Pejuang Kesederhanaan Islam didirikan bukan saja dalam retorika dan dalil pembenaran, namun menjelma dalam kehidupan pribadi-pribadi yang mulia.
Umar berjalan melalui lorong-lorong perkampungan. Ia temukan sebuah keluarga yang sedang memasak batu karena tak ada gandum untuk dimasak" sementara anaknya menangis tersedu-sedu menunggu masakan itu. Ketika didekatinya, keluarga itu menjelek-jelekkan khalifah karena dianggapnya tidak peduli terhadap rakyat kecil.
Ia terperanjat dan langsung pergi ke gudang beras mengambil satu karung gandum dan diberikannya kepada keluarga tersebut. Pembantunya menawarkan jasa, "Biar aku saja yang memanggul karung itu"? Umar menjawab, "Apakah kemarahan Tuhan akan bisa kau halangi ketika aku membiarkan umatku kelaparan, sementara aku tak memberinya makan?"
Pintu kantor diketuk. "Silakan Masuk" Jawab penghuninya. Masuklah seseorang ke dalam ruangan. Orang dalam ruangan itu bertanya, "Apakah kepentinganmu untuk urusan pribadi atau urusan umat?" "Urusan pribadi" Jawab tamu itu. Dengan cekatan dimatikanlah lampu di ruangan itu hingga gelap gulita. "Mengapa Anda matikan lampu-lampu itu, Tuan?" Tanya si tamu. "Karena urusanmu bersifat pribadi, dan lampu ini hanya akan dipergunakan untuk kepentingan umat, selain itu tidak."
Kedua kisah di atas sangat populer di kalangan umat Islam. Keduanya selalu dikaitkan dengan model kepemimpinan dalam Islam. Kisah manusia-manusia suci yang mempertahankan amanah. Kisah kesederhanaan dan kejujuran dalam memimpin umat. Kisah empati pemimpin ketika mendapati penderitaan rakyatnya. Inilah kisah bahwa jabatan adalah amanat Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Kisah pertama menceritakan bagaimana empati seorang khalifah yang bernama Umar bin Khattab. Umar melakukan hal itu bukan atas kesombongan dan ingin dipuji. Ia menjalankan amanah karena Allah. Umar adalah orang yang sangat tegas dalam menegakkan syiar Islam.
Kisah kedua adalah kesederhanaan dan Clean government-nya Umar bin Abdul Aziz, cucu Umar bin Khattab. Seorang khalifah yang memiliki kearifan sosial dan kesederhanaan dalam berperilaku serta penuh kejujuran dalam menjalankan pemerintahan. Bahkan, untuk kehidupan keluarganya pun ia pisahkan dari urusan negara, tak pernah ia berikan fasilitas negara untuk keluarganya, apapun alasannya. Kisah di atas hanyalah dua kisah mulia dari banyak kisah para pemimpin Islam.
Kedua kisah ini laiknya kita renungkan kembali ketika kesederhanaan tidak lagi hadir dalam jiwa para pemimpin, bahkan tidak pula dalam diri kita pribadi. Ketika kesadaran hanya menjadi retorika belaka dan penderitaan rakyat menjadi benteng kerakusan diri sendiri. Dalam ajaran Islam, setiap orang diperintahkan untk ber-amar ma'ruf nahyi munkar. Kedua hal itu akan mengantarkan kita pada kelompok manusia yang berbahagia (Q.S. 3: 104).
Amar ma'ruf nahyi munkar adalah wujud dari peran dan eksistensi seorang muslim. Dalam menjalankan fungsi khalifah, manusia hendaknya memiliki kearifan sosial, sebab setiap kebenaran harus pula disampaikan secara benar (hikmah). Menjadi pemimpin adalah bagian dari pengejawantahan amar ma'ruf nahyi munkar. Oleh karena itu, menjadi pemimpin dalam Islam bukanlah sebuah anugrah yang mesti dibangga-banggakan, melainkan amanah yang harus dikhawatirkan karena akan memunculkan fitnah bagi sang pemimpin tersebut. Landasan moral ini akan mengantarkan pemimpin pada pemahaman bahwa kekuasaan dan fasilitas yang dimilikinya bukan untuk memperkaya dirinya, melainkan amanah yang harus disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Pesan moral ini tidak otomatis menjadi mudah ketika saya menuliskannya.
Justru, semakin banyak dituliskan orang, menunjukkan bahwa pelaksanaannya sangat rumit. Marilah kita baca diri kita masing-masing. Kita, saat ini telah menjadi pemimpin, minimal untuk diri kita sendiri. Setiap orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintakan pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Ada banyak motif untuk menjadi pemimpin, namun di atas motif tersebut, motif menjalankan amanah Allah tentu harus ditempatkan paling depan. Di rumah, seorang ayah atau ibu mendidik anak karena dia adalah pemimpin bagi anak-anaknya. Mungkin juga kita mendidik anak karena menghendai masa depan anak kita yang lebih baik daripada yang kita dapatkan saat ini. Itu tidak salah. Namun, ketika kita tidak mendapati anak kita sesuai dengan apa yang dikehendaki, bersiap-siaplah untuk kecewa.
Bila telah demikian, anak dijadikan tempat mencurahkan kekesalan orang tua. Anak dibenci karena tidak cukup pandai. Anak diisolasi karena tidak sukses dalam kehidupannya. Padahal anak adalah amanah Allah. Mendidik anak merupakan perintah Allah. Sama sekai kita tidak memiliki kewajiban untuk Menjadikan anak kita A atau B. Selama kita berkeyakinan bahwa yang kita berikan adalah yang terbaik dan sesuai dengan syariat Islam, selesailah tugas kita sebagai pemegang amanah; apapun hasilnya kita tidak perlu kecewa dan serahkanlah kepada Allah. Menjadi pemimpin bangsa berbeda dengan pemimpin keluarga. Pemimpin bangsa dilihat oleh sejumlah mata rakyat.
Sekecil apapun kesalahan pemimpin, sebesar penglihatan masyarakat untuk mencampakkan pemimpinnya. Demikian pula sebesar apapun perhatian pemimpin terhadap rakyatnya, maka sekecil pandangan dan pengetahuan rakyat dalam menilainya. Itulah resiko menjadi pemimpin. Namun, hal yang patut untuk tidak dilupakan adalah bahwa pemimpin yang menyelami derita rakyat, hidup dalam nurani kebenaran, dan mencoba memposisikan dirinya sebagai pelayan rakyat, akan diabadikan oleh rakyatnya. Melahirkan pejuang kesederhanaan bukan harus dari kalangan jelata, sebab moral tidak mengenal kaya-miskin. Kebaikan ada pada keduanya. Patut direnungkan pepatah seorang sufi, "Andaikan kucing-kucing itu diberi sayap, maka seluruh telor burung akan dilalap habis"?
Ulama atau bukan ulama bukan jaminan kejujuran dan kesederhanaan, semuanya bisa menjadi "kucing-kucing yang bisa terbang". Satu-satunya jaminan adalah moralitas dirinya.
Sumber : http://kesederhanaanaktivitas.blogspot.com/
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT, kami mohon ampunan...
Semoga Allah s.w.t memberi kekuatan untuk kita amalkan.
Wassalam...
Semoga Bermanfaat
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat...
Lampirkan sumbernya ya... Syukron
Umar berjalan melalui lorong-lorong perkampungan. Ia temukan sebuah keluarga yang sedang memasak batu karena tak ada gandum untuk dimasak" sementara anaknya menangis tersedu-sedu menunggu masakan itu. Ketika didekatinya, keluarga itu menjelek-jelekkan khalifah karena dianggapnya tidak peduli terhadap rakyat kecil.
Ia terperanjat dan langsung pergi ke gudang beras mengambil satu karung gandum dan diberikannya kepada keluarga tersebut. Pembantunya menawarkan jasa, "Biar aku saja yang memanggul karung itu"? Umar menjawab, "Apakah kemarahan Tuhan akan bisa kau halangi ketika aku membiarkan umatku kelaparan, sementara aku tak memberinya makan?"
Pintu kantor diketuk. "Silakan Masuk" Jawab penghuninya. Masuklah seseorang ke dalam ruangan. Orang dalam ruangan itu bertanya, "Apakah kepentinganmu untuk urusan pribadi atau urusan umat?" "Urusan pribadi" Jawab tamu itu. Dengan cekatan dimatikanlah lampu di ruangan itu hingga gelap gulita. "Mengapa Anda matikan lampu-lampu itu, Tuan?" Tanya si tamu. "Karena urusanmu bersifat pribadi, dan lampu ini hanya akan dipergunakan untuk kepentingan umat, selain itu tidak."
Kedua kisah di atas sangat populer di kalangan umat Islam. Keduanya selalu dikaitkan dengan model kepemimpinan dalam Islam. Kisah manusia-manusia suci yang mempertahankan amanah. Kisah kesederhanaan dan kejujuran dalam memimpin umat. Kisah empati pemimpin ketika mendapati penderitaan rakyatnya. Inilah kisah bahwa jabatan adalah amanat Allah yang harus dipertanggungjawabkan. Kisah pertama menceritakan bagaimana empati seorang khalifah yang bernama Umar bin Khattab. Umar melakukan hal itu bukan atas kesombongan dan ingin dipuji. Ia menjalankan amanah karena Allah. Umar adalah orang yang sangat tegas dalam menegakkan syiar Islam.
Kisah kedua adalah kesederhanaan dan Clean government-nya Umar bin Abdul Aziz, cucu Umar bin Khattab. Seorang khalifah yang memiliki kearifan sosial dan kesederhanaan dalam berperilaku serta penuh kejujuran dalam menjalankan pemerintahan. Bahkan, untuk kehidupan keluarganya pun ia pisahkan dari urusan negara, tak pernah ia berikan fasilitas negara untuk keluarganya, apapun alasannya. Kisah di atas hanyalah dua kisah mulia dari banyak kisah para pemimpin Islam.
Di pundak para pemimpin Islam yang adil dan ariflah Islam ditegakkan sebagai rahmatan lil 'alamin. Islam didirikan bukan saja dalam retorika dan dalil-dalil pembenaran, namun menjelma dalam kehidupan pribadi-pribadi yang mulia sehingga Islam lebih tampak dalam perilaku daripada dalam doktrin ajaran.
Kedua kisah ini laiknya kita renungkan kembali ketika kesederhanaan tidak lagi hadir dalam jiwa para pemimpin, bahkan tidak pula dalam diri kita pribadi. Ketika kesadaran hanya menjadi retorika belaka dan penderitaan rakyat menjadi benteng kerakusan diri sendiri. Dalam ajaran Islam, setiap orang diperintahkan untk ber-amar ma'ruf nahyi munkar. Kedua hal itu akan mengantarkan kita pada kelompok manusia yang berbahagia (Q.S. 3: 104).
Amar ma'ruf nahyi munkar adalah wujud dari peran dan eksistensi seorang muslim. Dalam menjalankan fungsi khalifah, manusia hendaknya memiliki kearifan sosial, sebab setiap kebenaran harus pula disampaikan secara benar (hikmah). Menjadi pemimpin adalah bagian dari pengejawantahan amar ma'ruf nahyi munkar. Oleh karena itu, menjadi pemimpin dalam Islam bukanlah sebuah anugrah yang mesti dibangga-banggakan, melainkan amanah yang harus dikhawatirkan karena akan memunculkan fitnah bagi sang pemimpin tersebut. Landasan moral ini akan mengantarkan pemimpin pada pemahaman bahwa kekuasaan dan fasilitas yang dimilikinya bukan untuk memperkaya dirinya, melainkan amanah yang harus disampaikan kepada yang berhak menerimanya. Pesan moral ini tidak otomatis menjadi mudah ketika saya menuliskannya.
Justru, semakin banyak dituliskan orang, menunjukkan bahwa pelaksanaannya sangat rumit. Marilah kita baca diri kita masing-masing. Kita, saat ini telah menjadi pemimpin, minimal untuk diri kita sendiri. Setiap orang adalah pemimpin dan setiap pemimpin akan dimintakan pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya. Ada banyak motif untuk menjadi pemimpin, namun di atas motif tersebut, motif menjalankan amanah Allah tentu harus ditempatkan paling depan. Di rumah, seorang ayah atau ibu mendidik anak karena dia adalah pemimpin bagi anak-anaknya. Mungkin juga kita mendidik anak karena menghendai masa depan anak kita yang lebih baik daripada yang kita dapatkan saat ini. Itu tidak salah. Namun, ketika kita tidak mendapati anak kita sesuai dengan apa yang dikehendaki, bersiap-siaplah untuk kecewa.
Bila telah demikian, anak dijadikan tempat mencurahkan kekesalan orang tua. Anak dibenci karena tidak cukup pandai. Anak diisolasi karena tidak sukses dalam kehidupannya. Padahal anak adalah amanah Allah. Mendidik anak merupakan perintah Allah. Sama sekai kita tidak memiliki kewajiban untuk Menjadikan anak kita A atau B. Selama kita berkeyakinan bahwa yang kita berikan adalah yang terbaik dan sesuai dengan syariat Islam, selesailah tugas kita sebagai pemegang amanah; apapun hasilnya kita tidak perlu kecewa dan serahkanlah kepada Allah. Menjadi pemimpin bangsa berbeda dengan pemimpin keluarga. Pemimpin bangsa dilihat oleh sejumlah mata rakyat.
Sekecil apapun kesalahan pemimpin, sebesar penglihatan masyarakat untuk mencampakkan pemimpinnya. Demikian pula sebesar apapun perhatian pemimpin terhadap rakyatnya, maka sekecil pandangan dan pengetahuan rakyat dalam menilainya. Itulah resiko menjadi pemimpin. Namun, hal yang patut untuk tidak dilupakan adalah bahwa pemimpin yang menyelami derita rakyat, hidup dalam nurani kebenaran, dan mencoba memposisikan dirinya sebagai pelayan rakyat, akan diabadikan oleh rakyatnya. Melahirkan pejuang kesederhanaan bukan harus dari kalangan jelata, sebab moral tidak mengenal kaya-miskin. Kebaikan ada pada keduanya. Patut direnungkan pepatah seorang sufi, "Andaikan kucing-kucing itu diberi sayap, maka seluruh telor burung akan dilalap habis"?
Ulama atau bukan ulama bukan jaminan kejujuran dan kesederhanaan, semuanya bisa menjadi "kucing-kucing yang bisa terbang". Satu-satunya jaminan adalah moralitas dirinya.
Sumber : http://kesederhanaanaktivitas.blogspot.com/
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT, kami mohon ampunan...
Semoga Allah s.w.t memberi kekuatan untuk kita amalkan.
Wassalam...
Semoga Bermanfaat
Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat...
Lampirkan sumbernya ya... Syukron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar