Tafakkur sa’atan khoirun minal Ibadah sanatan (Berpikir satu jam lebih baik dari pada ibadah (tanpa berpikir) satu tahun. Subhanallah. Begitu tingginya nilai berpikir dalam Islam. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa : “Umat Islam mundur karena mereka malas berpikir”. Dan itu semua hanya bisa dilakukan dengan penuh konsentrasi, apabila kita sedang diam. Ash-Shomtu hikmatun wa qolilun fa’iluhu. (Diam itu penu hikmah, tapi sedikit yang bisa melakukannya)
2. “Bicara” untuk Berdzikir
Dalam berbicara, seringkali justru kita berdosa, karena tidak bisa mengendalikan diri atau berbohong. Paling tidak, ada 4 dosa yang bisa muncul akibat bicara yang tidak terkendali.
(1). Ghibah (ngerasani) yaitu berbicara tentang kejelekan orang lain di belakangnya, walaupun memang benar dan apa adanya
(2). Syatm atau mencaci orang lain dengan kata-kata kotor
(3). Buhtan yaitu berbicara tentang hal-hal yang tidak benar/dusta
(4). Fitnah, yaitu menyebarkan ke tengah-tengah halayak tentang sesuatu yang tidak benar/dusta, baik menyangkut seseorang ataupun sekelompok orang.
Karena itu, kita diperintahkan agar dalam berbicara apapun kita selalu berdzikir. Seperti kita ketahui ada 3 jenis Dzikrullah, yaitu dzikir dengan hati (Dzikrul Qolb), dengan lisan (Dzikrul Lisan), dan dengan perbuatan (Dzikrul Jawarih). Berdzikir ketika berbicara ini termasuk Dzikrul Lisan, artinya kita harus berusaha untuk tidak melanggar nilai-nilai akidah, syariat, dan akhlaq, ketika kita berbicara tentang apa saja, dimana, kapan, dan dalam situasi apa saja. sehingga tidak sampai melakukan 4 jenis dosa di atas. Kalau tidak, lebih baik kita diam saja. Tentu saja, diam untuk berpikir. Sabda Rasul SAW : Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaknya ia bicara yang baik atau diam saja. (Man kana yu’minu billahi wal-yaumil akhir, falyaqul khoiron aw li yashmut)
3. “Melihat” untuk Mengambil I’tibar.
Ketika kita melihat (atau setidaknya mendengar) kejadian atau peristiwa apapun yang terjadi di sekitar kita atau di tempat-tempat yang jauh, kita diperintahkan untuk bisa mengambil “i’tibar” (hikmah dan pelajaran) darinya. Peristiwa-peristiwa tersebut bemacam-macam, ada yang berupa fenomena alam atau fenomena sosial, fenomena politik, ekonomi, budaya, dll. Ada peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan bahkan mengenaskan, ada yang berupa kejadian yang mendadak atau yang memang merupakan akumulasi dari sebuah proses rekayasa yang panjang, dll.
Peristiwa-peristiwa tersebut pada hakekatnya merupakan salah satu dari tanda-tanda keagungan Allah SWT, untuk menguji kita, apakah kita bersyukur atau kufur. Kemampuan mengambil i’tibar ini tentu saja pertama kali harus dimulai dengan “dzikirullah”, baru dilanjutkan dengan “berpikir” tentang fenomena-fenomena tersebut (baik yang bersifat substantif, proses, atau instrumentatif), serta dampak-dampak yang muncul di balik fenomena tersebut. Kemudian kita akhiri dengan “pengakuan” bahwa semuanya ini tidaklah diciptakan dengan sia-sia (bathil), dan kita “bertasbih” serta mohon “perlindungan” dari siksa api neraka (Robbana ma kholaqta hadza bathilan. Subhanaka. Faqina ‘adzaban-nar) IKHTITAM Demikianlah, lengkap sudah Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang kemudian diwasiatkannya kepada kita.
Tentu saja, sebagai umatnya, kita harus berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang mendapatkan 3 amanat paling utama dari Allah SWT, yaitru amanat ilmu bagi para “Ulama’”, amanat kekuasaan bagi para “Umaro’”, dan amanat harta benda bagi para “Aghniya’”. Semoga untuk itu semua, kita selalu nemperoleh taufiq dan hidayah, ma’unah dan inayah serta rahmah dan barokah dari Allah SWT. Amien.
Sumber : http://orbitrupawan.blogspot.com/2010/08/sembilan-wasiat-rasulullah.html
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...
Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...
Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...
Lampirkan sumbernya ya... Syukron
Dalam Kitab “Misykat al-Mashobih” lit-Tibriziy, Kitab “Al-‘Aqd al-Farid” lil Andalusy, Kitab “Al-Bayan wa at-Tabyin” lil Jaahidh, dan Kitab “Bahjah al-Majalis” li Ibni Abdil Bar disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda : Tuhanku telah berwasiat kepadaku dengan 9 perkara, dan aku wasiatkan kepada kalian (untuk melaksanakannya) : Tuhanku berwasiat
(1). agar aku berlaku “ikhlas’ baik secara tersembunyi atau terang-terangan,
(2). agar bersikap “adil” baik pada saat ridho atau marah
(3) agar bersikap “sederhana” baik dalam keadaan kaya atau miskin
(4) agar aku “memaafkan” orang yang dholim kepadaku,
(5) agar aku “memberi” kepada orang yang mencekalku
(6) agar aku “menyambung silaturrahim” dengan orang yang memutuskannya
(7) agar aku menjadikan “diam”ku untuk berpikir
(8) agar menjadikan “bicara”ku sebagai dzikir
(9). dan agar menjadikan “pandangan” ku untuk mengambil i’tibar. (HR. Razin)
Sembilan Wasiat (Nine Commandments) yang disampaikan Allah kepada RasulNya dan beliau sampaikan kepada umatnya ini, sungguh merupakan pedoman dan tuntunan hidup kita dalam segala aspek kehidupan. Kalau kita mampu mengimplemetasi kannya dalam keseharian kita, sesuai kemampuan kita, insya Allah kita akan menjadi manusia yang “baik” di sisi Allah dan “terhormat” di mata makhluqNya. Kemudian mengingat terbatasnya ruang yang tersedia, dan mencermati kandungan isinya sekaligus untuk memudahkan ingatan, maka baiklah kita coba kelompokkan Sembilan Wasiat ini menjadi 3 (tiga) trilogi sebagai berikut :
..(0)..
Trilogi Pertama
1. Al-Ikhlash fis-Sirri wal ‘Alaniyah
(Bersikap Ikhlas Secara Tersembunyi atau Terang-terangan) Al-Ikhlas (sincerity, surrender) artinya memurnikan segalanya hanya untuk Allah semata, memulai segalanya dari Allah, melakukannya karena Allah dan mengakhirinya untuk Allah.. Lawan dari ikhlas adalah semua kondisi hati yang muncul dari maksud-maksud untuk selain Allah, seperti “riya’” (berbuat karena ingin dipuji orang) atau “ujub” (bangga dengan diri sendri, merasa diri paling baik) dan lain-lainnya.
Riya dan ‘Ujub ini merupakan penyakit hati yang sangat berbahaya, Bahkan Rasulullah menganggap riya’ sebagai “syirik ashghor” (syirik terkecil) yang paling beliau takuti untuk menimpa umatnya, karena kebanyakan syirik –dalam segala bentuknya – memang bersumber dari riya’ . Dalam hadits ini, Allah dan RasulNya menyuruh kita, untuk senantiasa bersikap “ikhlas” dalam segala kondisi; dimana dan kapan saja ; baik secara tersembunyi (sendirian, diam-diam, di tempat-tempat tertutup, tanpa diketahui orang) ataupun secara terang-terangan (ketika bersama orang lain atau di tempat-tempat terbuka).
Ketika sendirian, barangkali kita bisa bersikap ikhlas dengan mudah, karena kita terhindar dari sifat riya’ atau pamer, walaupun kita harus tetap hati-hati dengan sifat ‘ujub yang seringkali muncul dalam hati, secara diam-diam. Namun ketika kita berada di tempat terbuka atau bersama orang-orang lain, seringkali kita kesulitan untuk bersikap ikhlas yang sebenarnya, karena penyakit-penyakit hati tersebut (terutama riya’) pada suasana yang demikian begitu mudah muncul di hati kita, tanpa kita sadari. Na’udzubillah.
2. Al-‘Adl fir-Ridho wal-Ghodhob
(berlaku “adil”, dalam keadaan Rela atau Marah) Al-‘Adl (justice, fairness) artinya bersikap seimbang, sama, fair, terhadap dua objek yang bertolak belakang atau meletakkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Lawan dari adil adalah “dholim” (injustice), yang berarti aniaya kepada diri sendiri atau kepada orang lain serta sikap-sikap yang menjurus pada ketidak-adilan, seperti tirani, sewenang-wenang, memihak, merampas hak-hak orang lain, dan lain-lainnya. Dalam Islam, keadilan menempati posisi yang sangat sentral dan strategis dan merupakan “inti dari substansi” ajaran Islam, terutama dalam aspek kehidupan berkeluarga dan bermasyarakat.
Jika ada agama yang menjadikan kasih sebagai inti dari ajarannya, Islam tidaklah demikian. Kasih dalam kehidupan pribadi, apalagi sosial, bisa berdampak buruk dan negatif Sekedar contoh, seorang hakim seringkali tidak tega menghukum seorang penjahat, gara-gara dia kasih atau sayang kepada si penjahat tersebut, dengan berbagai latar belakangnya.. Jadi, keadilan yang ditegakkan dengan sebenar-benarnya pasti mengandung kasih, Tapi kasih, apalagi yang berlebihan, justru seringkali bertolak belakang dengan keadilan dan rasa keadilan.
Dalam hal ini, Al-Quran memerintahkan kita untuk selalu bersikap adil, hatta kepada diri sendiri, kepada ayah ibu, dan kepada keluarga dekat kita (QS, An-Nisa’, 4, 135). Bahkan kita diperintahakan untuk tetap bersikap adil kepada musuh-musuh kita, walaupun kita tidak suka kepada mereka (Al-Maidah, 5, 8): Subhanallah wa shodaqollah. Dalam hadits ini, Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk senantiasa bersikap “adil” dalam segala situasi dan kondisi, kepada siapa dan kepada apa saja. : baik ketika kita sedang ridho (suka, senang, like) maupun ketika kita sedang ghodhob (marah, tidak suka, dislike). Sikap ridho/like, biasanya muncul karena adanya hubungan kekeluargaan atau persahabatan, karena punya interes tertentu, baik pribadi atau kelompok, bahkan bisa karena adanya unsur sogok menyogok (risywah).
Sedangkan ghodhob/dislike, biasanya muncul karena adanya penyakit-penyakit dalam hati (ghillun fil qolb), seperti dendam, iri hati, hasud, dll. Berlaku adil dalam keadaan ridho “sama sulitnya” dengan berlaku adil dalam keadaan ghodhob Karena itu, seseorang yang sedang terlibat dalam suatu masalah, atau sedang dikuasai oleh nafsu “like or dislike”, sebaiknya tidak menjadi hakim yang memutuskan suatu masalah, karena bisa menjurus pada kedholiman dan ketidak adilan.
3. Al-Qoshd fil Ghina wal-Faqr
(Bersikap “sederhana” dalam keadaan Kaya atau Miskin) Al-Qosd (sederhana, simplicity) artinya bersikap apa adanya, tidak berlebihan dan sesuai dengan kebutuhan. Lawan kata dari al-qoshd adalah (ta’addy, tajawuz, exceeding, overleap) artinya bersikap berlebihan atau melampaui batas-batas kebutuhan atau batas-batas kewajaran. Secara tersirat, dalam kata al-qoshd ini, sebenarnya terkandung makna “adil” yaitu menempatkan sesuatu pada tempatnya sesuai dengan porsi dan proporsinya. Sekedar contoh, untuk memenuhi kebutuhan atau menjalankan tugas sehari-hari, sebenarnya kita hanya memerlukan 1 (satu) mobil, umpamanya.. Tapi karena kita kaya, kita justru membeli 3 atau 4 mobil sekaligus dengan alasan yang terkesan dibuat-buat (artifisial). Dalam posisi ini, kita tidak lagi disebut sederhana. karena kita sudah melakukan pemborosan (tabdzir), bahkan kesombongan (takabbur) yang sangat tercela.
Sebaliknya, apabila tanpa mobil, kita tidak mungkin bisa menjalankan tugas-tugas dengan baik, umpamanya, tapi kita tidak mau membelinya padahal kita mampu untuk itu, maka kita tidak lagi disebut sederhana tapi sudah menjurus ke derajat kikir atau bakhil. Dalam Al-Quran disebutkan : Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu di lehermu (terlalu kikir), dan jangan pula mengulurkannya seulur-ulurnya (terlalu pemurah), sehingga kamu jadi tercela dan menyesal (Al-Isro’, 17. 19) Allah dan Rasulnya menyuruh kita untuk bersikap “sederhana”, baik dalam keadaan kaya (berkecukupan, sedang berkuasa) ataupun miskin (berkekurangan, sedang tidak berkuasa) Dalam keadaan miskin, bersikap sederhana memang tidak terlalu sulit, karena dia memang miskin dan tidak mampu untuk bersikap berlebihan. Tapi harus disadari bahwa tidak sedikit orang yang miskin atau pas-pasan, namun cara hidupnya boros dan berlebih-lebihan.
Inilah orang yang paling celaka, dalam konteks kesederhanaan itu, Sebaliknya dalam keadaan kaya, bersikap sederhana itu memang agak sulit, karena dengan kekayaan itu sebenarnya dia punya peluang untuk hidup berlebihan atau berfoya-foya. Tapi dengan penuh kesadaran, dia memilih untuk hidup sederhana dan menampakkan kesederhanaan dalam segala aspek kehidupannya Inilah sebenarnya orang yang paling arif dan bijaksana Kiranya tepatlah apa yang dikatakan para Ahli Hikmah : “Orang yang paling celaka adalah orang miskin yang hidupnya berfoya-foya, dan orang yang paling bijaksana adalah orang kaya yang hidupnya sederhana”. Jelasnya, sederhana itu bukan berarti pasrah atau menyerah pada nasib, tapi sederhana adalah pilihan sikap bathin yang bersumber dari kesadaran hati yang paling dalam dan mengandung semangat atau optimisme untuk meraih kehidupan yang lebih baik.
Demikianlah Trilogi Pertama (tiga hal yang saling terkait) dari “Sembilan Wasiat Allah dan RasulNya” kepada kita. Semoga bisa dilanjutkan dengan pembahasan tentang Trilogi II dan III, pada edisi-edisi berikutnya. Ikhlas, Adil dan Sederhana memang merupakan suasana bathin yang harus melahirkan keyakinan dan komitmen yang kokoh dalam hati kita, tapi pada saat yang sama, kita harus bisa membuktikan ketiganya dalam prilaku dan budaya kita sehari-hari. Semuanya ini akan memiliki “nilai tambah” yang signifikan dan determinan, kalau bisa dilakukan oleh mereka yang saat ini sedang menerima amanat khusus dari Allah SWT, baik berupa amanat kekuasaan (Umaro’/Penguasa), atau berupa amanat ilmu pengetahuan (Ulama’/Cendikiawan), maupun yang berupa amanat kekayaan (Aghniya’/Hartawan), karena mereka inilah sebenarnya yang menjadi 3 pilar tegaknya kahidupan dunia ini, untuk mencapai kebahagian di akhirat nanti, selain dukungan, simpati dan doa-doa para Grass-Roots (Fuqoro’/Rakyat Kecil). Wallahu A’lam wa Ahkam (dimuat dalam majalah Qalam ed. 4, Juli 2009)
..(0)..
Trilogi Kedua
Kalau pada edisi yang lalu, kita telah menguraikan Bagian I (Trilogi Pertama) dari Sembilan Wasiat Nabi SAW, yaitu agar kita bersikap “ikhlas” baik secara sembunyi–sembunyi atau terang-terangan, bersikap “adil” ketika marah atau ketika rela, dan bersikap “sederhana” dalam keadaan kaya atau miskin, maka dalam edisi kali ini akan kita lanjutan pada uraian selanjutnya, yaitu Bagian II (Trilogi Kedua) dari Sembilan Wasiat tersebut. yaitu:
1. Agar memaafkan orang yang mendholimi kita.
Dalam pergaulan sehari-hari, kita sering kali didholimi (diperlakukan tidak adil atau tidak proporsional) oleh orang-orang lain di sekitar kita, baik langsung maupun tidak langsung, secara fisik atau non-fisik, material atau immaterial, oleh orang yang lebih tinggi kedudukannya dari kita, seperti para pejabat, penguasa, bos atau orang kaya, atau oleh orang yang sederajat dengan kita, seperti teman sekantor, seprofesi atau teman seorganisasi dll, atau bahkan oleh orang yang lebih rendah kedudukannya dari kita, seperti anak kandung, anak buah. anak didik, dan lain-lainnya. Allah SWT lewat RasulNya SAW memerintahkan kita untuk memaafkan orang-orang tersebut.
2. Agar memberi kepada orang yang mencekal kita.
Sesuai dengan sunnatullah yang berlaku untuk makhlukNya, selain kewajiban yang harus dijalankan, kita juga mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi. Tapi kenyataannya, seringkali hak-hak tersebut tidak dipenuhi, dicekal, dirampas atau dikebiri oleh orang-orang lain di sekitar kita. Hak-hak tersebut bermacam-macam ; kadang berupa harta, pangkat atau jabatan, tapi juga bisa berupa pelayanan atau pemberian kesempatan. Perampasan atau pengebirian ini biasanya dilakukan oleh orang-orang yang mempunyai kedudukan lebih tinggi dari kita, baik lebih tinggi secara material ataupun lebih tinggi dalam status sosial dan hirarki organisatoris. Dalam konteks ini, kita diperintahkan oleh Allah SWT lewat RasulNya SAW untuk tetap memberi atau memenuhi hak-hak mereka, siapapun mereka dan apapun motif mereka mencekal kita.
3. Agar menyambung kembali tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya.
Memutuskan tali silaturrahim biasanya dilakukan seseorang, karena adanya alasan-alasan tertentu atau bahkan tanpa alasan apapun. Alasan-alasan itupun bermacam-macm : ada yang jelas dan disengaja tapi ada juga yang sama sekali tidak diketahui dan tidak disengaja, ada yang menyangkut urusan ekonomi, jabatan, pengaruh dan politik. Ini sering terjadi dalam pergaulan hidup sehari-hari, tidak saja antar teman sejawat, bahkan juga sering terjadi antar orang yang memiliki hubungan kekeluargaan atau kekerabatan.
Dalam konteks ini, kita diperintahkan Allah dan RasulNya agar terus berusaha untuk menyambung kembali tali silaturrahim tersebut.
Amma Ba’du….
Ketiga sikap tersebut (memaafkan orang yang mendholimi. memberi orang yang mencekal dan menyambung tali silaturrahim dengan orang yang memutuskannya) rasa-rasaya “sangat pas dan cocok” untuk para pemimpin atau calon-calon pemimpin kita–formal, nonformal atau informal- terutama pada saat persaingan antar kepentingan yang sangat ketat dan keras (kunkurensi) seperti sekarang ini. Memang sangat sulit ! Apalagi terhadap orang-orang yang memang jelas-jelas –atau kita anggap- “bersalah” kepada kita atau kepada orang yang kita anggap sebagai “musuh dan saingan” kita –terang-terangan atau dalam selimut-. Sungguh sangat sulit untuk dilaksanakan, bukan? Tapi kita harus sadar bahwa semua itu bukan hal yang mustahil atau tidak mungkin, sebab Allah dan RasulNya tidak akan menyuruh kita untuk melakukan sesuatu yang tidak mungkin kita lakukan. “La yujakalliful Lah nafsan illa wus’aha” kata Allah.
Terus bagaimana caranya, agar kita mampu melaksanakan ketiga Wasiat Nabi SAW ini? Paling tidak, ada 5 langkah yang harus kita coba laksanakan dengan sungguh-sungguh dan istiqamah :
Pertama, “Dzikrullah” Kita harus memulai upaya ini dengan mengingat dan menyebut asma Allah, agar Allah selalu mengingat kita. Kalau sudah begitu, pasti. kita akan selalu mendapat pertolongan, perlindungan dan pembelaan dari Allah. Firman Allah : “Fadzkuruni adzkurkum”.
Kedua, “Haqqul Yaqin”. Kita harus yakin seyakin-yakinnya bahwa ini adalah wasiat Allah dan RasulNya untuk kebaikan kita sendiri dan kita harus yakin bahwa kita pasti bisa melakukannya dengan taufiq dan ma’unah Allah. Kalau tidak yakin, kita tidak akan pernah bisa. “Man la ya’taqid la yantafi’”.
Ketiga, “Husnudhdhon”. Kita harus selalu berbaik sangka terhadap siapapun bahkan terhadap orang yang berbuat jahat kepada kita. Umpamanya, ketika didholimi, dicekal atau diputus tali silaturrohim, kita anggap saja mereka berbuat begitu, karena ketidaktahuan mereka terhadap diri dan kondisi kita yang sebenarnya.
Keempat, “Muhasabah” (introspeksi). Kita harus selalu bertanya kepada diri sendiri dan menjawabnya dengan jujur, bahwa mereka melakukan hal–hal tersebut, mungkin karena memang bersumber dari kesalahan atau kelemahan kita, bukan semata-mata karena kejahatan dan keburukan mereka.
Kelima. “Dzikrullah” Kita akhiri semua usaha ini dengan mengingat Allah kembali, dengan tasbih, tahmid, tamjid dan istighfar, dan lain-lainnya.. “Subahanakal Lahumma wa bihamdiKa. Asyhadu an la ilaha illa Anta, AstadghfiruKa wa atubu ilaiKa. SubahanaKa fa qina ‘adzaban nar”. Nah, Selamat Mencoba dan Memperhatikan kelima langkah ini. “Jarrib wa lahidh takun ‘arifan”.
Akhirnya…, perlu disadari bahwa semua sikap terhadap berbagai kedholiman dan ketidakadilan seperti yang disebutkan tadi, hanyalah apabila hal itu menyangkut hak-hak dan kepentingan pribadi atau kelompok. Tapi apabila kedholiman dan ketidakadilan tersebut sudah menyangkut prinsip-prinsip agama atau kehormatan bangsa, tentu saja sikap kita harus berbeda. “Janganlah kita marah atau tersinggung, hanya karena urusan pribadi atau kelompok. Tapi marahlah dan tersinggunglah karena Allah, demi Allah dan untuk Allah semata.”. Wallahu A’lam wa Ahkam.
..(0)..
Trilogi Ketiga
Berikut ini adalah Trilogi Ketiga (Bagian Terakhir) dari Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang diwasiatkannya kepada kita umat Islam :
1. “Diam” untuk Berpikir
Dalam keseharian, ada 2 kegiatan yang saling bertolak belakang ; “diam” dan “bicara”. Kalau tidak diam, pasti bicara, kalau tidak bicara, kita pasti diam. Pada kenyataannya, sering kali kita tidak tahu (atau tidak mau tahu (?) bagaimana kita bersikap ketika berbicara dan apa yang mesti kita lakukan ketika diam. Dalam hadits ini Allah SWT memberi wasiat kepada kita melalui RasulNya SAW tentang hal ini, yaitu ketika “diam”, kita harus “berpikir” dan ketika “berbicara”, kita harus “berdzikir” Berpikir tentu saja tidak sama dengan ngelamun, berkhayal tentang hal-hal yang negatif, atau lain-lainnya yang berbahaya.
Berpikir, menurut istilah psikologi, adalah salah satu aktivitas jiwa yang melahirkan pengertian (komprehensi), pendapat (opini) dan kesimpulan (konklusi) tentang hal-hal yang positif dan gagasan-gagasan yang bermanfaat untuk diri sendiri atau orang lain. Islam adalah agama yang sangat mengutamakan kegiatan berpikir, Banyak sekali ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi SAW yang menyuruh kita untuk berpikir.
Perintah pertama dalam Al-Quran “Iqro’” dan ayat-ayat lain yang berupa perintah untuk berpikir atau berupa pertanyaan-pertanyaan retoris lainnya, tidak bisa dilepaskan dari konotasi berpikir ini. Demikian juga dalam hadits, Rasulullah SAW menegaskan Ad-Din huwa al-‘Aql. La dina liman la ‘aqla lahu (Agama itu adalah akal (berpikir). Tidak dianggap sempurna agama bagi orang yang tidak (mau) berpikir). Bahkan dalam hadits lain (aw kama qila), Rasululullah SAW menegaskan : At-Tafakkur sa’atan khoirun minal Ibadah sanatan (Berpikir satu jam lebih baik dari pada ibadah (tanpa berpikir) satu tahun. Subhanallah. Begitu tingginya nilai berpikir dalam Islam. Kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa : “Umat Islam mundur karena mereka malas berpikir”. Dan itu semua hanya bisa dilakukan dengan penuh konsentrasi, apabila kita sedang diam. Ash-Shomtu hikmatun wa qolilun fa’iluhu. (Diam itu penu hikmah, tapi sedikit yang bisa melakukannya)
2. “Bicara” untuk Berdzikir
Dalam berbicara, seringkali justru kita berdosa, karena tidak bisa mengendalikan diri atau berbohong. Paling tidak, ada 4 dosa yang bisa muncul akibat bicara yang tidak terkendali.
(1). Ghibah (ngerasani) yaitu berbicara tentang kejelekan orang lain di belakangnya, walaupun memang benar dan apa adanya
(2). Syatm atau mencaci orang lain dengan kata-kata kotor
(3). Buhtan yaitu berbicara tentang hal-hal yang tidak benar/dusta
(4). Fitnah, yaitu menyebarkan ke tengah-tengah halayak tentang sesuatu yang tidak benar/dusta, baik menyangkut seseorang ataupun sekelompok orang.
Karena itu, kita diperintahkan agar dalam berbicara apapun kita selalu berdzikir. Seperti kita ketahui ada 3 jenis Dzikrullah, yaitu dzikir dengan hati (Dzikrul Qolb), dengan lisan (Dzikrul Lisan), dan dengan perbuatan (Dzikrul Jawarih). Berdzikir ketika berbicara ini termasuk Dzikrul Lisan, artinya kita harus berusaha untuk tidak melanggar nilai-nilai akidah, syariat, dan akhlaq, ketika kita berbicara tentang apa saja, dimana, kapan, dan dalam situasi apa saja. sehingga tidak sampai melakukan 4 jenis dosa di atas. Kalau tidak, lebih baik kita diam saja. Tentu saja, diam untuk berpikir. Sabda Rasul SAW : Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhirat, hendaknya ia bicara yang baik atau diam saja. (Man kana yu’minu billahi wal-yaumil akhir, falyaqul khoiron aw li yashmut)
3. “Melihat” untuk Mengambil I’tibar.
Ketika kita melihat (atau setidaknya mendengar) kejadian atau peristiwa apapun yang terjadi di sekitar kita atau di tempat-tempat yang jauh, kita diperintahkan untuk bisa mengambil “i’tibar” (hikmah dan pelajaran) darinya. Peristiwa-peristiwa tersebut bemacam-macam, ada yang berupa fenomena alam atau fenomena sosial, fenomena politik, ekonomi, budaya, dll. Ada peristiwa yang menggembirakan atau menyedihkan bahkan mengenaskan, ada yang berupa kejadian yang mendadak atau yang memang merupakan akumulasi dari sebuah proses rekayasa yang panjang, dll.
Peristiwa-peristiwa tersebut pada hakekatnya merupakan salah satu dari tanda-tanda keagungan Allah SWT, untuk menguji kita, apakah kita bersyukur atau kufur. Kemampuan mengambil i’tibar ini tentu saja pertama kali harus dimulai dengan “dzikirullah”, baru dilanjutkan dengan “berpikir” tentang fenomena-fenomena tersebut (baik yang bersifat substantif, proses, atau instrumentatif), serta dampak-dampak yang muncul di balik fenomena tersebut. Kemudian kita akhiri dengan “pengakuan” bahwa semuanya ini tidaklah diciptakan dengan sia-sia (bathil), dan kita “bertasbih” serta mohon “perlindungan” dari siksa api neraka (Robbana ma kholaqta hadza bathilan. Subhanaka. Faqina ‘adzaban-nar) IKHTITAM Demikianlah, lengkap sudah Sembilan Wasiat Allah SWT kepada RasulNya SAW yang kemudian diwasiatkannya kepada kita.
Tentu saja, sebagai umatnya, kita harus berusaha untuk mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari, terutama bagi mereka yang mendapatkan 3 amanat paling utama dari Allah SWT, yaitru amanat ilmu bagi para “Ulama’”, amanat kekuasaan bagi para “Umaro’”, dan amanat harta benda bagi para “Aghniya’”. Semoga untuk itu semua, kita selalu nemperoleh taufiq dan hidayah, ma’unah dan inayah serta rahmah dan barokah dari Allah SWT. Amien.
Sumber : http://orbitrupawan.blogspot.com/2010/08/sembilan-wasiat-rasulullah.html
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...
Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...
Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...
Lampirkan sumbernya ya... Syukron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar