Laman

Minggu, 27 Februari 2011

"QS. Al Waqi'ah (Part II : 36-96)" dan "Kelebihan Membaca Surah Al Waqi'ah"

QS Al-Waqi'ah : 36-69


36. Dan Kami jadikan mereka (bidadari-bidadari itu) gadis-gadis perawan.
37. Yang penuh cinta lagi sebaya umurnya.
38. (Kami ciptakan mereka itu) untuk golongan kanan.
39. Segolongan besar dari orang-orang terdahulu.
40. Dan segolongan besar pula dari orang-orang terkemudian.
Dengan merangsang imajinasi manusia, Allah menggambarkan kepuasan fisik dari hubungan pria-wanita. "Dan Kami jadikan mereka (bidadari-bidadari itu) gadis-gadis perawan." Wanita di sana, di alam akhirat, selalu dalam keadaan perawan. Kita mengetahui bahwa yang demikian itu mustahil dalam kehidupan di dunia ini. Salah seorang Imam ditanya tentang bagaimana wanita bisa terus perawan. Ia menjawab bahwa hal itu jangan dipahami dalam pengertian fisikal. Gambaran tentang wanita dan minuman tidaklah seperti apa yang mungkin dialami dan dipahami. Semuanya itu adalah mitsâl. Semuanya itu berasal dari insyâ' lainnya, sebuah konstruksi lainnya dalam dunia cahaya dan kesadaran.

41. Dan (tentang) golongan kiri. Alangkah sengsaranya golongan kiri itu.
42. Dalam (siksaan) angin yang amat panas dan air panas yang mendidih.
43. Dan dalam naungan asap yang hitam.
44. Tidak sejuk dan tidak menyenangkan.
Orang-orang yang merugi di dunia ini akan dikumpulkan dan dijerumuskan lantaran berbagai dosa dan kejahatan mereka. Makhluk-makhluk yang tidak berkembang dan tidak mengembangkan diri dalam kehidupan ini akan didaurulang, dibakar, dan disiksa. Mereka akan merasakan angin panas dan air mendidih, yang sangat bertolakbelakang dengan ketenangan, kebahagiaan, kestabilan, dan kenyamanan.
Keputusan Allah adalah keputusan sempurna. Dia Maha Pemaaf. Dia mengetahui bagaimana mencari dan memisahkan orang-orang yang meragukan. Sebagian pencari sejati kebenaran, semisal Mulla Shadra dan Ibn al-'Arabi, seringkali menggambarkan keadaan "alam antara" (Barzakh). Sekalipun "alam antara" ini diawali dalam kehidupan berikutnya, dalam zone nir-waktu, gambarannya dapat dibayangkan sekarang ini, karena alam itu adalah alam lintas-ruang, alam transisi antara kehidupan ini dan akhirat nanti, setelah pemisahan.

Beberapa pencari kebenaran ini berbicara tentang penyucian manusia dengan api. Ibn al-'Arabi membagi api menjadi tujuh jenis. Seseorang bisa dicampakkan ke dalam api neraka agar bisa mengalami dan merasakannya dalam rangka memberinya kesempatan terakhir guna memohon ampunan. Pengetahuan tentang jenis-jenis api mungkin saja bermanfaat, tetapi mungkin juga melahirkan spekulasi yang tidak perlu. Dibesarkan dalam dunia materialistis seperti itu, manusia segera ingin mengkategorikan lebih jauh lagi segala sesuatu, sebagaimana dilakukan oleh para ilmuwan yang berkeliling dunia mengumpulkan burung dan kupu-kupu indah untuk dimasukkan dalam museum biologi. Ini bukanlah cara untuk mencapai pengetahuan batiniah. Caranya bukanlah dengan sekadar mengumpulkan atau menghimpun.
Hadis-hadis meriwayatkan bahwa ada orang-orang yang dinilai jahat oleh manusia, tetapi ia dinilai baik oleh Allah. Kita tidak dapat mengabaikan kejahatan seseorang dalam jalan lahiriah atau syariat; penilaian dalam wilayah kehidupan ini hanya bisa dilakukan sesuai dengan syariat, bukan malah melampauinya. Allah akan menilai segi-segi pelanggaran yang lebih lembut dan tersembunyi, tetapi itu bukanlah pokok bahasan kami.

45. Sesungguhnya mereka dahulu hidup bermewah-mewahan.
46. Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar.
"Sesungguhnya mereka dahulu hidup bermewah-mewahan." Kata mutraf berarti hidup bermewah-mewahan dan sembarangan di dunia ini. Kata ini menyiratkan arti melebihi kebutuhan seseorang. Karena bersikap serampangan dengan kemurahan alam, seseorang menjadi berperilaku menyimpang dan menyalahgunakan nikmat atau anugerah yang diberikan kepadanya. Ibadah penyucian diri dengan memberikan sebagian harta kepada orang lain atau zakat berfungsi sebagai suatu obat alami dalam menangkal keserakahan yang sering merusak diri manusia. Nabi Muhammad saw. ditanya ihwal mengapa zakat sejumlah dua setengah persen. Beliau menjawab bahwa, dalam mengikuti keadilan Allah dan kehendak alam, seseorang menyadari bahwa bagi setiap seribu orang terdapat dua puluh lima orang miskin yang tidak mampu mencukupi diri mereka sendiri dan, karenanya, mereka harus dibantu oleh sebagian lainnya.

Jika Allah mencintai seseorang, maka akan Dia memberinya cobaan untuk membangunkan kesadarannya. Karena cinta kepada tanahnya, seseorang rela bersusah payah membajaknya dan menggarapnya habis-habisan. Urusan hati (qalb') adalah dibolak-balik (maqlub) agar bisa pasrah dan terbebaskan.

Seorang mutraf mencintai dunia dan merasa puas dengannya. Sekalipun sang mutraf ini berinvestasi dan menabung secara salah, ia pun terdorong untuk berbuat salah lagi karena keberhasilan materialnya. Alquran menganjurkan golongan kanan untuk membiarkannya sendiri dan tidak mengganggunya, karena waktunya akan segera berlalu. Ia jauh dari Tuhan Yang Mahabenar dan tidak mampu melihat bahwa kehidupan ini akan berakhir. Ia tidak menabung untuk kehidupan di alam akhirat. Allah mengatakan bahwa jika Dia ingin menghancurkan suatu kebudayaan atau golongan yang melampaui batas, maka Dia akan mengutus kaum mutrafin (jamak dari mutraf). Mereka ini—kaum mutrafin—mengetahui betul bagaimana cara memanipulasi sistem. Mereka adalah parasit kelas wahid. Dengan pelanggaran mereka dalam sistem duniawi, keadilan pun ditegakkan. Ekologi mempunyai suatu mekanisme sempurna untuk memperbarui dirinya. Pelanggaran kaum mutrafin akan menimbulkan reaksi, dan mereka akan dihancurkan berikut berbagai elemen dan hasil pelanggaran mereka. Inilah siklus ekologis dan sibemetis dari penghancuran dan peremajaan-diri, dengan menghancurkan suatu tatanan yang tidak kondusif untuk memperbarui tatanan alam.

Manusia tidak dihancurkan oleh makhluk bersayap yang turun dari langit dan menyemburkan api. Mereka akan dihancurkan oleh makhluk yang berasal dari diri rnereka sendiri. Orang-orang yang mampu mengambil langkah meretas keterikatan dan melakukan refleksi bisa melihat kehancuran itu terjadi terus-menerus dalam sejarah manusia, karena tidak ada sesuatu pun yang berubah. Sunnatullâh tidak pernah berubah. Hukum yang mengatur kehidupan ini sangatlah kokoh dan menjadi fondasi pembangunan segala sesuatu.

Sifat permanen hukum-hukum itu merefleksikan sebuah aspek dari rahmat Allah, karena manusia diberi sesuatu untuk dijadikan sebagai pijakan. Hukum-hukum manusia tidak memiliki kasih sayang atau sifat permanen seperti itu. Jika orang-orang yang telah meninggal dunia seratus tahun lalu di Amerika dihidupkan kembali, maka mereka akan dipenjara dalam waktu sehari, lantaran mereka tidak bakal memahami bagaimana caranya mendekati dan berurusan dengan hukum-hukum yang rumit dewasa ini. Hukum-hukum sejati sama sekali tidaklah bembah. Hukum-hukum itu bersumber dari satu-satunya fondasi sejati dan hakiki dari kehidupan di dunia ini dan akhirat nanti.

Kaum mutrafin sering kali berkumpul untuk menentukan nasib jutaan orang di dunia yang hidupnya pas-pasan ini. Orang-orang kaya dan berada mendiskusikan nestapa orang-orang miskin di dunia ini secara akademis dan abstrak. Ketika kebudayaan-kebudayaan berteknologi tinggi mempelajari berbagai cara dan sarana untuk membantu orang-orang miskin, yang demikian itu dilakukan lebih karena kepentingan pribadi, dan bukan karena rasa keadilan dan pemerataan. Mereka menaruh kepedulian pada kemiskinan. Sebab, jika kemiskinan sudah merajalela, maka besar kemungkinan akan teijadi revolusi dan hilangnya pasar potensial. Untuk menstabilkan situasi, mereka memberi bantuan kepada orang-orang miskin di Indonesia, Malaysia, Bangladesh, dan Afrika. Alquran mengatakan, "Dan mereka terus-menerus mengerjakan dosa besar" (QS 56:46). Kaum mutrafin terus-menerus melanggar hukum Allah.

47. Dan mereka selalu mengatakan, "Apakah bila kami telah mati dan kami telah menjadi tanah dan tulang-belulang, apakah kami benar-benar akan dibangkitkan kembali?"
48. Apakah juga bapak-bapak kami terdahulu (akan dibangkit kembali)?
Orang-orang yang mengingkari akhirat mengira bahwa kehidupan ini adalah segala-galanya. Oleh karena itu, mereka ingin meraup segala sesuatu yang berhubungan dengan kesenangan sensual dan inderawi. Ada dua sikap pada akhirat. Sikap pertama meyakini bahwa dunia ini bukanlah akhir, melainkan barulah sebuah awal menuju dunia abadi. Para penghuninya menganut keyakinan ini hingga mereka mengetahuinya secara langsung nanti.

Mereka adalah orang-orang mukmin. Seorang manusia yang beriman memandang kehidupan ini sebagai medan latihan untuk memasuki zona nir-waktu. Sikap kedua pada alam akhirat dianut oleh seorang yang tidak beriman. Ia serakah karena hanya kehidupan ini sajalah yang berarti bagi dirinya. Ia menjadi sangat tamak. Ia tidak berusaha memperoleh berbagai kualifikasi atau sifat yang diperlukan untuk masuk surga dengan mengasah kesadarannya, dan meningkatkan kebahagiaan, kepasrahan dan kebebasannya. Ia diprogram untuk meraih kebebasan, tetapi ia mencarinya dalam dunia fisik. Ini adalah sebuah penyimpangan. Menurut watak alaminya, manusia adalah sang pencari. Akan tetapi, jika ia meyakini bahwa kehidupan ini adalah titik akhir, maka motivasi tindakannya hanya mementingkan sebuah dimensi yang menimbulkan kekacauan saja. Inilah perbedaan antara orang beriman dan orang kafir.

Kekafiran manusia pada akhirat pun mengejawantah dalam keserakahan dan sifat agresifnya. Dewasa ini, menjadi agresif dan ambisius sangatlah dikehendaki dan diinginkan. Di masa lalu, jika seseorang memiliki sifat agresif dan ambisius, maka ia akan dicemooh. Sekarang ini, "ambisius" dan "agresif' berarti bahwa ia adalah calon pertama yang akan dipekerjakan.
Dalam diri setiap manusia ada kerinduan untuk hidup abadi selamanya. Akan tetapi, ia tidak merenungkan bahwa kerinduan ini berasal dari Allah yang memancar dalam dirinya dan memberitahunya agar kembali kepada sumbernya. Inilah isyarat terus-menerus dari hati yang mengandung makna keabadian. Kebaikan apa pun yang dilakukan seseorang, ia akan ingin terus mempertahankannya. Seruan dari Allah berasal dari dalam, untuk mengetahui makna keabadian, karena Allah Mahaabadi. Yang ada hanyalah Dia, lâ huwa illâ hû (secara harfiah: tidak ada dia selain Dia). Hanya saja, sayangnya, makna ini terlewatkan, dan pancaran cahaya itu pun meredup.

Dunia memang menarik dan memikat. Begitu Anda menceburkan seujung jari saja ke dalamnya, maka Anda akan terseret ke dalam arusnya dan menjadi terbenam seluruhnya. Dewasa ini, manusia tertelan oleh keadaan di mana mereka berada sekarang. Semuanya terperangkap dalam pabrik-pabrik modern berteknologi tinggi yang tidak berbuat apa pun selain mencampakkan mereka sesudah menghamba kerja seumur hidup, terbuang dan ditolak. Orang terbaik di kalangan mereka, pemimpin mereka, mewujud dalam bentuk nama-nama jalan, stadion, dan alun-alun. Budak-budak itu mengikuti berbagai kebiasaan yang sudah lazim, tetapi sang pencari mendobrak berbagai kebiasaan itu dan terbebas dari sistem perbudakan.

49. Katakanlah, "Sesungguhnya orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian."
50. Benar-benar akan dikumpulkan di waktu tertentu pada hari yang dikenal.
51. Kemudian sesungguhnya kamu, wahai orang yang sesat lagi mendustakan.
Dalam Alquran, satu hari (yawm) tidaklah berarti dua puluh empat jam. Dikatakan bahwa sehari di sisi Allah sama dengan seribu tahun dalam kehidupan dunia. Di tempat lain digambarkan bahwa sehari di sisi Allah sama dengan lima puluh ribu tahun lamanya. Bersama Allah, tidak ada waktu. Waktu bersifat relatif, sebagaimana ditunjukkan dengan fenomena menempuh perjalanan dengan kecepatan mendekati kecepatan cahaya. "Orang-orang terdahulu dan terkemudian benar-benar akan dihimpun pada hari tertentu." Ada sebuah tujuan spesifik untuk dunia lahiriah dan dunia batiniah.
Orang-orang kafir terus-menerus berada dalam keadaan merugi. Mereka akan terlempar ke dalam wilayah di luar jangkauan waktu, di mana dimensi waktu lenyap, dan keadaan tegang terus-menerus berlangsung selamanya. Karena mengingkari bahwa kehidupan yang diberikan kepadanya untuk mengagungkan nama Allah yang memberinya kehidupan, orang-orang kafir itu akan merasakan keadaan tanpa istirahat abadi. Dalam keadaan merugi abadi, di dalam api neraka, tidak ada yang tumbuh. Semakin seseorang berusaha untuk menanggung panasnya api, semakin api itu membakarnya.

52. Benar-benar akan memakan pohon zaqqum.
53. Dan akan memenuhi perut(mu) dengannya.
Para penghuni wilayah ini diberi makan dari sesuatu yang pahitnya luar biasa, pohon zaqqum yang tumbuh dari lubang neraka Jahannam tanpa dasar. Ia mengalami tersesat dalam keabadaian seolah-olah ia memenuhi perutnya dengan kepahitan luar biasa. Ia minum tanpa terpuaskan haus dan dahaganya.

54. Sesudah itu kamu akan meminum air yang sangat panas.
55. Maka kamu minum seperti minumnya unta yang sangat kehausan.
56. Itulah hidangan untuk mereka pada hari pembalasan.
Air digunakan untuk menghilangkan dan mengurangi panas dan merupakan salah satu unsur yang berusaha menegakkan keseimbangan. Unsur-unsur itu adalah: basah, kering, panas, dan dingin. Jika seseorang terialu panas, maka ia akan pergi menuju tempat yang dingin. Bila terlalu kering, ia akan bergerak menuju yang basah. Manusia selalu mencari keseimbangan. Segala sesuatu dijaga keseimbangannya oleh Zat Yang Mahaesa. Akan tetapi, pada hari yang ditentukan itu, berbagai karakteristik dari unsur-unsur yang berfungsi sebagai penyetara dalam dunia fisik itu tidak lagi berlaku. Kata hîm berarti unta yang kehausan. Kata ini berkaitan dengan hâ'im, yang bermakna kebingungan. Dalam kehidupan ini, manusia menyibukkan diri dengan apa yang dipandangnya penting dan yang tanpanya ia merasa tidak akan bahagia. Ia melecehkan dirinya sendiri dan juga alam dengan konsumsi yang kelewat berlebihan.
Gambaran tentang kesengsaraan "golongan kiri" adalah berada dalam neraka Jahannam. Salah satu turunan kata dari Jahannam adalah jahnîm, lubang tak berdasar, keadaan tanpa gravitasi, di mana seseorang mendapatkan kabar buruk bahwa sesuatu yang disayanginya tidak lagi bersamanya. Bayangkan seseorang yang tiba-tiba diberi kabar tentang banyaknya bencana yang menimpanya, bahwa segala sesuatu yang disimpan, dicintai, dan dianggapnya penting telah lenyap—itulah jahnîm.

Manusia menginginkan istiqrâr, yakni keajegan, stabilitas, dan keamanan. Dalam bahasa Arab, orang mengetahui Arab bahwa sebuah kata berkaitan dengan kata-kata lainnya melalui akar katanya. Kata-kata ini melahirkan banyak variasi, menjelaskan, dan memberikan makna lebih dalam pada kata semula. Istaqarra (bentuk verbal dari istiqrâr) berarti mencari keamanan atau tempat tinggal permanen. Iqrâr adalah fondasi atau ketetapan, dan qarrara bermakna memutuskan, melaporkan, atau menuturkan. Seluruh kata ini berasal dari akar kata yang sama, qarra, yang berarti menetap, menentukan atau menyelesaikan.
Jika seseorang menempuh jalan kebenaran, maka ia mestilah mengakui bahwa ia Akhirnya akan selamat. Sebab, bagaimana mungkin ia bisa mencari asal-usul sesuatu yang belum ada dalam dirinya?
Fakta bahwa manusia mencari rasa aman membuktikan bahwa asal-usul atau esensinya ada dalam rasa aman. Akan tetapi, ia mencarinya di tempat lain dalam ghaflah (kelalaian, kejahilan). Ia mengira bahwa rasa amannya terletak pada diri kawan ini atau pada pekerjaan itu— itulah ghaflah. Fakta bahwa ia mencari keamanan berarti bahwa keamanan tidak dapat dicapai begitu saja.

Ada sebuah cerita tentang seseorang yang pada suatu malam kehilangan cincin dan mencarinya di bawah cahaya lampu jalanan. Setelah beberapa lama, sewaktu ada banyak orang yang ikut membantu mencarinya, tak ada tanda-tanda bahwa cincin itu akan ditemukan. Akhirnya, salah seorang bertanya kepadanya ihwal di mana ia kehilangan cincin itu, yang kemudian dijawabnya, "Aku kehilangan cincin itu di sana," jawabnya sambil menunjuk rumahnya. "Lalu, mengapa kita tidak mencarinya di sana?" tanya orang yang membantu mencarinya itu dengan kaget. Sang pemilik cincin menjawab, "Karena di sana tidak ada cahaya lampu." Manusia sering mencari di tempat yang nyaman baginya untuk mencari. la tidak berusaha mencari di mana kebenaran berada. Inilah sifat manusia.

57. Kami telah menciptakanmu. Maka, mengapa kamu tidak membenarkan (hari kebangkitan)?
58. Maka, terangkanlah tentang nutfah yang kamu pancarkan.
59. Kamukah yang menciptakannya, atau Kamikah yang menciptakannya?
Keberadaan manusia di dunia ini bukanlah sebuah kebetulan. Keberadaannya mempunyai tujuan. Kebetulan adalah suatu gambaran yang digunakan untuk menunjukkan ketidakmampuan memahami suatu situasi. Manusia telah diciptakan. Mengapa ia tidak bisa menegaskan hal itu? Mengapa ia tidak bisa menerima hal ini sebagai benar adanya? Kata tushaddiqun berasal dari kata sbaddaqa, yang berarti memandang sebagai benar.

60. Kami telah menentukan kematian di antaramu, dan Kami sama sekali tidak bisa dikalahkan.
61. Untuk menggantikanmu dengan orang-orang seperti kamu (di dunia) dan menciptakanmu kelak (di akhirat) dalam keadaan yang tidak kamu ketahui.
62. Dan sesungguhnya kamu telah mengetahui penciptaan yang pertama. Maka, mengapa kamu tidak mengambil pelajaran?
"Kami telah menentukan kematian di antaramu, dan Kami sarna sekali tidak bisa dikalahkan." Kematian (mawt) adalah peristiwa diskontinuitas yang nyata, sebuah perpisahan di jalan. Akan tetapi, manusia tidak bisa mengalami perpisahan kecuali bila secara fitrah ia memiliki pengalaman tentang kebersamaan. Entitas halus dalam dirinya berpisah dengan entitas kasamya, dan perpisahan ini dialami sebagai peristiwa kematian. Dalam perpisahan juga ada penyatuan. Tubuh menyatu dengan asal-usulnya, unsurnya. Tubuh akan kembali ke tanah. Ruh atau jiwa akan kembali ke tempat asalnya berdasarkan perintah sang Pencipta Yang Mahaesa dan Maha Meliputi segala sesuatu. Kata qadr, yang berasal dari kata qadara, bermakna apa yang telah ditentukan, ditetapkan, atau dikadarkan. Segala sesuatu mempunyai kadar atau ukuran masing-masing.

Manakala suatu kebudayaan bersifat terbuka, dengan secara spontan dan murni membiarkan diri dipengaruhi oleh berbagai unsur lainnya, barulah ia pun bisa tumbuh, menyesuaikan diri, dan sesuai secara keseluruhan. Maka, ia pantas mengemban amanat sebagai puncak tertinggi ciptaan. Bila tidak demikian, kebudayaan itu akan tergusur dan digantikan oleh yang lain. Kebudayaan datang dan pergi. Tidak bisa diragukan lagi bahwa ada unsur "siapa kuat, ia mampu bertahan hidup" (the survival of the fittest) dalam setiap aspek kehidupan. Manusia dibawa ke sini dalam keadaan yang tampak temoda dan sangat mungkin tenggelam dalam kehinaan karena adanya keseimbangan antara jiwa dan raga. Ia akan dibentuk lagi di mana bahan konstruksinya tidak bersifat fisik. Siklus berikutnya dalam kebangkitan kesadaran berdasarkan materi yang sulit dipahami oleh manusia—karena diciptakan dari tanah liat—kecuali dengan imajinasi. Manusia bagaikan tawanan yang pandangannya hanya seluas jeruji-jeruji jendela sel penjaranya. Jika ia menggunakan kemampuan nalar dan hatinya, maka ia bisa membayangkan bahwa apa yang ia lihat di hadapannya pastilah juga terjadi di tempat lain. Dengan menggunakan persepsi ini, manusia dapat memahami alam akhirat.

Dengan memahami pertumbuhan pertama, manusia mengetahui bahwa, secara biologis, ia berasal dari zat lendir atau nutfah yang rendah. Ia mengetahui dalam relung hatinya—bila hatinya memang berbolak-balik (qalb)— bahwa akar kehidupan tidaklah dipengaruhi oleh pengalaman hidupnya, melainkan merupakan sumber yang permanen dan tak terkontaminasi. Allah menyeru manusia untuk melihat dan memahami bahwa dalam dirinya bersemayam pengetahuan tentang evolusinya, dan bahwa evolusi, sekalipun sudah mengejawantah dalam waktu sekarang, pastilah berakar dalam wilayah pra-penciptaan. Manusia sudah direncanakan sejak sebelum penciptaan. Ia adalah manifestasi atau pengejawantahan dari potensi. Dalam Alquran, Allah mengingatkan manusia tentang waktu ketika ia masih belum ada dan masih berupa energi potensial.

63. Maka, terangkanlah tentang apa yang kamu tanam.
64. Kamukah yang menumbuhkannya, atau Kamikah yang menumbuhkannya?
65. Bila Kami kehendaki, Kami benar-benar bisa menjadikannya kering dan hancur. Maka kamu pun menjadi heran tercengang.
66. (Sambil berkata), "Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian."
"Maka, terangkanlah tentang apa yang kamu tanam." Manusia hanyalah sebuah instrumen untuk menyemaikan benih, entah benih manusia atau benih tetumbuhan. Manusia hanyalah seorang aktor. Ia tidaklah menulis skenario atau punya kemungkinan untuk mengubah hukum-hukum yang mengaturnya. Satu-satunya kadar kebebasan yang dimilikinya adalah kebebasan memainkan perannya dengan baik. Jika seseorang melihat seorang aktor yang benar-benar baik dan sempurna, maka ia yakin bahwa sang aktor itu pun betul-betul menjiwai perannya. Ia telah menyatukan kehendaknya dengan takdir. Inilah sebuah aspek tauhid; ia betul-betul menyatu dengan perannya. Dari sudut pandang Tuhan Yang Mahabenar, ia tidak terpisah, sekalipun ia membayangkan dirinya terpisah. Jika tindakan Anda ikhlas dan baik, maka tidak ada lagi hambatan antara kehendak Anda dengan apa yang hendak Anda lakukan. Sebab, tindakan itu dilakukan untuk Allah, oleh Allah, dan dalam Allah. Inilah berkah, efisiensi Ilahi. Inilah keselarasan, keseimbangan, dan kewarasan.

Manusia bukanlah penyebab berbagai peristiwa. Ia hanya sekadar sebuah instrumen dalam sebuah orkestra. Manusia dapat bergerak, karena ada kehidupan di dalam dirinya. Ia tidak mendatangkan kehidupan kepada dirinya. Ia hanya sebuah saluran. Jika seseorang betul-betul bergantung pada pengetahuan bahwa Allah adalah sebaik-baiknya penjaga, maka ia akan betul-betul mengetahui bahwa tidak ada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah (lâ hawla wa lâ quwwata illâ billâh). Entitas yang sama sekali tidak terpisah dari diri manusia.
Jika Allah menghendaki, maka berbagai amal perbuatan yang mungkin dibangga-banggakan oleh manusia boleh jadi bakal dihancurkan. Sudah menjadi sifat dan watak manusia bahwa, karena kesombongan dan keangkuhannya, ia akan menganggap enteng dan remeh apa yang sesungguhnya merupakan kehendak Allah.

67. Bahkan kami menjadi orang-orang yang tidak memperoleh hasil apa pun.
Alquran membawa orang yang membacanya menuju masa kini, menuju kehidupan akhirat, dan menuju apa yang sudah mendahului kehidupan. la adalah pemersatu yang bergerak hilir-mudik dan bolak-balik dalam dimensi waktu.
"(Sambil berkata), 'Sesungguhnya kami benar-benar menderita kerugian.'" Kata gharama berarti membayar denda. Dalam kehidupan fisik, manusia mencukupi dirinya dengan sumber makanan yang salah dan kini ia dihukum. Kata benda gharâm bermakna kegila-gilaan atau kegandrungan. Ketika terjadi hari kiamat, sewaktu tidak ada lagi keangkuhan dan kesombongan, manusia betul-betul dalam keadaan terobsesi dan kegandrungan. Tidak ada kemungkinan untuk membenarkan seluruh tindakannya sebelumnya. Jika seseorang mengira bahwa ia berada dalam penjara sekarang, maka bagaimana dengan nanti? Tidak ada suatu tindakan pun yang bisa diperbaiki pada waktu itu.

68. Maka, terangkanlah tentang air yang kamu minum.
69. Kamukah yang menurunkannya dari awan, atau Kamikah yang menurunkannya?
70. Kalau Kami kehendaki, niscaya Kami menjadikannya asin. Maka, mengapakah kamu tidak bersyukur?
Perhatikan air yang Anda minum. Jika Allah menghendaki, maka seluruh air di dunia bisa saja habis. Tuhan Yang Mahabenar menantang manusia dengan memberikan rahmat dan keseimbangan penciptaan. Dengan mengubah satu faktor, seluruh susunan penciptaan akan berbeda; susunan itu tidak akan sesuai dengan makhluk hidup di muka bumi. Menerima begitu saja apa yang telah Allah berikan adalah kesombongan.

71. Maka terangkanlah tentang api yang kamu nyalakan.
72. Kamukah yang menciptakan kayu (bakar)nya, atau Kamikah yang menjadikannya?
Kata syajar berarti pohon. Dalam kebudayaan Islam, pohon secara tradisional melambangkan pohon kehidupan; segenap rantingnya melambangkan seluruh aspek penciptaan yang berkaitan dengan sebuah batang yang akarnya—yang memberikan zat-zat makanan ke seluruh pohon—menghunjam ke dalam tanah. Apakah manusia mengetahui akar kehidupan? Apakah ia mengetahui maknanya? Apakah ia yang telah menciptakannya? Apakah ia yang telah menciptakan api? Yang perlu dilakukannya adalah menggosok dua ranting kayu berbarengan untuk memperoleh percikan bunga api; sebenarnya, ia tidak melakukan apa pun. Ia hanya sekadar mengalami—Allah sajalah sang Pencipta (munsyi'). Asal-usul kehidupan ada pada satu-satunya Tuhan Yang Mahabenar, pemilik segala sesuatu.

73. Kami menjadikan api itu sebagai peringatan dan harta yang berguna orang-orang yang bepergian di padang pasir.
74. Maka bertasbihlah kamu dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahaagung.
Kata tadzkirah berasal dari dzikr, yang bermakna mengingat, kesadaran, dan sebuah jalan lorong. Dalam bahasa Arab modern, tadzkirah berarti tiket. Ini dimaksudkan untuk mengingatkan siapa saja yang menghentikan Anda di pintu gerbang bahwa Anda sebenarnya sudah diperbolehkan masuk ke dalam situasi berikutnya. Inilah persyaratan untuk masuk dengan mengingatkan sang pemeriksa karcis atau tiket.

Kata sandi untuk memasuki pintu kejayaan adalah Nama (ism). Di pintu, sewaktu sedang diterima, Nama itu harus disebutkan. Seseorang yang shidq, orang yang benar, berkata, "Allah, atau Tuhanku." Diriwayatkan dalam banyak hadis bahwa ketika ayat, "Maka bertasbihlah kamu dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Mahaagung" turun kepada Nabi Muhammad saw., beliau menjadikannya sebagai jalan ibadah. Beliau meminta kaum muslim untuk mengucapkan, "Subhana rabbi al-'azhim wa bihamdih" sewaktu mereka mengerjakan rukuk, karena seseorang melakukan rukuk sesudah berdiri dan menyaksikan kehidupan ini, kehidupan akhirat, api neraka, surga, dan asal-usul. Siapa pun yang memuji satu-satunya Tuhan Yang Mahabenar pastilah akan didengar, karena Tuhan Yang Mahabenar adalah Maha Mengetahui. Sesudah melakukan hal itu, seseorang akan merasa hina dan tidak berarti. Ketika seseorang berada dalam perasaan rendah, barulah ia bisa berbicara tentang Yang Mahatinggi (al-A'la)— subhana rabbi al-a'lâ wa bihamdih. Dalam keadaan tidak berarti itu, mata lahiriah tidak lagi berfungsi. Mata batiniah mampu melihat keagungan Zat Yang Mahatinggi, Mahaagung.

75. Maka Aku bersumpah dengan tempat jatuhnya bintang-bintang.
76. Sesungguhnya sumpah itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui.
"Maka Aku bersumpah dengan tempat jatuhnya bintang-bintang" berarti bahwa Aku bersumpah dengan kebenarannya, tempat kebenaran itu. Kata mawaqi' (posisi, tempat jatuhnya sesuatu) berasal dari kata waqa’a yang berarti jatuh. Nujum adalah bintang, atau sesuatu yang bercahaya—Aku bersumpah dengan cahaya, cahaya risalah ini yang bersinar, pijaran kebenaran yang menyala di hati kaum mukmin. Buktinya adalah bahwa risalah itu menekan tombol yang tepat dan benar dalam hati dan menyalakannya. Setiap orang adalah bintang—berbeda tetapi juga sama. Inilah ikrar kebenaran tentang realitas fisik. Inilah ikrar yang membuktikan kesempurnaan berbagai posisi dari segala sesuatu dalam ciptaan ini. Posisi tetap dari bintang-bintang adalah manifestasi dari tatanan alam semesta. Sesungguhnyalah, posisi-posisi tetap ini bersifat dinamis. Posisi-posisi ini tidaklah kaku, melainkan berinteraksi dengan lingkungannya.

77. Sesungguhnya Alquran ini adalah bacaan yang sangat mulia.
78. Dalam kitab yang terpelihara.
Alquran sangat layak dan pantas dibaca. Kitab ini adalah sesuatu yang telah dihimpun dan dikumpulkan—pengungkapan tentang Tuhan Yang Mahabenar. Kitab ini meliputi dan mencakup apa yang bisa dialami dan dipahami tentang Tuhan Yang Mahabenar. Alquran sangat berguna dalam mengajari manusia untuk menempuh hidup lurus, harmonis, dan bahagia.
Alquran tidak bisa dihampiri atau dipahami bila didekati melalui batas-batas dualitas. Jika pembacanya dibebani dengan dualitas, penuh dengan ketidakpasrahan, maka Alquran pun terhijab baginya. Sebagai pengungkapan murni tentang zat Yang Mahahakiki, Alquran hanya bisa mencerminkan tingkat kemurnian hati pembacanya.

79. Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.
Alquran sangat halus dan lembut. Kitab ini mengandung apa yang bisa dibayangkan oleh manusia dan bahkan lebih dari itu. Karena itu, bagaimana seseorang bisa menyentuhnya? Seseorang hanya bisa mengetahui kitab ini bila ia berhenti mengetahui sesuatu yang lainnya dan, dengan kepasrahan menyeluruh, tenggelam dalam Alquran—yang ada hanyalah Alquran. Inilah esensi dari makna Islam.

Dalam situasi eksistensial ada dualitas. Pengetahuan dan informasi eksistensial berpijak pada sang pencari dan sesuatu yang dicari. Sesuatu yang memiliki domain tertentu, seperti bahasa, bisa dikuasai. Inilah pengetahuan eksistensial dan bersifat informatif. Pengetahuan ini didasarkan pada waktu, kapasitas berpikir, dan kesabaran. Akan tetapi, pengetahuan ihwal Kebenaran tidak bisa diperoleh dengan cara ini. Pengetahuan itu hanya bisa diraih dengan membiarkannya muncul, karena sebetulnya ia sudah ada dan bersemayam dalam hati. Pengetahuan tentang kebenaran tidak akan tumbuh subur bila manusia lebih menghargai yang lainnya. Energi manusia telah teralihkan kepada yang lain, kepada materi, sementara pengetahuan tentang Kitab suci dalam diri tidak disimak dengan cermat. Kebenaran adalah substrata dari eksistensi, dan kebenaran sangat memperhatikan peristiwa di alam semesta yang dialami manusia dalam kehidupan singkatnya ini.

80. Diturunkan dari Tuhan semesta alam.
Allah adalah Tuhan dua alam, alam fisik dan alam non-fisik—dunia yang dialami manusia ini, dan akhirat di mana ia tunduk pada akibat-akibat dari segenap niatnya di alam sebelumnya. Manusia akan mengalami dan menjadi apa yang diniatkannya, tidak lebih dari itu. Di dunia ini, yang kasar mengalahkan yang lembut, sementara di akhirat yang lembut menjadi jelas, dan segala sesuatu yaftg tadinya tersembunyi di dalam hati seseorang menjadi sebuah buku yang terbuka lebar (shuhuf munasysyarah).

81. Maka, apakah kamu menganggap remeh tuturan Alquran ini?
82. Dan kamu menggantikan rezeki (yang diberikan kepadamu) dengan mendustakan (Allah).
Kisah dunia material ini dan akhirat dalam kehidupan ini dan berikutnya adalah tentang penyucian. Manusia bisa diibaratkan air yang sifatnya bening. Sewaktu mengalir, air membawa butiran-butiran pasir. Ketika air disaring dalam sebuah saringan, pasir itu pun mengendap dan air itu kembali menjadi bening. Jika air terus-menerus diobok-obok sehingga menjadi keruh dan kotor, maka seluruh ekologi kehidupan dalam air bakal hancur. Seperti air, manusia mesti menyaring diri agar mereka bisa menyadari tindakan mereka yang salah dan kemudian menghindarinya. Bila tidak demikian, lingkungan individual dan kemasyarakatan mereka bakal terganggu dan hancur. Saringannya adalah intelek atau akal.

Sewaktu kesunyian mutlak yang abadi dipecahkan oleh munculnya ciptaan, terdengar sebuah nada. Nyanyian keimanan adalah Alquran dan terus-menerus diperdengarkan sebagaimana halnya pertumbuhan pun bergerak terus secara biologis. Jika kita tidak mendengarkan nyanyian keimanan, maka kita akan mendengarkan yang lain. Jika manusia mendengarkan selain Alquran, maka ia akan meninggalkan Alquran, karena manusia menginginkan keselarasan, bukan kekacauan. Sebuah alat penerima gelombang tidak dapat menangkap dua sinyal sekaligus. Demikian pula, sifat manusia adalah mendengarkan satu gelombang, bukan dua.

83. Maka, mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan?
84. Padahal kamu waktu itu melihat.
85. Dan Kami lebih dekat dengannya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat.
Begitu manusia bersikukuh pada kekafiran, ia akan tetap berada di dalamnya. Ia berpegang teguh pada apa yang dihargai dan diinvestasikannya. Ketika hidupnya berakhir, nyawanya pun sampai di kerongkongan, dan ia pun temganga. Allah lalu berfirman, "Dan Kami lebih dekat dengannya daripada kamu, tetapi kamu tidak melihat." Anda belum memfokuskan visi Anda semasa hidup pada sesuatu yang pantas dilihat. Kebenaran yang meliputi seluruh manifestasi atau pengejawantahan lebih dekat daripada kedekatan itu sendiri. Inilah makna dari pemyataan Allah. Kekuatan luhur yang mendasari seluruh kekuatan yang tampak itu lebih dekat dengan sang sumber, lebih dekat dengan Allah.

86. Maka, mengapa jika kamu tidak berutang (kepada Allah)?
87. Kamu tidak mengembalikannya bila kamu memang termasuk dalam golongan orang-orang yang benar?
Kata dayn, yang bermakna utang, adalah satu sisi dari keseimbangan. Jika seseorang menganggap dirinya berutang, maka ia tentu akan berusaha melunasinya dengan benar. Jika Anda menganggap diri Anda berutang kepada Tuhan Yang Mahabenar, maka Anda akan melunasi utang itu. Seluruh kehidupan didasarkan pada utang yang pernah ditanyakan oleh Imam Ja'far ash-Shadiq a.s. tentang bagaimana cara melunasinya. Mustahil dan tidaklah mungkin melunasinya. Umpamanya saja, andaikan Anda merasakan kebahagiaan disebabkan oleh suatu momen bahagia dan ingin bersyukur atas kebahagiaan Anda itu. Ketika Anda menyadari rasa syukur Anda, maka Anda pun mengetahui bahwa Anda harus bersyukur karena mampu bersyukur, dan terus-menerus bersyukur, seperti pantulan tak terhingga dua cermin yang berhadapan satu sama lain. Inilah makna sebenarnya, bahwa selalu saja muncul kesa-daran tentang kemustahilan dan ketidakmungkinan melunasi utang itu. Inilah anugerah tak terbatas, dan manusia pun menyia-nyiakannya.

"Jika kamu tidak berutang (kepada Allah)" adalah sebuah pertanyaan yang tidak dapat dijawab. Perhatikan kehidupan Anda dan bagaunana kehidupan itu lenyap. Di manakah kontrol yang menurut manusia dimilikinya? Imam 'Ali Zainal Abidin a.s. berkata, "Seorang mukmin sejati meninggal dunia seolah-olah ia telah menanggalkan pakaian kotornya." Akan tetapi, seorang yang tidak beriman dan hanya memikirkan dunia telah merobek-robek pakaian kehidupan dan tercerabut dari hakikat keberadaannya ketika ia berusaha tetap bersikeras dalam keingkarannya.

"Lalu mengapa jika kamu tidak bemtang (kepada Allah)? Kamu tidak mengembalikannya bila kamu memang termasuk dalam golongan orang-orang yang benar." Jika Anda tidak bemtang, jika Anda tidak merasa berada di bawah kendali mutlak Tuhan Anda, lantas mengapa Anda tidak mengembalikan kematian ketika ia datang? Ketika mendengar bahwa seseorang telah meninggal dunia, seorang mukmin mengatakan, "Tidak ada daya dan kekuatan kecuali bersama Allah." Manusia hanya memiliki kekuatan relatif selama masa kehidupannya yang singkat.

Sang pencari sejati kebenaran akan tersentuh bila mendengar ada seseorang yang meninggal dunia, karena ia mengetahui bahwa kematian adalah pintu menuju pengalaman berikutnya. Seorang yang beriman akan bahagia, karena orang mati terbebas dari kebmgungan dualitas kehidupan. Kini ia memiliki pengetahuan yang pasti. Sang pencari sejati bergembira bukan karena orang yang meninggal dunia itu sudah hancur—sebab yang hancur hanyalah tulang dan daging saja, sementara ruh terus hidup. Sang pencari sejati tertarik pada ilmu pengetahuan. Ketika seorang bayi lahir, sang pencari sejati akan menangis, karena ia mengetahui apa yang akan dialami oleh makhluk yang baru lahir ini.

88. Adapun jika ia termasuk dalam golongan orang-orang yang didekatkan (kepada Allah).
89. Maka ia memperoleh ketenteraman dan rezeki serta surga kenikmatan.
"Adapun bila ia terrnasuk dalam golongan orang-orang yang didekatkan (kepada Allah)." Manusia tidak mengetahui Tuhan Yang Mahabenar. Ia tidak mengetahui jalan menuju Tuhan Yang Mahabenar, karena ia mungkin tidak menemukan jalan menuju Tuhan Yang Mahabenar. Akan tetapi, ia mungkin mengetahui apa saja yang bukan Tuhan Yang Mahabenar. Ia mengetahui jalan-jalan yang menjauhkannya dari Tuhan Yang Mahabenar. Dengan menempuh jalan-jalan itu, seseorang akan bisa tiba di satu-satunya jalan sejati, satu-satunya jalan menuju tauhid. Kehidupan dunia dan kehidupan akhirat dari seseorang yang dekat dengan Allah adalah kehidupan penuh kenyamanan dan kenikmatan (na'im), yakni surga (jannah). Di dalamnya, ia melihat segala sesuatu dengan tauhid dan tidak tunduk pada berbagai perubahan pengalaman.

Nabi 'Isa a.s. bersabda, "Aku tengah mencari-cari umatku ketika tiba-tiba aku menjumpai orang-orang yang takut pada api neraka. Aku memberitahu mereka, 'Kalian akan beroleh keuntungan dengan perdagangan kalian, tetapi bukan itu yang aku cari.' Kemudia, aku berjumpa dengan orang-orang yang berdoa memohon surga. Kukatakan kepada mereka, 'Kalian akan mendapatkannya, tetapi bukan itu yang aku cari.' Lalu, aku berjumpa dengan orang-orang yang ikhlas dan tulus dalam beribadah, dengan kesadaran penuh, dan kekhidmatan sempurna, dan kukatakan kepada mereka, 'Kalianlah umatku.'"

Jika Anda menginginkan Allah, maka api neraka dan surga hanyalah langkah-langkah menuju kepada-Nya. Dalam Alquran, dijumpai ada gambaran tentang berbagai tingkatan surga dan neraka. Tingkatan terakhir surga adalah di mana tidak ada suara sama sekali dan tak ada sesuatu pun terdengar. "Mereka tidak akan mendengar di dalamnya perkataan yang sia-sia atau ataupun ucapan-ucapan yang menimbulkan dosa, kecuali ucapan salam atau kedamaian." Jika kata-kata yang terdengar di dalam surga, maka kata-kata itu adalah ucapan salam. Kedamaian (salâm) adalah suatu keadaan kesadaran murni. Apa yang terjadi dalam tingkatan surga yang lebih rendah adalah negasi, atau netralisasi, atas berbagai hasrat karena semua-nya itu itu telah dipenuhi agar seseorang bisa melampauinya menuju keheningan hakiki, menuju esensi atau hakikat.

90. Dan adapun jika ia termasuk dalam golongan kanan.
91. Maka keselamatan bagimu karena kamu dari golongan kanan.
Surah ini adalah tentang berbagai keadaan berbeda yang mungkin dialami manusia sesuai dengan tingkatan tauhidnya. Orang-orang yang didekatkan kepada Allah (al-muqarrabun) akan jauh dari selain diri-Nya dan, karena itu, dekat dengan-Nya.

Golongan kanan adalah orang-orang saleh, mereka yang bertindak secara cermat. Sebagian penafsir Alquran (mufassir) menggambarkan golongan kanan (ashhâb al-yamin) sebagai ashhâb al-mujâhadah, yakni orang-orang yang berjihad, orang-orang yang terus-menerus berjuang dan bersabar dalam menanggung penderitaan mereka. Akan ada kedamaian bagi mereka, meskipun mereka berada dalam cobaan dan kegelisahan. Kehidupan ini adalah gudang cobaan dan penderitaan. Akan tetapi, jika cobaan itu dijalani di atas jalan yang ditempuh oleh Nabi Muhammad saw., maka ia akan terasa ringan dan bisa ditanggung. Bila tidak demikian, seorang yang waras hanya bisa melompat dari jendela dan terang-terangan menyatakan bahwa eksistensi dirinya sama sekali tidak bisa dipahami. Kehidupan ini adalah tempat cobaan dan kesulitan di mana pembangkangan atas rahmat Allah dihapuskan. Manusia tidak punya pilihan kecuali harus berjihad.

92. Dan adapun jika ia termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan lagi sesat.
93. Maka ia mendapat hidangan air yang mendidih.
94. Dan dibakar di dalam neraka.
"Dan adapun jika ia termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan lagi sesat" berarti: jika ia telah mengingkari satu-satunya Kebenaran, jika ia mendustakan tauhid. Orang seperti itu dihitung termasuk dalam golongan orang-orang yang mendustakan dan sesat (mukadzdzibîn adh-dhâllin). Pertama, ia berdusta, dengan mengingkari apa yang sebetulnya dipandang benar oleh hatinya. Jika manusia mengingkari rasa utang budinya kepada AUah, maka ia akan berada dalam kerugian.

"Maka ia mendapat hidangan air yang mendidih." Manusia bisa minum air panas mendidih di dunia ini dan di akhirat nanti. Ketika seseorang merasa sangat marah dan gelisah, maka segala upaya dan usaha untuk melenyapkan amarah itu akan ditolak dan hanya akan semakin menyulut emosinya saja. Hujan rahmat yang sejuk tidak disadarinya dan, karenanya itu, terasa panas bagaikan air mendidih. Api lahiriah dapat dicegah agar tidak semakin meluas dan diketahui batas-batasnya. Sementara itu, api batiniah seperti hasrat, nafsu, rasa takut, dan amarah tidaklah berbatas. Manusia sendiri adalah pohon yang memberi kayu bagi api. Keadaan puncak kaum mukadzdzibîn pun menjadi nuzulun min hamim. Rumah mereka adalah air yang mendidih, api neraka. Mereka tinggal dalam jahim, neraka yang memanggang.

95. Sesungguhnya (yang dituturkan) ini adalah suatu keyakinan yang benar.
96. Maka bertasbihlah dengan (menyebut) nama Tubanmu Yang Mahaagung.
"Sesungguhnya (yang dituturkan) ini adalah suatu keyakinan yang benar." Seseorang akan memasuki kehidupan akhirat dengan membawa segenap amalnya dalam kehidupan di dunia ini—dan amal-amal itu didasarkan pada niat. Manusia telah membuat kunci neraka atau kunci surga, dan mulai mengalami keadaan-keadaan itu di dunia ini berdasarkan niatnya. Tidak ada diskontinuitas atau keterputusan. Mereka yang telah membuat kunci neraka sebenarnya sudah mengalaminya sekarang. Kehidupan dunia ini berkesinambungan dengan kehidupan akhirat nanti.

Orang yang membuat kunci kebahagiaan, kunci menuju surga, sudah memasuki keadaan itu. Arsip yang sudah digenggamnya berupa ilmu dan amal digunakan untuk melembutkan sisi-sisi kasar dari dirinya, kepribadiannya, berikut segala macam keinginan atau hasratnya. Pada akhirnya, jika ia memang ingin menyirnakan semuanya itu, menjadi sebuah non-entitas, maka ia akan mengenal satu-satunya Wujud hakiki. Semakin ia menegaskan identitasnya, semakin ia kurang mampu melihat Wujud hakiki itu.

Nabi Muhammad saw. bersabda, "Tidak ada dua hati di dalam dada manusia." Jika niat dan maksud seseorang adalah mengenal, maka ia akan mengenal Allah. Dan begitu Anda sudah mengenal Allah, tidak ada masalah lagi dengan yang lainnya. Jika niat Anda hanyalah menjadi kaya, maka Anda akan mendapatkannya dengan segala kesulitan yang ada di dalamnya. Jika Anda menginginkan rumah dan anak-anak, maka Anda juga akan mendapatkannya dengan segala kekecewaan yang ada. Anda tidak dapat memperoleh sesuatu tanpa juga mendapatkan keba-likannya. Inilah keseimbangan. Alquran menyebutnya al-mîzân (keseimbangan), dan hukum-hukum yang mengatur kehidupan ini pun berada dalam keadaan seimbang. Kehidupan ini bukanlah kekacauan (chaos), melainkan keteraturan (cosmos)—dalam keseimbangan sempurna.

Amirul Mukminin, 'Ali bin Abi Thalib a.s., pernah mengatakan bahwa hal pertama yang dilihat oleh manusia yang beriman dan pasrah adalah pandangan sekilas tentang Tuhan Yang Mahabenar, yang selama ini ia ingin beroleh keyakinan tentangnya. Keyakinan itu muncul dengan cara mempertanyakan, mempelajari, memahami, dan bergerak di sepanjang jalan, dengan menghayati Alquran. Tahap pertama keyakinan itu adalah seperti diberitahu bahwa ada kebakaran di hutan dan Anda mempercayai kebenaran informasi sang pembawa berita. Ini disebut 'ilm al-yaqîn, pengetahuan yang yakin. Tahap kedua adalah benar-benar melihatnya, menyaksikan kebenaran berita itu. Inilah 'ayn al-yaqîn, inti atau sumber keyakinan. Tahap ketiga adalah haqq al-yaqin, kebenaran keyakinan, yakni benar-benar merasakan panasnya api yang membakar itu. Orang bisa merasakan panasnya api dengan berada di dekatnya atau karena terbakar oleh api itu. Sama sekali tidak ada keraguan tentang hal itu. Tahap keempat adalah baqq al-haqq, kebenaran yang sebenar-benarnya, yakni ketika seseorang terbakar oleh api itu dan tidak ada sedikit pun yang tersisa.

Lâ huwa illâ hû: Tidak ada sesuatu pun selain Dia. Inilah segel terakhir Kebenaran. Orang terbakar di dalamnya. Setelah segel itu telah terukir, tidak ada seorang pun bisa mengambilnya dari Anda, karena Anda telah membayar utang anda.

Setelah menerima risalah, yang bisa dilakukan seorang mukmin adalah mengagungkan—dengan izin-Nya, dengan masuk melalui pintu itu, dengan nama Allah—kesadaran tertinggi yang meliputi segala sesuatu, kesadaran tentang kehadiran Allah, Tuhan Yang Mahaagung, Mahatinggi, dan Mahaperkasa. Menyebut nama-Nya berarti bahwa seseorang mengabaikan nama-nama lain, label-label lainnya. Seorang mukmin percaya bahwa ia akan memasuki keadaan itu, menuju rumah Allah, menyeru Allah, mengarungi padang kebingungan, menyeru dan menyeru, hingga ia terbangun dan sadar. Lalu, ia menyadari bahwa ia sudah berada di dalam rumah Allah, tetapi ia tidak mengetahui lantaran tertutup oleh imajinasinya sendiri.[]

Sumber : http://sufiroad.blogspot.com/2010/11/sufi-road-surat-al-waqiah-2-tafsir.html


Kelebihan Membaca Surah Al Waqi'ah

Surah Al-Waqi’ah adalah surah yang ke-56 dalam Al-Quran, terletak pada juzuk ke 27 dan terdiri dari 96 ayat. Surat yang diturunkan selepas Surah Taahaa ini dinamakan dengan Al-Waaqi’ah (Hari Kiamat), diambil dari perkataan Al-Waaqi’ah yang terdapat pada ayat pertama. Di dalam surah Al-Waqi’ah ini menerangkan tentang hari kiamat, balasan yang diterima oleh orang-orang mukmin dan orang-orang kafir. Diterangkan pula penciptaan manusia, tumbuh-tumbuhan, dan api, sebagai bukti kekuasaan Allah dan adanya hari kebangkitan.

Apa yang hebatnya surah Al-Waqiah ini, dengan amalan membacanya ia memberikan beberapa khasiat dan kelebihan tersendiri.

Sabda Rasulullah SAW:
“Surah al-Waqiah adalah surah kekayaan. Hendaklah kamu membacanya dan ajarkanlah ia kepada anak-anak kamu.” (Riwayat Ibn Mardawaih daripada Anas: Kasyf al-Khafa’).
“Sesiapa yang membaca surah al-Waqiah pada setiap malam ia tidak akan ditimpa kefakiran.” (Riwayat daripada Ibn Mas‘ud: al-Azkar, al-Jami al-Soghir).
“Ajarkanlah surah Al-Waqi’ah kepada isteri-isterimu. Kerana sesungguhnya ia adalah surah Kekayaan.” (Hadis riwayat Ibnu Ady)

Menurut fatwa sebahagian Ulama’ katanya:

“Barangsiapa membaca surah Al-Waqi’ah pada setiap hari dan malam dalam satu majlis sebanyak 40 kali, selama 40 hari pula, maka Allah akan memudahkan rezekinya dengan tanpa kesukaran dan mengalir terus dari pelbagai penjuru serta berkah pula.”

Diantara fadhilah-fadhilah membaca surat Al-Waqi’ah adalah:
1. Jika dibaca setiap malam sebagai wirid, maka tidak akan tertimpa kepapaan.
Rasulullah bersabda :
Man qara’a suratal-Waqi’ati kulla lailatil lam tusibhu faqah, wa suratul-Waqi’ati suratul-gina faqra’uha wa ’allimuha aulada-kum. Artinya: "Barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah tiap malam, maka tidak akan menimpa kepadanya kepapaan. Dan surat Al-Waqi’ah adalah surat kaya, maka bacalah dan ajarkanlah kepada anak-anak kamu.”

2. Berkata Masruq: “Siapa ingin mengetahui cerita orang-orang terdahulu dan orang-orang terkemudian, serta cerita ahli surga dan ahli neraka, penduduk dunia dan akhirat, maka bacalah surat Al-Waqi’ah”. (Tafsir Jamal, Juz IV halaman 269)

3. Imam Ja’far ra. berkata: “Barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah pada waktu pagi ketika keluar dari rumahnya untuk bekerja, atau untuk mencari kebutuhan. Maka Allah Ta’ala mempermudah rezekinya dan mendatangkan hajatnya. Dan barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah pada waktu pagi dan petang, maka ia tidak akan kelaparan atau kehausan, dan tidak akan takut terhadap orang yang akan memfitnah, sedangkan fitnahannya kembali pada orang itu”. (Khazinatul Asrar Kubra, hal. 360)

4. Disebutkan dalam Khawashul Qur’an, siapa yang membaca surat Al-Waqi’ah sebanyak 41 kali dalam satu majlis, maka didatangkan hajatnya, terutama urusan rezeki. Dan barangsiapa membaca surat Al-Waqi’ah sesudah sholat Asar sebanyak 14 kali dalam satu majlis, maka didatangkan hajatnya, terutama urusan rezeki. Aturan tersebut adalah mujarab. Jika menginginkan datangnya rezeki dari Allah dengan tak terkira-kira datangnya, maka bbacalah surat Al-Waqi’ah selama 40 hari berturut-turut jangan terputus, dan setiap harinya dibaca 40 kali.

5. Dengan mewiridkan surat Al-Waqi’ah sebagai bacaan rutin setiap hari dan malam, maka Allah menjauhkan kefakiran selamanya. Sa’d Al Mufti mengatakan, bahwa hadist ini shahih.
Rasulullah bersabda:
Man qara’a suratal-Waqi’ati lam yaftaqir abada. Artinya: “Barangsiapa (membiasakan) membaca surat Al-Waqi’ah, maka ia tidak akan kefakiran selamanya.”

Sumber : http://www.deamira.com/2010/11/kelebihan-membaca-surah-al-waqiah/



Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

Tidak ada komentar:

Posting Komentar