Terapi Hati Menyelamatkan Iman dan Jiwa dari Kemelut Kemiskinan
“Ya Allah, hidupkanlah aku sebagai orang miskin, matikanlah aku sebagai orang miskin, dan bangkitkanlah aku kelak di hari kiamat bersama kelompok orang-orang miskin pula.” (Doa Baginda Rasulullah Saw.)
Ungguh sama sekali tidak ringan hidup sebagai orang miskin. Perut kelaparan, tubuh kepanasan dan kedinginan, bahkan jika turun hujan bisa menggigil kebasahan. Sementara kala mata melirik ke sekitar, masya Allah, jubelan gedung-gedung pencakar langit, mobil-mobil mengkilap, orang-orang perlente, amat sangat nikmat sekali!
Diri menjadi sangat tak berharga. Tak ada yang mau mendengar dan memperhatikan napas berat dan omongan kita. Justru yang ramai hanyalah cemooh atau (minimal) pandangan jijik seolah-olah kita adalah najis penuh lalat dan ulat yang harus dijauhi.
Tapi, begitulah roda kehidupan yang harus dijalani. Tak jarang, di antara mereka yang miskin, tak mampu menahan godaan lapar, dingin, atau panas, sehingga rela mengorbankan iman dan akidahnya. Sebagian lain, menggadaikan harkat dan jiwanya di lembah-lembah prostitusi. Ya, semua lahir dan menjadi kenyataan atas nama keterdesakan ekonomi.
Hidup dalam kemiskinan berhasil mengatasi kesempitan hidup tersebut selalu dalam senyum Islam, iman, dan jiwa yang bermartabat. Buku ini merangsang setiap muslim/muslimah yang berada dalam garis kemelaratan untuk berjuang secara Qur'ani dan Nabawi agar bisa menyelamatkan keindahan iman dan kekuatan jiwa-nya.
Dan, sungguh Maha Adil Allah Swt., berita gembira yang harus Anda ketahui sejak dini adalah bahwa ternyata orang miskin kelak jauh lebih banyak jumlahnya di dalam surga dibandingkan jumlah orang kaya. Optimislah, bahwa Anda sangat berpeluang besar untuk terbang ke surga dengan sayap-sayap sabar menghadapi kemelut kemiskinan.…
Sumber : http://divapress-online.com/index.php/buku/detail/261
SALAH PAHAMKAH TERHADAP DO`A NABI SAW?
Diantara sekian banyak do'a-do'a yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada umatnya adalah do'a dibawah ini:
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no. 4126) dan lain-lain. Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini derajatnya : hasan. [Lihat pembahasannya di kitab beliau : Irwaul Ghalil (no. 861) dan Silsilah Shahihah (no. 308)]
Setelah kita mengetahui bahwa hadits ini sah datangnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sekarang perlu kita mengetahui apa maksud sebutan miskin dalam lafadz do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Yang sangat saya sesalkan diantara saudara-saudara kita (tanpa memeriksa lagi keterangan Ulama-ulama kita tentang syarah hadits ini khususnya tentang gharibul hadits) telah memahami bahwa miskin di sini dalam arti yang biasa kita kenal yaitu : Orang-orang yang tidak berkecukupan di dalam hidupnya atau orang-orang yang kekurangan harta. Dengan arti yang demikian maka timbulah kesalah pahaman di kalangan umat terhadap do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, akibatnya :
[1]. Do'a ini tidak ada seorang muslimin pun yang berani mengamalkannya, atau paling tidak sangat jarang sekali, lantaran menurut tabi'atnya manusia itu tidak mau dengan sengaja menjadi miskin.
[2]. Akan timbul pertanyaan : Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh umatnya menjadi miskin? Bukankah di dalam Islam ada hukum zakat yang justru salah satu faedahnya ialah untuk memerangi kemiskinan? Dapatkah hukum zakat itu terlaksana kalau kita semua menjadi miskin ? Dapatkah kita berjuang dengan harta-harta kita sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan kalau kita hidup dalam kemiskinan?. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari berburuk sangka kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[3]. Ada jalan bagi musuh-musuh Islam untuk mengatakan : “Bahwa Islam adalah musuh kekayaan !?” Padahal yang betul maksud miskin di dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini ialah : "Orang yang khusyu dan mutawaadli (orang yang tunduk dan merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala)".
Sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Ulama-ulama kita :
[1]. Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihaayah fi Gharibil Hadits (2/385) mengatakan :
[2]. Di kitab kamus Lisanul Arab (2/176) oleh Ibnu Mandzur diterangkan, asal arti miskin di dalam lughah/bahasa ialah = al-khaadi' (orang yang tunduk), dan asal arti faqir ialah : Orang yang butuh. Lantaran itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a :
[3]. Imam Baihaqi mengatakan :
[4]. Demikian juga maknanya telah diterangkan oleh al-Imam Ghazali di kitabnya yang mashur Al-Ihya' (4/193). [Baca juga syarah Ihya' (9/272) oleh Imam Az-Zubaidy]
[5]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
Beliau juga mengatakan (hal. 326) :
[6]. Imam Qutaibi juga mengatakan khusyu' dan tawadlu' [Ta'liq Sunan Ibnu Majah (no. 4126) oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi] Kemudian periksalah kitab-kitab dibawah ini :
[7]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Tirmidzi (7/19-20 No. 2457) oleh Imam Al-Mubaarakfuri.
[8]. Faidhul Qadir Syarah Jami'us Shaghir (2/102) oleh Imam Manawi.
[9]. Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab (6/141-142) oleh Imam Nawawi.
[10]. Shahih Jami'us Shaghir (no. 1271) oleh Al-Albani.
[11]. Maqaashidul Hasanah (no. 166) oleh Imam As-Sakhawi.
Setelah kita mengetahui keterangan ulama-ulama kita tentang maksud miskin dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas baik secara lughah/bahasa meupun maknanya, maka hadits tersebut artinya menjadi :
Rasanya kurang lengkap kalau di dalam risalah ini (sebagai penguat keterangan di atas) saya tidak menerangkan dua masalah yang perlu diketahui oleh saudara-saudara kaum muslimin.
Pertama : Bahwa Islam adalah agama yang memerangi atau memberantas kefakiran dan kemsikinan di kalangan masyarakat. Hal ini dengan jelas dapat kita ketahui.
[1]. Di dalam Islam tedapat hukum zakat (satu pengaturan ekonomi yang tidak terdapat pada agama-agama yang lain kecuali Islam). Sedangkan yang berhak menerima bagian zakat di antaranya orang-orang yang fakir dan miskin (At-Taubah : 60).
Kalau saja zakat ini dijalankan sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan dan menurut sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya tidak sedikit mereka yang tadinya hidup dalam kemiskinan -setelah menerima bagian zakatnya- akan berubah kehidupannya bahkan tidak mustahil kalau di kemudian hari merekalah yang akan mengeluarkan zakat. Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman :
[2]. Islam memerintahkan memperhatikan keluarga (ahli waris) yang akan ditinggalkan, supaya mereka jangan sampai hidup melarat yang menadahkan tangan kepada manusia. Kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
[3]. Bahkan Islam mencela kalau ada seorang mukmin yang hidup dalam keadaan cukup sedangkan tetangganya kelaparan dan dia tidak membantunya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam :
Maksudnya : Tidaklah sempurna keimanan seorang muslim itu apabila ia makan dengan kenyang sedangkan tetangganya di sebelahnya kelaparan (kalau hal ini ia ketahui dan ia tidak membantunya dengan memberi makan kepada tetangganya).
[4]. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari hidup dalam kefakiran dan kelaparan. "Artinya : Dari Aisyah (ia berkata) :
Kemudian Hadits Abi Hurairah :
Hadits Abi Bakrah Nufai' bin Haarits : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan do'a ini di akhir salat:
Hadits Anas bin Malik : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan dalam do'anya :
Kedua : Islam tidak menjadi musuh kekayaan asalkan si kaya seorang yang taqwa. Bahkan dengan kekayaan itu seorang dapat memperoleh ganjaran yang besar dan derajat yang tinggi seperti berjihad dengan harta sebagaimana yang Allah perintahkan, menunaikan zakat harta, infaq dan shadaqah, ibadah haji, mendirikan masjid-masjid, pesantren dan sekolah-sekolah Islam, membantu anak yatim dan perempuan-perempuan janda dan lain-lain yang membutuhkan harta dan kekayaan. Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam pernah mendo'akan Anas bin Malik :
Hadits ini mengandung beberapa faedah.
[1]. Bahwa harta itu adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala.
[2]. Bahwa banyak harta itu tidak tercela atau mengurangi ibadahnya, asalkan dia memang seorang yang taqwa. Bahkan hadits ini kita dapat mengetahui bahwa banyak harta itu merupakan suatu kebaikan dan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Karena tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo'akan kecelakaan kepada salah seorang shahabat dan pembantunya seperti Anas bin Malik kalau tidak menjadi kebaikan baginya !.
[3]. Boleh mendo'akan seseorang supaya banyak hartanya dengan penuh keberkahan.
[4]. Dari hadits ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mempunyai anak banyak.
[5]. Hadits ini menerangkan tentang keutamaan Anas bin Malik yang telah terbukti dalam tarikh -berkat do'a Nabi- tidak seorangpun dari shahabat Anshar yang paling banyak harta dan anak selain dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada shahabatnya Hakim bin Hizaam :
[Disalin dari kitab Al-Masaa’il (Masalah-Masalah Agama) Jilid 2, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam – Jakarta, Cetakan I – Th. 1423H/2002M]
(Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abda)
Firman Allah QS Al-Lail 5 - 7:
Firman Allah QS. AL-Lail 17 - 21:
Firman Allah QS. Al-Baqarah 271:
Firman Allah QS. Ali Imran 92:
Hadits 1, HR Bukhary-Muslim: Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata: Bersabda Rasulullah saw:
Hadits 2, HR. Bukhary-Muslim: Ibn Umar r.a. berkata: Bersabda Nabi saw:
Hadits 3, HR. Bukhary-Muslim: Abu Hurairah r.a. berkata:
Mengenai Harta & Kekayaan, Kaum muslimin saat ini terbagi dalam 3 Golongan :
PERTAMA, sangat membenci harta & kekayaan sehingga menutup mata, telinga & pikiran terhadap urgensi harta & kekayaan;
KEDUA, sangat mencintai harta & kekayaan sehingga seluruh hati, pikiran, waktu & tenaga hanya untuk mengumpulkan harta & menumpuk kekayaan;
KETIGA, Golongan pertengahan (ummatan washatan), menempatkan masalah Harta & Kekayaan sesuai dengan tempatnya. Ingatlah Kaum Muslimin adalah umat pertengahan (ummatan washatan).
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
Umat Islam juga berkarakter Umat Pertengahan, maksudnya adalah kelompok manusia yang senantiasa bersikap moderat atau mengambil jalan tengah, yaitu sikap adil dan lurus, yang akan menjadi saksi atas setiap kecenderungan manusia, ke kanan atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus. (Dr. Yusuf Qordhowi, 1995).
Mengambil jalan tengah dapat dimaknai pula sebagai selalu bersikap proporsional (i’tidal), tidak berlebih-lebihan (israf), tidak kelewat batas (ghuluw), tidak sok pintar atau sok konsekuen dan bertele-tele (tanathu’), dan tidak mempersulit diri (tasydid). Dengan demikian, sebagai umat pertengahan, umat Islam tidak berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk ibadah (misalnya sampai meninggalkan kehidupan duniawi) dan dalam peperangan sekalipun (QS. 2:190); tidak membesar-besarkan masalah kecil; mendahulukan yang wajib atau lebih penting ketimbang yang sunah atau kurang penting; berbicara seperlunya alias tidak bertele-tele; tidak terlalu panjang membaca ayat-ayat dalam mengimami shalat berjamaah.
Rasulullah Saw bersabda, yang artinya,
Sebagai umat pertengahan, umat Islam tidak melakukan hal-hal ekstrem. Fanatik terhadap suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain. Mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah SWT. Misalnya, memaksa orang lain mengerjakan hal-hal sunah dengan menganggapnya seolah-olah wajib, atau mengerjakan sesuatu yang lebih berat/sulit daripada yang ringan/mudah. Padahal, sejalan dengan firman Allah SWT yang menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran (QS. 2:185). Memperberat yang tidak pada tempatnya.
Sumber : http://id-id.facebook.com/topic.php?uid=134808889744&topic=10557&post=82799
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...
Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...
Semoga Bermanfaat dan bisa kita ambil hikmahnya... Amin
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat...
Catatan :
Lampirkan Sumbernya ya... Syukron
Ungguh sama sekali tidak ringan hidup sebagai orang miskin. Perut kelaparan, tubuh kepanasan dan kedinginan, bahkan jika turun hujan bisa menggigil kebasahan. Sementara kala mata melirik ke sekitar, masya Allah, jubelan gedung-gedung pencakar langit, mobil-mobil mengkilap, orang-orang perlente, amat sangat nikmat sekali!
Diri menjadi sangat tak berharga. Tak ada yang mau mendengar dan memperhatikan napas berat dan omongan kita. Justru yang ramai hanyalah cemooh atau (minimal) pandangan jijik seolah-olah kita adalah najis penuh lalat dan ulat yang harus dijauhi.
Tapi, begitulah roda kehidupan yang harus dijalani. Tak jarang, di antara mereka yang miskin, tak mampu menahan godaan lapar, dingin, atau panas, sehingga rela mengorbankan iman dan akidahnya. Sebagian lain, menggadaikan harkat dan jiwanya di lembah-lembah prostitusi. Ya, semua lahir dan menjadi kenyataan atas nama keterdesakan ekonomi.
Hidup dalam kemiskinan berhasil mengatasi kesempitan hidup tersebut selalu dalam senyum Islam, iman, dan jiwa yang bermartabat. Buku ini merangsang setiap muslim/muslimah yang berada dalam garis kemelaratan untuk berjuang secara Qur'ani dan Nabawi agar bisa menyelamatkan keindahan iman dan kekuatan jiwa-nya.
Dan, sungguh Maha Adil Allah Swt., berita gembira yang harus Anda ketahui sejak dini adalah bahwa ternyata orang miskin kelak jauh lebih banyak jumlahnya di dalam surga dibandingkan jumlah orang kaya. Optimislah, bahwa Anda sangat berpeluang besar untuk terbang ke surga dengan sayap-sayap sabar menghadapi kemelut kemiskinan.…
Sumber : http://divapress-online.com/index.php/buku/detail/261
SALAH PAHAMKAH TERHADAP DO`A NABI SAW?
Diantara sekian banyak do'a-do'a yang Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ajarkan kepada umatnya adalah do'a dibawah ini:
"Allahumma ahyinii miskiinan, wa amitnii miskiinan, wahsyurnii fii jumratil masaakiin". "Artinya : Ya Allah ! Hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, dan matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang miskin".
Hadits ini dikeluarkan oleh Imam Ibnu Majah (no. 4126) dan lain-lain. Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini derajatnya : hasan. [Lihat pembahasannya di kitab beliau : Irwaul Ghalil (no. 861) dan Silsilah Shahihah (no. 308)]
Setelah kita mengetahui bahwa hadits ini sah datangnya dari Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka sekarang perlu kita mengetahui apa maksud sebutan miskin dalam lafadz do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas. Yang sangat saya sesalkan diantara saudara-saudara kita (tanpa memeriksa lagi keterangan Ulama-ulama kita tentang syarah hadits ini khususnya tentang gharibul hadits) telah memahami bahwa miskin di sini dalam arti yang biasa kita kenal yaitu : Orang-orang yang tidak berkecukupan di dalam hidupnya atau orang-orang yang kekurangan harta. Dengan arti yang demikian maka timbulah kesalah pahaman di kalangan umat terhadap do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas, akibatnya :
[1]. Do'a ini tidak ada seorang muslimin pun yang berani mengamalkannya, atau paling tidak sangat jarang sekali, lantaran menurut tabi'atnya manusia itu tidak mau dengan sengaja menjadi miskin.
[2]. Akan timbul pertanyaan : Mengapa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam menyuruh umatnya menjadi miskin? Bukankah di dalam Islam ada hukum zakat yang justru salah satu faedahnya ialah untuk memerangi kemiskinan? Dapatkah hukum zakat itu terlaksana kalau kita semua menjadi miskin ? Dapatkah kita berjuang dengan harta-harta kita sebagaimana yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan kalau kita hidup dalam kemiskinan?. Kita berlindung kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari berburuk sangka kepada Nabi-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam.
[3]. Ada jalan bagi musuh-musuh Islam untuk mengatakan : “Bahwa Islam adalah musuh kekayaan !?” Padahal yang betul maksud miskin di dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam ini ialah : "Orang yang khusyu dan mutawaadli (orang yang tunduk dan merendahkan diri kepada Allah Subhanahu wa ta'ala)".
Sebagaimana hal ini telah diterangkan oleh Ulama-ulama kita :
[1]. Imam Ibnul Atsir di kitabnya An-Nihaayah fi Gharibil Hadits (2/385) mengatakan :
"Ya Allah hidupkanlah aku dalam keadaan miskin..."Yang dikehendaki dengannya (dengan miskin tersebut) ialah : tawadlu' dan khusyu', dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur.
[2]. Di kitab kamus Lisanul Arab (2/176) oleh Ibnu Mandzur diterangkan, asal arti miskin di dalam lughah/bahasa ialah = al-khaadi' (orang yang tunduk), dan asal arti faqir ialah : Orang yang butuh. Lantaran itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a :
"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin ..... Yang dikehendaki ialah : tawadlu' dan khusyu'. dan supaya tidak menjadi orang-orang yang sombong dan takabur. Artinya : Aku merendahkan diriku kepada Mu wahai Rabb dalam keadaan berhina diri, tidak dengan sombong. Dan bukanlah yang dikehendaki dengan miskin di sini adalah faqir yang butuh (harta)."
[3]. Imam Baihaqi mengatakan :
"Menurutku bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam tidaklah meminta keadaan miskin yang maknanya kekurangan tetapi beliau meminta miskin yang maknanya tunduk dan merendahkan diri (khusyu' dan tawadlu')." [Lihat kitab : Sunatul Kubra al-Baihaqi 7/12-13 dan Taklhisul-Habir 3/109 No. 1415 oleh Al-Hafidz Ibnu Hajar]
[4]. Demikian juga maknanya telah diterangkan oleh al-Imam Ghazali di kitabnya yang mashur Al-Ihya' (4/193). [Baca juga syarah Ihya' (9/272) oleh Imam Az-Zubaidy]
[5]. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan :
"Hidupkanlah aku" dalam keadaan khusyu' dan tawadlu'." [Majmu' Fatawa Ibnu Taimiyah 18/382 bagian kitab hadits]
Beliau juga mengatakan (hal. 326) :
".... bukanlah yang dikehendaki dengan miskin (di hadits ini) tidak mempunyai harta ..."
[6]. Imam Qutaibi juga mengatakan khusyu' dan tawadlu' [Ta'liq Sunan Ibnu Majah (no. 4126) oleh Ustadz Muhammad Fuad Abdul Baqi] Kemudian periksalah kitab-kitab dibawah ini :
[7]. Tuhfatul Ahwadzi Syarah Tirmidzi (7/19-20 No. 2457) oleh Imam Al-Mubaarakfuri.
[8]. Faidhul Qadir Syarah Jami'us Shaghir (2/102) oleh Imam Manawi.
[9]. Al-Majmu' Syarah Muhadzdzab (6/141-142) oleh Imam Nawawi.
[10]. Shahih Jami'us Shaghir (no. 1271) oleh Al-Albani.
[11]. Maqaashidul Hasanah (no. 166) oleh Imam As-Sakhawi.
Setelah kita mengetahui keterangan ulama-ulama kita tentang maksud miskin dalam do'a Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam di atas baik secara lughah/bahasa meupun maknanya, maka hadits tersebut artinya menjadi :
"Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan khusyu' dan tawadlu', dan matikanlah aku dalam keadaan khusyu' dan tawadlu', dan kumpulkanlah aku (pada hari kiamat) dalam rombongan orang-orang yang khusyu' dan tawadlu".
Rasanya kurang lengkap kalau di dalam risalah ini (sebagai penguat keterangan di atas) saya tidak menerangkan dua masalah yang perlu diketahui oleh saudara-saudara kaum muslimin.
Pertama : Bahwa Islam adalah agama yang memerangi atau memberantas kefakiran dan kemsikinan di kalangan masyarakat. Hal ini dengan jelas dapat kita ketahui.
[1]. Di dalam Islam tedapat hukum zakat (satu pengaturan ekonomi yang tidak terdapat pada agama-agama yang lain kecuali Islam). Sedangkan yang berhak menerima bagian zakat di antaranya orang-orang yang fakir dan miskin (At-Taubah : 60).
Kalau saja zakat ini dijalankan sesuai dengan apa yang Allah Subhanahu wa ta'ala perintahkan dan menurut sunnah Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, niscaya tidak sedikit mereka yang tadinya hidup dalam kemiskinan -setelah menerima bagian zakatnya- akan berubah kehidupannya bahkan tidak mustahil kalau di kemudian hari merekalah yang akan mengeluarkan zakat. Allah Subhanahu wa ta'ala telah berfirman :
"Artinya : Agar supaya harta itu tidak beredar di antara orang-orang yang kaya saja dari kamu". [Al-Hasyr : 7]
[2]. Islam memerintahkan memperhatikan keluarga (ahli waris) yang akan ditinggalkan, supaya mereka jangan sampai hidup melarat yang menadahkan tangan kepada manusia. Kita perhatikan sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam:
"Artinya : Sesungguhnya engkau tinggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya (cukup) lebih baik dari pada engkau tinggalkan mereka hidup melarat/miskin yang menadahkan tangan-tangan mereka kepada manusia (meminta-minta)". [Hadits Riwayat Bukhari 3/186 dan Muslim 5/71 dan lain-lain]
[3]. Bahkan Islam mencela kalau ada seorang mukmin yang hidup dalam keadaan cukup sedangkan tetangganya kelaparan dan dia tidak membantunya, sebagaimana sabda Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam :
"Artinya : Bukanlah orang yang mukmin itu yang (hidup) kenyang, sedangkan tetangganya (hidup) lapar di sebelahnya". [Hadits Shahih Riwayat Bukhari di kitabnya Adabul Mufrad, dan lain-lain]
Maksudnya : Tidaklah sempurna keimanan seorang muslim itu apabila ia makan dengan kenyang sedangkan tetangganya di sebelahnya kelaparan (kalau hal ini ia ketahui dan ia tidak membantunya dengan memberi makan kepada tetangganya).
[4]. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam memohon perlindungan kepada Allah Subhanahu wa ta'ala dari hidup dalam kefakiran dan kelaparan. "Artinya : Dari Aisyah (ia berkata) :
"Bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam biasa berdo'a dengan do'a-doa ini : Allahumma dan seterusnya.. Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari fitnah neraka dan azab neraka, dan dari fitnah kubur dan azab kubur, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kekayaan, dan dari kejahatan fitnah (cobaan) kefakiran ...." [Shahih Riwayat Bukhari (7/159, 161). Muslim (8/75 dan ini lafadznya), Abu Dawud (no. 1543), Ibnu Majah (no. 3838), Ahmad (6/57, 207), Tirmidzi, Nasa'i, Hakim (1/541) dan Baihaqi (7/12).]
Kemudian Hadits Abi Hurairah :
"Artinya : Bahwasanya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekurangan dan kehinaan, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari menganiaya atau dianiaya". [Shahih Riwayat Abu Dawud (no. 1544), Ahmad (2/305,325). Nasa'i, Ibnu Hibban (no. 2443). Baihaqi (7/12)]
"Artinya : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam berdo'a : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kelaparan, karena sesungguhnya keleparan itu seburuk-buruk teman berbaring, dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari khianat, karena sesungguhnya khianat itu seburuk-buruk teman". [Shahih Riwayat Abu Dawud (no. 1547). Nasa'i dan Ibnu Majah (no. 3354).]
Hadits Abi Bakrah Nufai' bin Haarits : Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan do'a ini di akhir salat:
"Artinya : Ya Allah, sesungguhnya aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kekafiran dan kefakiran dan azab kubur". [Hadits Shahih atas syarat Muslim di keluarkan oleh Imam Ahmad bin Hambal (5/36,39 dan 44) dan Nasa'i]
Hadits Anas bin Malik : Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam mengucapkan dalam do'anya :
"Artinya : ....Dan aku memohon perlindungan kepada-Mu dari kefakiran/miskin dan kekafiran ......". [Hadits Shahih atas syarat Bukhari, dikeluarkan oleh Imam Hakim (1/530). dan Imam Ibnu Hibban (no. 2446).]
Kedua : Islam tidak menjadi musuh kekayaan asalkan si kaya seorang yang taqwa. Bahkan dengan kekayaan itu seorang dapat memperoleh ganjaran yang besar dan derajat yang tinggi seperti berjihad dengan harta sebagaimana yang Allah perintahkan, menunaikan zakat harta, infaq dan shadaqah, ibadah haji, mendirikan masjid-masjid, pesantren dan sekolah-sekolah Islam, membantu anak yatim dan perempuan-perempuan janda dan lain-lain yang membutuhkan harta dan kekayaan. Nabi Shallalahu 'alaihi wa sallam pernah mendo'akan Anas bin Malik :
"Artinya : Ya Allah ! Banyakkanlah hartanya dan anak-anaknya serta berikanlah keberkahan apa yang Engkau telah berikan kepadanya". [Hadits Riwayat Bukhari (7/152, 154,161 dan 162). dan lain-lain]
Hadits ini mengandung beberapa faedah.
[1]. Bahwa harta itu adalah salah satu nikmat Allah Subhanahu wa ta'ala.
[2]. Bahwa banyak harta itu tidak tercela atau mengurangi ibadahnya, asalkan dia memang seorang yang taqwa. Bahkan hadits ini kita dapat mengetahui bahwa banyak harta itu merupakan suatu kebaikan dan nikmat dari Allah Subhanahu wa ta'ala. Karena tidak mungkin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam mendo'akan kecelakaan kepada salah seorang shahabat dan pembantunya seperti Anas bin Malik kalau tidak menjadi kebaikan baginya !.
[3]. Boleh mendo'akan seseorang supaya banyak hartanya dengan penuh keberkahan.
[4]. Dari hadits ini kita mengetahui bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam menyukai mempunyai anak banyak.
[5]. Hadits ini menerangkan tentang keutamaan Anas bin Malik yang telah terbukti dalam tarikh -berkat do'a Nabi- tidak seorangpun dari shahabat Anshar yang paling banyak harta dan anak selain dari Anas bin Malik Radhiyallahu 'anhu. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda kepada shahabatnya Hakim bin Hizaam :
"Wahai Hakim! Sesungguhnya harta ini indah (dan) manis, maka barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang baik, niscaya mendapat keberkahan, dan barang siapa yang mengambilnya dengan jiwa yang tamak, niscaya tidak mendapat keberkahan, dan ia seperti orang yang makan tetapi tidak pernah kenyang, dan tangan yang diatas (yang memberi) lebih baik dari tangan yang di bawah (yang meminta)". [Hadits Riwayat Bukhari (7/176) dan Muslim (3/94)] [1]
[Disalin dari kitab Al-Masaa’il (Masalah-Masalah Agama) Jilid 2, Penulis Abdul Hakim bin Amir Abdat, Penerbit Darul Qolam – Jakarta, Cetakan I – Th. 1423H/2002M]
(Oleh Al-Ustadz Abdul Hakim bin Amir Abda)
Firman Allah QS Al-Lail 5 - 7:
"Adapun orang yang suka memberi dan bertakwa, serta percaya pada husna (kebaikan) surga, maka kami akan memudahkan baginya jalan yang ringan."
Firman Allah QS. AL-Lail 17 - 21:
"Dan akan dihindarkan dari api neraka, orang yang bertaqwa yaitu yang memberikan harta untuk berzakat. Dan tiada seseorang yang berbudi padanya untuk dibalas. Hanya semata-mata dalam beramal itu menuju keridloan Allah. Dan tentu Allah akan rela padanya."
Firman Allah QS. Al-Baqarah 271:
"Jika kamu perlihatkan sedekah itu maka baiklah perbuatan itu, dan bila kamu rahasiakan, tetapi tepat kau berikan kepada fakir miskin, maka itu lebih baik bagi dirimu, dan Allah akan menghapuskan dosamu. Dan Allah maha mengetahui semua amal perbuatanmu."
Firman Allah QS. Ali Imran 92:
"Kamu tidak mencapai birr (bakti) yang sesungguhnya hingga kamu bersedekah dari yang paling kamu sukai. Dan semua yang kamu belanjakan, sungguh Allah mengetahuinya."
Hadits 1, HR Bukhary-Muslim: Abdullah bin Mas'ud r.a. berkata: Bersabda Rasulullah saw:
"Tidak boleh iri hati kecuali dalam dua macam: 1. Seorang yang diberi oleh Allah ta'ala harta kekayaan maka dipergunakan untuk mempertahankan hak (kebenaran). 2. Seorang yang diberi oleh Allah ta'ala ilmu hikmat, maka ia pergunakan dan diajarkannya."
Hadits 2, HR. Bukhary-Muslim: Ibn Umar r.a. berkata: Bersabda Nabi saw:
"Tiada boleh seorang iri hati terhadap orang lain, kecuali dalam dua hal: Seorang yang diberi pengertian Quran, maka ia mempergunakannya sebagai pedoman amalnya siang malam. Dan seseorang yang diberi oleh Allah kekayaan harta, maka ia membelanjakannya siang dan malam untuk segala amal kebaikan."
Hadits 3, HR. Bukhary-Muslim: Abu Hurairah r.a. berkata:
"Bahwasanya para fakir miskin dari sahabat Muhajirin datang mengeluh kepada Rasulullah saw: "Ya Rasulullah, orang-orang kaya telah memborong semua pahala dan tingkat-tingkat yang tinggi serta kesenangan yang abadi". Nabi saw bertanya: "Mengapa demikian?" . Jawab mereka: "Mereka sembahyang sebagaimana kami, dan puasa sebagaimana kami, dan mereka bersedekah sedang kami tidak dapat bersedekah, dan mereka memerdekakan budak, sedang kami tidak dapat memerdekakan budak". Rasulullah bersabda: "Sukakah saya ajarkan kepada kamu amal perbuatan yang dapat mengejar mereka, dan tiada seseorang yang lebih utama dari kami kecuali yang berbuat seperti perbuatanmu?". Jawab mereka: "Baiklah ya Rasulullah". Bersabda Nabi: "Membaca Tasbih dan takbir dan tahmid tiap selesai sembahyang 33 kali". Kemudian sesudah itu para fakir miskin itu kembali mnegeluh kepada Rasulullah saw: "Ya Rasulullah, saudara-saudara kami orang kaya, mendengar perbuatan kami, maka mereka berbuat sebagaimana perbuatan kami. Maka sabda Nabi: Itulah kurnia Allah yang diberikannya kepada siapa yang dikehendaki-Nya".
Mengenai Harta & Kekayaan, Kaum muslimin saat ini terbagi dalam 3 Golongan :
PERTAMA, sangat membenci harta & kekayaan sehingga menutup mata, telinga & pikiran terhadap urgensi harta & kekayaan;
KEDUA, sangat mencintai harta & kekayaan sehingga seluruh hati, pikiran, waktu & tenaga hanya untuk mengumpulkan harta & menumpuk kekayaan;
KETIGA, Golongan pertengahan (ummatan washatan), menempatkan masalah Harta & Kekayaan sesuai dengan tempatnya. Ingatlah Kaum Muslimin adalah umat pertengahan (ummatan washatan).
Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat pertengahan, agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu.
“Demikianlah Kami jadikan kamu umat pertengahan, supaya kami menjadi saksi atas manusia” (Q.S. 2:143);
Umat Islam juga berkarakter Umat Pertengahan, maksudnya adalah kelompok manusia yang senantiasa bersikap moderat atau mengambil jalan tengah, yaitu sikap adil dan lurus, yang akan menjadi saksi atas setiap kecenderungan manusia, ke kanan atau ke kiri, dari garis tengah yang lurus. (Dr. Yusuf Qordhowi, 1995).
Mengambil jalan tengah dapat dimaknai pula sebagai selalu bersikap proporsional (i’tidal), tidak berlebih-lebihan (israf), tidak kelewat batas (ghuluw), tidak sok pintar atau sok konsekuen dan bertele-tele (tanathu’), dan tidak mempersulit diri (tasydid). Dengan demikian, sebagai umat pertengahan, umat Islam tidak berlebih-lebihan dalam segala hal, termasuk ibadah (misalnya sampai meninggalkan kehidupan duniawi) dan dalam peperangan sekalipun (QS. 2:190); tidak membesar-besarkan masalah kecil; mendahulukan yang wajib atau lebih penting ketimbang yang sunah atau kurang penting; berbicara seperlunya alias tidak bertele-tele; tidak terlalu panjang membaca ayat-ayat dalam mengimami shalat berjamaah.
“Makan dan minumlah dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. Al-A’raf:31).
“Dan orang-orang yang jika membelanjakan harta mereka tidak berlebih-lebihan dan tidak pula kikir dan pembelanjaan itu di tengah-tengah antara yang demikian” (Q.S. Al-Furqon:67).
Rasulullah Saw bersabda, yang artinya,
“Hindarkanlah daripadamu sikap melampuai batas dalam agama, karena sesungguhnya orang-orang sebelum kamu telah binasa karenanya.” (HR. Ahmad, Nasa’i, Ibnu Majah, dan Al-Hakim dari Abdullah bin Abbas).
Sebagai umat pertengahan, umat Islam tidak melakukan hal-hal ekstrem. Fanatik terhadap suatu pendapat dan tidak mengakui pendapat-pendapat lain. Mewajibkan sesuatu yang tidak diwajibkan Allah SWT. Misalnya, memaksa orang lain mengerjakan hal-hal sunah dengan menganggapnya seolah-olah wajib, atau mengerjakan sesuatu yang lebih berat/sulit daripada yang ringan/mudah. Padahal, sejalan dengan firman Allah SWT yang menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran (QS. 2:185). Memperberat yang tidak pada tempatnya.
Sumber : http://id-id.facebook.com/topic.php?uid=134808889744&topic=10557&post=82799
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...
Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...
Semoga Bermanfaat dan bisa kita ambil hikmahnya... Amin
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat...
Catatan :
Lampirkan Sumbernya ya... Syukron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar