Tangan Rasulullah di dada Fadhalah bin ‘Umair Al-Mulawwih
Tidak semua penduduk Makkah menerima kekalahan mereka dan jatuhnya Makkah ke tangan kaum muslimin. Termasuk Fadhalah ketika itu.
Dia bertekad akan membunuh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang thawaf di Ka’bah. Mengendap-endap Fadhalah mendekati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sambil menyiapkan belati untuk membunuh beliau.
Setelah dekat, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apakah ini, Fadhalah?”
“Betul, ini Fadhalah, wahai Rasulullah,” jawabnya.
“Apa yang kamu katakan dalam hatimu?” tanya beliau.
“Tidak ada apa-apa. Saya sedang berdzikir kepada Allah,” jawab Fadhalah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tertawa mendengarnya. Kemudian beliau berkata: “Minta ampunlah kepada Allah.” Sesudah itu beliau meletakkan tangannya ke dada Fadhalah. Hati Fadhalah pun menjadi tenang.
Fadhalah menceritakan kejadian itu dan mengatakan: “Demi Allah. Tidaklah beliau mengangkat tangannya dari dadaku sampai aku merasa tidak pernah Allah menciptakan sesuatu yang lebih aku cintai dibandingkan beliau.”
Aku pun kembali kepada keluargaku. Di tengah jalan aku melewati seorang wanita yang dahulu aku sering mendatanginya (untuk meminta nasihat spiritual, red). Katanya: “Kemarilah, kita ngobrol.”
Saya pun berkata: “Tidak.”
Lalu mulailah Fadhalah berujar:
“Ini tidak dikehendaki Allah dan Islam,
Andai kau lihat Muhammad dan pasukannya,
Membawa kemenangan pada hari dihancurkannya berhala,
Tentulah kau dapati agama Allah ini akhirnya menjadi jelas
Sedangkan wajah kesyirikan diliputi kegelapan”
Kesabaran Rasulullah Dalam Berdakwah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di kota Makkah selama 13 tahun, memperbaiki kerusakan aqidah dan moral.
Dengan keuletan dan keberanian beliau menghadapi segala tantangan dan risiko, serta pengorbanan yang tidak terhitung, akhirnya beberapa orang dengan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala masuk ke dalam agama yang dibawanya.
Di antaranya istri beliau Ummul Mukminin Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anaha, maula beliau Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi radhiyallahu ‘anahu, anak paman beliau ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anahu, dan teman dekat beliau, Abu Bakr radhiyallahu ‘anahu. Mereka masuk Islam di awal permulaan dakwah.
Setelah itu Abu Bakr ikut andil memegang amanat yang besar ini. Melalui tangannya, masuk Islamlah ‘Utsman bin ‘Affan Al-Umawi radhiyallahu ‘anahu, Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiyallahu ‘anahu, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anahu, Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anahu, dan Thalhah bin Ubaidillah At-Taimi radhiyallahu ‘anahu.
Demikianlah perjalanan dakwah kepada aqidah yang benar. Tidak semudah apa yang dibayangkan. Tugas yang menuntut pengorbanan besar dan tidak sedikit. Usaha dakwah kepada aqidah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebabkan mereka bersabar menghadapi berbagai macam ujian di atas Islam.
Dengan kesabaran dan keuletan serta keikhlasan, orang yang mendapatkan hidayah hari demi hari kian bertambah, baik dari kalangan budak atau orang merdeka. Seperti Bilal bin Rabah Al-Habsyi radhiyallahu ‘anahu, Amin (kepercayaan) umat ini Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anahu, Abu Salamah bin Abdul Asad radhiyallahu ‘anahu, Arqam bin Abi Arqam radhiyallahu ‘anahu, ‘Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anahu dan dua saudara beliau, Qudamah radhiyallahu ‘anahu dan Abdullah radhiyallahu ‘anahu, ‘Ubaidah bin Al-Harits radhiyallahu ‘anahu, Sa’id bin Zaid Al-’Adawi radhiyallahu ‘anahu dan istrinya Fathimah radhiyallahu ‘anaha saudari ‘Umar bin Al-Khaththab, Khubbab bin Art radhiyallahu ‘anahu, Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzali radhiyallahu ‘anahu, dan selain mereka.
Mereka masuk agama tauhid dengan penuh rahasia. Hal itu terjadi karena keberingasan dan kekejaman kafir Quraisy terhadap siapa saja yang menganut agama baru yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pondasi aqidah yang mereka pijak melahirkan keikhlasan, kesabaran, keberanian, kesungguhan dalam mengemban amanat Ilahi. Dengan semuanya itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencatat kemuliaan bagi mereka di dunia dan di akhirat. Mereka mendapatkannya dengan ujian yang susul-menyusul. (lihat dengan ringkas dengan beberapa tambahan Ar-Rahiqul Makhtum hal. 53)
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dan para shahabatnya telah berlalu dengan ujian mulai dari awal mengikrarkan ketauhidan sampai ajal menjemput. Itulah sunnatullah yang pasti terjadi dan ketetapan yang tidak akan berubah. Bila engkau bersabar, maka kemuliaan, keberhasilan, dan kemenangan di pengujung kehidupan menanti.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda :
‘Alqamah berkata (ketika menjelaskan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu berkata: “Kami menjumpai kebagusan hidup dengan kesabaran.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu secara mu‘allaq dan Al-Imam Ahmad rahimahullahu dengan sanadnya dalam kitab Az-Zuhd hal. 117 dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari, 11/303). Wallahu a’lam.
Seorang Sahabat Menuntut Qishash Kepada Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, sampaikanlah!”
Sahabat yang lain terdiam, siapa yang tega menuntut balas pada seorang utusan Allah yang selama hidupnya berjuang untuk menyelamatkan umatnya agar selalu berada di jalan keselamatan. Namun tanpa diduga ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.”
Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap memberi pelajaran pada orang itu. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melarangnya. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun menyuruh Bilal mengambil tongkat yang dimaksud si penuntut qishosh ke rumah beliau.
Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam keheranan ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat penuntut qishash itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata, “Lakukanlah!”
Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah.”
Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali.
Sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam sebelum Allah memanggil Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam ke hadirat-Nya.
Seorang Badui Bertanya Tentang Akhlak Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Beberapa saat setelah wafatnya Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang arab badui tiba di Mekkah dan menemui Umar ra. kemudian sang badui meminta, “Ceritakanlah padaku tentang akhlak Muhammad!”.
Umar ra menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, dan ini membuat orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata,
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. , isteri Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini, hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak (QS Al-Mu’minun [23]: 1-11).
Ketika ditanya, bagaimana perilaku Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, Aisyah hanya menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. Terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.”
Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Kesederhanaan Kehidupan Rasululloh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Ketika Islam telah memiliki pengaruh yang sedemikian kuat dan disegani, dan ketika para raja-raja di Romawi bergelimang harta, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam masih saja tidur beralaskan tikar di rumahnya yang sederhana. Kalau ada pakaian yang koyak, Rasulullah menambalnya sendiri, tidak menyuruh isterinya. Beliau juga memerah sendiri susu kambing, untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual.
Setiap kali pulang ke rumah, bila dilihat tiada makanan yang siap untuk dimakan, sambil tersenyum Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyingsing lengan bajunya untuk membantu isterinya di dapur. Sayidatina ‘Aisyah menceritakan: ”Kalau Nabi berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumah tangga.”
Pernah Rasululloh pulang lebih pagi dari biasanya, selepas subuh di mesjid. Tentulah Rasululloh amat lapar waktu itu. Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan. Yang mentah pun tidak ada karena Sayidatina ‘Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya, “Belum ada sarapan ya Khumaira?” (Khumaira adalah panggilan mesra untuk Sayidatina ‘Aisyah yang berarti ‘Wahai yang kemerah-merahan’). Aisyah menjawab dengan agak serba salah, “Belum ada apa-apa wahai Rasulullah.” Rasulullah lantas berkata, ”Kalau begitu aku puasa saja hari ini.” tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya. Ini sesuai dengan sabda beliau, “sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan lemah lembut terhadap isterinya.” Prihatin, sabar dan tawadhu’nya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai kepala keluarga.
Pada suatu ketika Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi imam solat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia itu bergeser antara satu sama lain. Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan Rasululloh itu langsung bertanya setelah selesai sholat :
“Ya Rasululloh, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasululloh?”
“Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar”
“Ya Rasululloh… mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.
Akhirnya Rasululloh mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Perut Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
“Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat tuan?”
Lalu baginda menjawab dengan lembut,
”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?” “Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”
Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor.
Hanya diam dan bersabar bila kain rida’nya direntap dengan kasar oleh seorang Arab Badwi hingga berbekas merah di lehernya. Dan dengan penuh rasa kehambaan baginda membasuh tempat yang dikencingi si Badwi di dalam masjid sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu. Kecintaannya yang tinggi terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasa kehambaan dalam diri Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menolak sama sekali rasa ketuanan.
Seolah-olah anugerah kemuliaan dari Allah tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain, ketika di depan umum maupun dalam keseorangan.
Ketika pintu Syurga telah terbuka, seluas-luasnya untuk Rasululloh, masih saja beliau berdiri di tengah-tengah sepinya malam hari, terus-menerus beribadah, hingga pernah baginda terjatuh, lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak. Fisiknya sudah tidak mampu menanggung kemauan jiwanya yang tinggi. Hingga ditanya oleh Sayidatina ‘Aisyah,
“Ya Rasululloh, bukankah engkau telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?”
Jawab baginda dengan lunak,
“Ya ‘Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur.”
Ketika ajalnya dekat menjelang, Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam masih sempat-sempatnya memikirkan umatnya. Ketika Jibril yang mendampinginya berkata, “Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu, wahai Rasul Alloh”. Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar khabar ini?”, tanya Jibril lagi. “Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”, tanya Rasululloh seolah tak tega meninggalkan kita semua (umatnya) tanpa kepastian dibebaskannya umatnya dari api neraka.
Detik-detik ajal semakin dekat, saatnya Malaikatul Maut melakukan tugas. Perlahan ruh Rasululloh ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasululloh bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.” Perlahan Rasululloh mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” tanya Rasululloh pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasululloh mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi, “Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.”
Demikian sayangnya Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kepada kita sebagai umatnya, hingga di detik-detik terakhir ajal beliau masih berdoa bagi kebaikan umatnya.
Rahasia Senyum Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Diriwayatkan dari Jabir dalam sahih Bukhari dan Muslim, berkata, “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah menghindar dariku. Dan beliau tidak melihatku kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku.”
Suatu ketika Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam didatangi seorang Arab Badui, dengan serta merta ia berlaku kasar dengan menarik selendang Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga leher beliau membekas merah. Orang Badui itu bersuara keras, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu memberikan harta dari Baitul Maal! Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menoleh kepadanya seraya tersenyum. Kemudian beliau menyuruh sahabatnya memberi harta dari baitul maal kepadanya.”
Ketika beliau memberi hukuman keras terhadap orang-orang yang terlambat dan tidak ituk serta dalam perang Tabuk, beliau masih tersenyum mendengarkan alasan mereka.
Ka’ab ra. berkata setelah mengungkapkan alasan orang-orang munafik dan sumpah palsu mereka: “Saya mendatangi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, ketika saya mengucapkan salam kepadanya, beliau tersenyum, senyuman orang yang marah. Kemudian beliau berkata, “Kemari. Maka saya mendekati beliau dan duduk di depan beliau.”
Suatu ketika Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melintasi masjid yang di dalamnya ada beberapa sahabat yang sedang membicarakan masalah-masalah jahiliyah terdahulu, beliau lewat dan tersenyum kepada mereka.
Beliau tersenyum dari bibir yang lembut, mulia nan suci ini, sampai akhir detik-detik hayat beliau.
Anas bin Malik berkata diriwayatkan dalam sahih Bukhari dan Muslim, “Ketika kaum muslimin berada dalam shalat fajar, di hari Senin, sedangkan Abu Bakar menjadi imam mereka, ketika itu mereka dikejutkan oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang membuka hijab kamar Aisyah. Beliau melihat kaum muslimin sedang dalam shaf shalat, kemudian beliau tersenyum kepada mereka!”
Sehingga tidak mengherankan beliau mampu meluluhkan kalbu sahabat-sahabatnya, istri-istrinya dan setiap orang yang berjumpa dengannya!
Menyentuh Hati
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah meluluhkan hati siapa saja dengan senyuman. Beliau mampu “menyihir” hati dengan senyuman. Beliau menumbuhkan harapan dengan senyuman. Beliau mampu menghilangkan sikap keras hati dengan senyuman. Dan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mensunnahkan dan memerintahkan umatnya agar menghiasi diri dengan akhlak mulia ini. Bahkan beliau menjadikan senyuman sebagai lahan berlomba dalam kebaikan, beliau bersabda,
Cara Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Menghormati Seorang Sahabat
Dikisahkan seorang sahabat terlambat datang ke majelis Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam.
Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak bisa lagi memberinya tempat.
Di tengah kebingungannya, Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memanggilnya. Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk.
Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi malah mencium sorban Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam tersebut.
Subhanallah !
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Sebagai Seorang Suami
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang pribadi Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Al Ahzab:21
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Bersikap Adil
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sangat memperhatikan perilaku adil terhadap istri-istrinya dalam segala hal, termasuk sesuatu yang remeh dan sepele. Beliau adil terhadap istri-istrinya dalam pemberian tempat tinggal, nafkah, pembagian bermalam, dan jadwal berkunjung. Beliau ketika bertandang ke salah satu rumah istrinya, setelah itu beliau berkunjung ke rumah istri-istri beliau yang lain.
Soal cinta, beliau lebih mencintai Aisyah dibanding istri-istri beliau yang lain, namun beliau tidak pernah membedakan Aisyah dengan yang lain selamanya. Meskipun di sisi lain, beliau beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena tidak bisa berlaku adil di dalam membagi cinta atau perasaan hati kepada istri-istrinya, karena persoalan yang satu ini adalah hak preogratif Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.
Ketika beliau dalam kondisi sakit yang menyebabkan maut menjemput, beliau meminta kepada istrinya yang lain agar diperkenankan berada di rumah Aisyah. Bahkan ketika beliau mengadakan perjalanan atau peperangan, beliau mengundi di antara istri-istrinya siapa yang akan menyertainya.
Muhammad Bermusyawarah Dengan Para Istrinya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengajak istri-istrinya bermusyawarah dalam banyak urusan. Beliau sangat menghargai pendapat-pendapat mereka. Padahal wanita pada masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam diperlakukan seperti barang dagangan semata, dijual dan dibeli, tidak dianggap pendapatnya, meskipun itu berkaitan dengan urusan yang langsung dan khusus dengannya.
Islam datang mengangkat martabat wanita, bahwa mereka sejajar dengan laki-laki, kecuali hak qawamah atau kepemimpinan keluarga, berada ditangan laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Lapang Dada dan Penyayang
Istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memberi masukan tentang suatu hal kepada Nabi, beliau menerima dan memberlakukan mereka dengan lembut. Beliau tidak pernah memukul salah seorang dari mereka sekali pun. Belum pernah terjadi demikian sebelum datangnya Islam. Perempuan sebelum Islam tidak punya hak bertanya, mendiskusikan dan memberi masukan apalagi menuntut.
Cara Nabi Meluruskan Keluarganya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah menggap sepele kesalahan yang diperbuat oleh salah satu dari istri. Beliau pasti meluruskan dengan cara yang baik. Diriwayatkan dari Aisyah:
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Pelayan Bagi Keluarganya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan khidmah atau pelayanan ketika di dalam rumah. Beliau selalu bermurah hati menolong istri-istrinya jika kondisi menuntut itu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Pelayanan Anda untuk istri Anda adalah sedekah.”
Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mencuci pakaian, membersihkan sendal dan pekerjaan lainnya yang dibutuhkan oleh anggota keluarganya.
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Berhias Untuk Istrinya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui betul kebutuhan sorang wanita untuk berdandan di depan laki-lakinya, begitu juga laki-laki berdandan untuk istrinya. Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam paling tampan, paling rapi di antara manusia lainnya. Beliau menyuruh sahabat-sahabatnya agar berhias untuk istri-istri mereka dan menjaga kebersihan dan kerapihan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan Canda-Ria
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak tidak lupa bermain, bercanda-ria dengan istri-istri beliau, meskipun tanggungjawab dan beban berat di pundaknya. Karena rehat, canda akan menyegarkan suasan hati, menggemberakan jiwa, memperbaharui semangat dan mengembalikan fitalitas fisik.
Dari Aisyah ra berkata:
Allahu A’lam...
Teladan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Menyayangi Hewan
Suatu hari untuk suatu tujuan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam keluar rumah dengan menunggangi untanya. Abdullah bin Ja’far ikut membonceng di belakang. Ketika mereka sampai di pagar salah salah seorang kalangan Anshar, tiba-tiba terdengar lenguhan seekor unta. Unta itu menjulurkan lehernya ke arah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia merintih. Air matanya jatuh berderai. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mendatanginya. Beliau mengusap belakang telinga unta itu. Unta itu pun tenang. Diam.
Kemudian dengan wajah penuh kemarahan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya, “Siapakah pemilik unta ini, siapakah pemilik unta ini?”
Pemiliknya pun bergegas datang. Ternyata, ia seorang pemuda Anshar.
“Itu adalah milikku, ya Rasulullah,” katanya.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata,
Subhanallah! Unta itu ternyata mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa tuannya tidak memberinya makan yang cukup sementara tenaganya diperas habis dengan pekerjaan yang sangat berat. Kisah ini bersumber dari hadits nomor 2186 yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Kitab Jihad.
Bagaimana jika yang mengadu adalah seorang pekerja yang gajinya tidak dibayar sehingga tidak bisa membeli makanan untuk keluarganya, sementara tenaganya sudah habis dipakai oleh orang yang mempekerjakannya? Pasti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam lebih murka lagi.
Yang ini cerita Amir Ar-Raam. Ia dan beberapa sahabat sedang bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . “Tiba-tiba seorang lelaki mendatangi kami,” kata Amir Ar-Raam. Lelaki itu dengan kain di atas kepadanya dan di tangannya terdapat sesuatu yang ia genggam.
Lelaki itu berkata, “Ya Rasulullah, saya segera mendatangimu saat melihatmu. Ketika berjalan di bawah pepohonan yang rimbun, saya mendengar kicauan anak burung, saya segera mengambilnya dan meletakkannya di dalam pakaianku. Tiba-tiba induknya datang dan segera terbang berputar di atas kepalaku. Saya lalu menyingkap kain yang menutupi anak-anak burung itu, induknya segera mendatangi anak-anaknya di dalam pakaianku, sehingga mereka sekarang ada bersamaku.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada lekaki itu, “Letakkan mereka.”
Jika kepada hewan saja kita memenuhi hak-haknya, apalagi kepada manusia. Adakah hak-hak orang lain yang belum kita tunaikan?
Sumber : http://kebunhidayah.wordpress.com/category/kebun10-mengenal-muhammad-shalallahu-%E2%80%98alaihi-wasalaam/2-akhlak-teladan-rasululloh/
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...
Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...
Semoga Bermanfaat dan bisa kita ambil hikmahnya... Amin
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat...
Catatan :
Lampirkan sumbernya ya... Syukron
Tidak semua penduduk Makkah menerima kekalahan mereka dan jatuhnya Makkah ke tangan kaum muslimin. Termasuk Fadhalah ketika itu.
Dia bertekad akan membunuh Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam yang sedang thawaf di Ka’bah. Mengendap-endap Fadhalah mendekati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam sambil menyiapkan belati untuk membunuh beliau.
Setelah dekat, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bertanya: “Apakah ini, Fadhalah?”
“Betul, ini Fadhalah, wahai Rasulullah,” jawabnya.
“Apa yang kamu katakan dalam hatimu?” tanya beliau.
“Tidak ada apa-apa. Saya sedang berdzikir kepada Allah,” jawab Fadhalah.
Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam tertawa mendengarnya. Kemudian beliau berkata: “Minta ampunlah kepada Allah.” Sesudah itu beliau meletakkan tangannya ke dada Fadhalah. Hati Fadhalah pun menjadi tenang.
Fadhalah menceritakan kejadian itu dan mengatakan: “Demi Allah. Tidaklah beliau mengangkat tangannya dari dadaku sampai aku merasa tidak pernah Allah menciptakan sesuatu yang lebih aku cintai dibandingkan beliau.”
Aku pun kembali kepada keluargaku. Di tengah jalan aku melewati seorang wanita yang dahulu aku sering mendatanginya (untuk meminta nasihat spiritual, red). Katanya: “Kemarilah, kita ngobrol.”
Saya pun berkata: “Tidak.”
Lalu mulailah Fadhalah berujar:
“Ini tidak dikehendaki Allah dan Islam,
Andai kau lihat Muhammad dan pasukannya,
Membawa kemenangan pada hari dihancurkannya berhala,
Tentulah kau dapati agama Allah ini akhirnya menjadi jelas
Sedangkan wajah kesyirikan diliputi kegelapan”
Kesabaran Rasulullah Dalam Berdakwah
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berdakwah di kota Makkah selama 13 tahun, memperbaiki kerusakan aqidah dan moral.
Dengan keuletan dan keberanian beliau menghadapi segala tantangan dan risiko, serta pengorbanan yang tidak terhitung, akhirnya beberapa orang dengan hidayah dari Allah Subhanahu wa Ta’ala masuk ke dalam agama yang dibawanya.
Di antaranya istri beliau Ummul Mukminin Khadijah bintu Khuwailid radhiyallahu ‘anaha, maula beliau Zaid bin Haritsah bin Syarahil Al-Kalbi radhiyallahu ‘anahu, anak paman beliau ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anahu, dan teman dekat beliau, Abu Bakr radhiyallahu ‘anahu. Mereka masuk Islam di awal permulaan dakwah.
Setelah itu Abu Bakr ikut andil memegang amanat yang besar ini. Melalui tangannya, masuk Islamlah ‘Utsman bin ‘Affan Al-Umawi radhiyallahu ‘anahu, Az-Zubair bin Al-’Awwam radhiyallahu ‘anahu, Abdurrahman bin Auf radhiyallahu ‘anahu, Sa’d bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anahu, dan Thalhah bin Ubaidillah At-Taimi radhiyallahu ‘anahu.
Demikianlah perjalanan dakwah kepada aqidah yang benar. Tidak semudah apa yang dibayangkan. Tugas yang menuntut pengorbanan besar dan tidak sedikit. Usaha dakwah kepada aqidah yang dilakukan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebabkan mereka bersabar menghadapi berbagai macam ujian di atas Islam.
Dengan kesabaran dan keuletan serta keikhlasan, orang yang mendapatkan hidayah hari demi hari kian bertambah, baik dari kalangan budak atau orang merdeka. Seperti Bilal bin Rabah Al-Habsyi radhiyallahu ‘anahu, Amin (kepercayaan) umat ini Abu ‘Ubaidah ‘Amir bin Al-Jarrah radhiyallahu ‘anahu, Abu Salamah bin Abdul Asad radhiyallahu ‘anahu, Arqam bin Abi Arqam radhiyallahu ‘anahu, ‘Utsman bin Mazh’un radhiyallahu ‘anahu dan dua saudara beliau, Qudamah radhiyallahu ‘anahu dan Abdullah radhiyallahu ‘anahu, ‘Ubaidah bin Al-Harits radhiyallahu ‘anahu, Sa’id bin Zaid Al-’Adawi radhiyallahu ‘anahu dan istrinya Fathimah radhiyallahu ‘anaha saudari ‘Umar bin Al-Khaththab, Khubbab bin Art radhiyallahu ‘anahu, Abdullah bin Mas’ud Al-Hudzali radhiyallahu ‘anahu, dan selain mereka.
Mereka masuk agama tauhid dengan penuh rahasia. Hal itu terjadi karena keberingasan dan kekejaman kafir Quraisy terhadap siapa saja yang menganut agama baru yang dibawa oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Pondasi aqidah yang mereka pijak melahirkan keikhlasan, kesabaran, keberanian, kesungguhan dalam mengemban amanat Ilahi. Dengan semuanya itu, Allah Subhanahu wa Ta’ala mencatat kemuliaan bagi mereka di dunia dan di akhirat. Mereka mendapatkannya dengan ujian yang susul-menyusul. (lihat dengan ringkas dengan beberapa tambahan Ar-Rahiqul Makhtum hal. 53)
Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam dan para shahabatnya telah berlalu dengan ujian mulai dari awal mengikrarkan ketauhidan sampai ajal menjemput. Itulah sunnatullah yang pasti terjadi dan ketetapan yang tidak akan berubah. Bila engkau bersabar, maka kemuliaan, keberhasilan, dan kemenangan di pengujung kehidupan menanti.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman :
“Katakanlah: ‘Hai hamba-hamba-Ku yang beriman bertakwalah kepada Rabbmu.’ Orang-orang yang berbuat baik di dunia ini memperoleh kebaikan dan bumi Allah itu adalah luas. Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang dicukupkan pahala mereka tanpa batas.” (Az-Zumar: 10)
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasalaam bersabda :
“Sesungguhnya kalian akan menjumpai sikap mengutamakan kepentingan pribadi, maka bersabarlah kalian sampai kalian berjumpa denganku di Al-Haudh (telaga).” (HR. Al-Bukhari no. 3508 dan Muslim no. 1845 dari sahabat Abu Yahya Usaid bin Hudhair radhiyallahu ‘anahu)
‘Alqamah berkata (ketika menjelaskan firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:
“Dan barangsiapa beriman kepada Allah niscaya Dia akan menunjukinya.” (Ath-Thaghabun: 11): “Dia adalah seseorang yang ditimpa musibah dan mengetahui kalau itu datangnya dari Allah Subhanahu wa Ta’ala, lalu dia ridha dan menerima.” (Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir, Ibnu Abi Hatim, dan telah diriwayatkan sepertinya dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anahu)
‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anahu berkata: “Kami menjumpai kebagusan hidup dengan kesabaran.” (Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari rahimahullahu secara mu‘allaq dan Al-Imam Ahmad rahimahullahu dengan sanadnya dalam kitab Az-Zuhd hal. 117 dengan sanad yang shahih sebagaimana dinyatakan Al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullahu dalam Fathul Bari, 11/303). Wallahu a’lam.
Seorang Sahabat Menuntut Qishash Kepada Rasulullah sallAllahu ‘alayhi wasallam
Dalam suatu kesempatan menjelang akhir hayatnya, Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata pada para sahabat, “Mungkin sebentar lagi Allah akan memanggilku, aku tak ingin di padang mahsyar nanti ada diantara kalian yang ingin menuntut balas karena perbuatanku pada kalian. Bila ada yang keberatan dengan perbuatanku pada kalian, sampaikanlah!”
Sahabat yang lain terdiam, siapa yang tega menuntut balas pada seorang utusan Allah yang selama hidupnya berjuang untuk menyelamatkan umatnya agar selalu berada di jalan keselamatan. Namun tanpa diduga ada seorang sahabat yang tiba-tiba bangkit dan berkata, “Dahulu ketika engkau memeriksa barisan di saat ingin pergi perang, kau meluruskan posisi aku dengan tongkatmu. Aku tak tahu apakah engkau sengaja atau tidak, tapi aku ingin menuntut qishash hari ini.”
Para sahabat lain terpana, tidak menyangka ada yang berani berkata seperti itu. Kabarnya Umar langsung berdiri dan siap memberi pelajaran pada orang itu. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun melarangnya. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam pun menyuruh Bilal mengambil tongkat yang dimaksud si penuntut qishosh ke rumah beliau.
Siti Aisyah yang berada di rumah Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam keheranan ketika Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam meminta tongkat. Setelah Bilal menjelaskan peristiwa yang terjadi, Aisyah pun semakin heran, mengapa ada sahabat yang berani berbuat senekad itu setelah semua yang Rasul sallAllahu ‘alayhi wasallam berikan pada mereka.
Rasul memberikan tongkat tersebut pada sahabat penuntut qishash itu seraya menyingkapkan bajunya, sehingga terlihatlah perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam. Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam berkata, “Lakukanlah!”
Detik-detik berikutnya menjadi sangat menegangkan. Tetapi terjadi suatu keanehan. Sahabat tersebut malah menciumi perut Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam dan memeluk Nabi seraya menangis, “Sungguh maksud tujuanku hanyalah untuk memelukmu dan merasakan kulitku bersentuhan dengan tubuhmu!. Aku ikhlas atas semua perilakumu wahai Rasulullah.”
Seketika itu juga terdengar ucapan, “Allahu Akbar” berkali-kali.
Sahabat tersebut tahu, bahwa permintaan Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam itu tidak mungkin diucapkan kalau Nabi tidak merasa bahwa ajalnya semakin dekat. Sahabat itu tahu bahwa saat perpisahan semakin dekat, ia ingin memeluk Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam sebelum Allah memanggil Nabi sallAllahu ‘alayhi wasallam ke hadirat-Nya.
Seorang Badui Bertanya Tentang Akhlak Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Beberapa saat setelah wafatnya Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, seorang arab badui tiba di Mekkah dan menemui Umar ra. kemudian sang badui meminta, “Ceritakanlah padaku tentang akhlak Muhammad!”.
Umar ra menangis mendengar permintaan itu. Ia tak sanggup berkata apa-apa. Ia menyuruh Arab badui tersebut menemui Bilal. Setelah ditemui dan diajukan permintaan yang sama, Bilal pun menangis, ia tak sanggup menceritakan apapun. Bilal hanya dapat menyuruh orang tersebut menjumpai Ali bin Abi Thalib.
Orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Nabi. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Muhammad Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, dan ini membuat orang Badui ini mulai heran. Bukankah Umar merupakan seorang sahabat senior Nabi, begitu pula Bilal, bukankah ia merupakan sahabat setia Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Mengapa mereka tak sanggup menceritakan akhlak Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
Dengan berharap-harap cemas, Badui ini menemui Ali. Ali dengan linangan air mata berkata,
“Ceritakan padaku keindahan dunia ini!.” Badui ini menjawab, “Bagaimana mungkin aku dapat menceritakan segala keindahan dunia ini….” Ali menjawab, “Engkau tak sanggup menceritakan keindahan dunia padahal Allah telah berfirman bahwa sungguh dunia ini kecil dan hanyalah senda gurau belaka, lalu bagaimana aku dapat melukiskan akhlak Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sedangkan Allah telah berfirman bahwa sungguh Muhammad memiliki budi pekerti yang agung! (QS. Al-Qalam[68]: 4)”
Badui ini lalu menemui Siti Aisyah r.a. , isteri Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, yang sering disapa “Khumairah” oleh Nabi ini, hanya menjawab, khuluquhu al-Qur’an (Akhlaknya Muhammad itu Al-Qur’an). Seakan-akan Aisyah ingin mengatakan bahwa Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam itu bagaikan Al-Qur’an berjalan. Badui ini tidak puas, bagaimana bisa ia segera menangkap akhlak Nabi kalau ia harus melihat ke seluruh kandungan Qur’an. Aisyah akhirnya menyarankan Badui ini untuk membaca dan menyimak (QS Al-Mu’minun [23]: 1-11).
Ketika ditanya, bagaimana perilaku Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, Aisyah hanya menjawab, “Ah semua perilakunya indah.” Ketika didesak lagi, Aisyah baru bercerita saat terindah baginya, sebagai seorang isteri. “Ketika aku sudah berada di tempat tidur dan kami sudah masuk dalam selimut, dan kulit kami sudah bersentuhan, suamiku berkata, ‘Ya Aisyah, izinkan aku untuk menghadap Tuhanku terlebih dahulu.’” Apalagi yang dapat lebih membahagiakan seorang isteri, karena dalam sejumput episode tersebut terkumpul kasih sayang, kebersamaan, perhatian dan rasa hormat dari seorang suami, yang juga seorang utusan Allah.
Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam jugalah yang membikin khawatir hati Aisyah ketika menjelang subuh Aisyah tidak mendapati suaminya disampingnya. Aisyah keluar membuka pintu rumah. Terkejut ia bukan kepalang, melihat suaminya tidur di depan pintu. Aisyah berkata, “Mengapa engkau tidur di sini?” Nabi Muhammmad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab, “Aku pulang sudah larut malam, aku khawatir mengganggu tidurmu sehingga aku tidak mengetuk pintu. itulah sebabnya aku tidur di depan pintu.”
Mari berkaca di diri kita masing-masing. Bagaimana perilaku kita terhadap isteri kita? Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengingatkan, “berhati-hatilah kamu terhadap isterimu, karena sungguh kamu akan ditanya di hari akhir tentangnya.” Para sahabat pada masa Nabi memperlakukan isteri mereka dengan hormat, mereka takut kalau wahyu turun dan mengecam mereka.
Kesederhanaan Kehidupan Rasululloh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Ketika Islam telah memiliki pengaruh yang sedemikian kuat dan disegani, dan ketika para raja-raja di Romawi bergelimang harta, maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam masih saja tidur beralaskan tikar di rumahnya yang sederhana. Kalau ada pakaian yang koyak, Rasulullah menambalnya sendiri, tidak menyuruh isterinya. Beliau juga memerah sendiri susu kambing, untuk keperluan keluarga maupun untuk dijual.
Setiap kali pulang ke rumah, bila dilihat tiada makanan yang siap untuk dimakan, sambil tersenyum Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menyingsing lengan bajunya untuk membantu isterinya di dapur. Sayidatina ‘Aisyah menceritakan: ”Kalau Nabi berada di rumah, beliau selalu membantu urusan rumah tangga.”
Pernah Rasululloh pulang lebih pagi dari biasanya, selepas subuh di mesjid. Tentulah Rasululloh amat lapar waktu itu. Tetapi dilihatnya tiada apa pun yang ada untuk sarapan. Yang mentah pun tidak ada karena Sayidatina ‘Aisyah belum ke pasar. Maka Nabi bertanya, “Belum ada sarapan ya Khumaira?” (Khumaira adalah panggilan mesra untuk Sayidatina ‘Aisyah yang berarti ‘Wahai yang kemerah-merahan’). Aisyah menjawab dengan agak serba salah, “Belum ada apa-apa wahai Rasulullah.” Rasulullah lantas berkata, ”Kalau begitu aku puasa saja hari ini.” tanpa sedikit tergambar rasa kesal di wajahnya. Ini sesuai dengan sabda beliau, “sebaik-baik lelaki adalah yang paling baik dan lemah lembut terhadap isterinya.” Prihatin, sabar dan tawadhu’nya Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sebagai kepala keluarga.
Pada suatu ketika Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi imam solat. Dilihat oleh para sahabat, pergerakan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam antara satu rukun ke satu rukun yang lain amat sukar sekali. Dan mereka mendengar bunyi menggerutup seolah-olah sendi-sendi pada tubuh baginda yang mulia itu bergeser antara satu sama lain. Sayidina Umar yang tidak tahan melihat keadaan Rasululloh itu langsung bertanya setelah selesai sholat :
“Ya Rasululloh, kami melihat seolah-olah tuan menanggung penderitaan yang amat berat, tuan sakitkah ya Rasululloh?”
“Tidak, ya Umar. Alhamdulillah, aku sehat dan segar”
“Ya Rasululloh… mengapa setiap kali tuan menggerakkan tubuh, kami mendengar seolah-olah sendi bergesekan di tubuh tuan? Kami yakin engkau sedang sakit…” desak Umar penuh cemas.
Akhirnya Rasululloh mengangkat jubahnya. Para sahabat amat terkejut. Perut Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang kempis, kelihatan dililiti sehelai kain yang berisi batu kerikil, buat menahan rasa lapar. Batu-batu kecil itulah yang menimbulkan bunyi-bunyi halus setiap kali bergeraknya tubuh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.
“Ya Rasulullah! Adakah bila tuan menyatakan lapar dan tidak punya makanan, kami tidak akan mendapatkannya buat tuan?”
Lalu baginda menjawab dengan lembut,
”Tidak para sahabatku. Aku tahu, apa pun akan engkau korbankan demi Rasulmu. Tetapi apakah akan aku jawab di hadapan ALLAH nanti, apabila aku sebagai pemimpin, menjadi beban kepada umatnya?” “Biarlah kelaparan ini sebagai hadiah ALLAH buatku, agar umatku kelak tidak ada yang kelaparan di dunia ini lebih-lebih lagi tiada yang kelaparan di Akhirat kelak.”
Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah tanpa rasa canggung sedikitpun makan di sebelah seorang tua yang penuh kudis, miskin dan kotor.
Hanya diam dan bersabar bila kain rida’nya direntap dengan kasar oleh seorang Arab Badwi hingga berbekas merah di lehernya. Dan dengan penuh rasa kehambaan baginda membasuh tempat yang dikencingi si Badwi di dalam masjid sebelum menegur dengan lembut perbuatan itu. Kecintaannya yang tinggi terhadap Allah Subhanahu wa Ta’ala dan rasa kehambaan dalam diri Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menolak sama sekali rasa ketuanan.
Seolah-olah anugerah kemuliaan dari Allah tidak dijadikan sebab untuk merasa lebih dari yang lain, ketika di depan umum maupun dalam keseorangan.
Ketika pintu Syurga telah terbuka, seluas-luasnya untuk Rasululloh, masih saja beliau berdiri di tengah-tengah sepinya malam hari, terus-menerus beribadah, hingga pernah baginda terjatuh, lantaran kakinya sudah bengkak-bengkak. Fisiknya sudah tidak mampu menanggung kemauan jiwanya yang tinggi. Hingga ditanya oleh Sayidatina ‘Aisyah,
“Ya Rasululloh, bukankah engkau telah dijamin Syurga? Mengapa engkau masih bersusah payah begini?”
Jawab baginda dengan lunak,
“Ya ‘Aisyah, bukankah aku ini hanyalah seorang hamba? Sesungguhnya aku ingin menjadi hamba-Nya yang bersyukur.”
Ketika ajalnya dekat menjelang, Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam masih sempat-sempatnya memikirkan umatnya. Ketika Jibril yang mendampinginya berkata, “Semua syurga terbuka lebar menanti kedatanganmu, wahai Rasul Alloh”. Tapi itu ternyata tidak membuat Rasulullah lega, matanya masih penuh kecemasan. “Engkau tidak senang mendengar khabar ini?”, tanya Jibril lagi. “Khabarkan kepadaku bagaimana nasib umatku kelak?”, tanya Rasululloh seolah tak tega meninggalkan kita semua (umatnya) tanpa kepastian dibebaskannya umatnya dari api neraka.
Detik-detik ajal semakin dekat, saatnya Malaikatul Maut melakukan tugas. Perlahan ruh Rasululloh ditarik. Nampak seluruh tubuh Rasululloh bersimbah peluh, urat-urat lehernya menegang. “Jibril, betapa sakit sakaratul maut ini.” Perlahan Rasululloh mengaduh. Fatimah terpejam, Ali yang disampingnya menunduk semakin dalam dan Jibril memalingkan muka. “Jijikkah kau melihatku, hingga kau palingkan wajahmu Jibril?” tanya Rasululloh pada Malaikat pengantar wahyu itu. “Siapakah yang sanggup, melihat kekasih Allah direnggut ajal,” kata Jibril. Sebentar kemudian terdengar Rasululloh mengaduh, karena sakit yang tidak tertahankan lagi, “Ya Allah, dahsyat nian maut ini, timpakan saja semua siksa maut ini kepadaku, jangan pada umatku.”
Demikian sayangnya Rasulullah Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kepada kita sebagai umatnya, hingga di detik-detik terakhir ajal beliau masih berdoa bagi kebaikan umatnya.
Rahasia Senyum Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam
Diriwayatkan dari Jabir dalam sahih Bukhari dan Muslim, berkata, “Sejak aku masuk Islam, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah menghindar dariku. Dan beliau tidak melihatku kecuali beliau pasti tersenyum kepadaku.”
Suatu ketika Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam didatangi seorang Arab Badui, dengan serta merta ia berlaku kasar dengan menarik selendang Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, sehingga leher beliau membekas merah. Orang Badui itu bersuara keras, “Wahai Muhammad, perintahkan sahabatmu memberikan harta dari Baitul Maal! Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menoleh kepadanya seraya tersenyum. Kemudian beliau menyuruh sahabatnya memberi harta dari baitul maal kepadanya.”
Ketika beliau memberi hukuman keras terhadap orang-orang yang terlambat dan tidak ituk serta dalam perang Tabuk, beliau masih tersenyum mendengarkan alasan mereka.
Ka’ab ra. berkata setelah mengungkapkan alasan orang-orang munafik dan sumpah palsu mereka: “Saya mendatangi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, ketika saya mengucapkan salam kepadanya, beliau tersenyum, senyuman orang yang marah. Kemudian beliau berkata, “Kemari. Maka saya mendekati beliau dan duduk di depan beliau.”
Suatu ketika Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam melintasi masjid yang di dalamnya ada beberapa sahabat yang sedang membicarakan masalah-masalah jahiliyah terdahulu, beliau lewat dan tersenyum kepada mereka.
Beliau tersenyum dari bibir yang lembut, mulia nan suci ini, sampai akhir detik-detik hayat beliau.
Anas bin Malik berkata diriwayatkan dalam sahih Bukhari dan Muslim, “Ketika kaum muslimin berada dalam shalat fajar, di hari Senin, sedangkan Abu Bakar menjadi imam mereka, ketika itu mereka dikejutkan oleh Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam yang membuka hijab kamar Aisyah. Beliau melihat kaum muslimin sedang dalam shaf shalat, kemudian beliau tersenyum kepada mereka!”
Sehingga tidak mengherankan beliau mampu meluluhkan kalbu sahabat-sahabatnya, istri-istrinya dan setiap orang yang berjumpa dengannya!
Menyentuh Hati
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam telah meluluhkan hati siapa saja dengan senyuman. Beliau mampu “menyihir” hati dengan senyuman. Beliau menumbuhkan harapan dengan senyuman. Beliau mampu menghilangkan sikap keras hati dengan senyuman. Dan beliau Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mensunnahkan dan memerintahkan umatnya agar menghiasi diri dengan akhlak mulia ini. Bahkan beliau menjadikan senyuman sebagai lahan berlomba dalam kebaikan, beliau bersabda,
“Senyummu di depan saudaramu adalah sedekah.” [At Tirmidzi dalam sahihnya].
Cara Rasululloh Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Menghormati Seorang Sahabat
Dikisahkan seorang sahabat terlambat datang ke majelis Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam.
Tempat sudah penuh sesak. Ia minta izin untuk mendapat tempat, namun sahabat yang lain tak bisa lagi memberinya tempat.
Di tengah kebingungannya, Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memanggilnya. Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memintanya duduk di dekatnya. Tidak cukup dengan itu, Rasul Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pun melipat sorbannya lalu diberikan pada sahabat tersebut untuk dijadikan alas tempat duduk.
Sahabat tersebut dengan berlinangan air mata, menerima sorban tersebut namun tidak menjadikannya alas duduk akan tetapi malah mencium sorban Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasalam tersebut.
Subhanallah !
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Sebagai Seorang Suami
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman tentang pribadi Nabi kita Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam,
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” Al Ahzab:21
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Bersikap Adil
Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam sangat memperhatikan perilaku adil terhadap istri-istrinya dalam segala hal, termasuk sesuatu yang remeh dan sepele. Beliau adil terhadap istri-istrinya dalam pemberian tempat tinggal, nafkah, pembagian bermalam, dan jadwal berkunjung. Beliau ketika bertandang ke salah satu rumah istrinya, setelah itu beliau berkunjung ke rumah istri-istri beliau yang lain.
Soal cinta, beliau lebih mencintai Aisyah dibanding istri-istri beliau yang lain, namun beliau tidak pernah membedakan Aisyah dengan yang lain selamanya. Meskipun di sisi lain, beliau beristighfar kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala karena tidak bisa berlaku adil di dalam membagi cinta atau perasaan hati kepada istri-istrinya, karena persoalan yang satu ini adalah hak preogratif Allah Subhanahu wa Ta’ala saja.
Ketika beliau dalam kondisi sakit yang menyebabkan maut menjemput, beliau meminta kepada istrinya yang lain agar diperkenankan berada di rumah Aisyah. Bahkan ketika beliau mengadakan perjalanan atau peperangan, beliau mengundi di antara istri-istrinya siapa yang akan menyertainya.
Muhammad Bermusyawarah Dengan Para Istrinya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengajak istri-istrinya bermusyawarah dalam banyak urusan. Beliau sangat menghargai pendapat-pendapat mereka. Padahal wanita pada masa jahiliyah, sebelum datangnya Islam diperlakukan seperti barang dagangan semata, dijual dan dibeli, tidak dianggap pendapatnya, meskipun itu berkaitan dengan urusan yang langsung dan khusus dengannya.
Islam datang mengangkat martabat wanita, bahwa mereka sejajar dengan laki-laki, kecuali hak qawamah atau kepemimpinan keluarga, berada ditangan laki-laki. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (Al Baqarah : 228.)Adalah pendapat dari Ummu Salamah ra pada peristiwa Hudaibiyah, membawa berkah dan keselamatan bagi umat Islam. Ummu Salamah memberi masukan kepada Nabi agar keluar menemui para sahabat tanpa berbicara dengan siapa pun, langsung menyembelih hadyu atau seekor domba dan mencukur rambutnya. Ketika beliau melaksanakan hal itu, para sahabat dengan serta-merta menjalankan perintah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wasallam, padahal sebelumnya mereka tidak mau melaksanakan perintah Rasul, karena mereka merasa pada pihak yang kalah pada peristiwa itu. Mereka melihat bahwa syarat yang diajukan kaum kafir Quraisy tidak menguntungkan kaum muslimin.
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Lapang Dada dan Penyayang
Istri-istri Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam memberi masukan tentang suatu hal kepada Nabi, beliau menerima dan memberlakukan mereka dengan lembut. Beliau tidak pernah memukul salah seorang dari mereka sekali pun. Belum pernah terjadi demikian sebelum datangnya Islam. Perempuan sebelum Islam tidak punya hak bertanya, mendiskusikan dan memberi masukan apalagi menuntut.
Cara Nabi Meluruskan Keluarganya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah menggap sepele kesalahan yang diperbuat oleh salah satu dari istri. Beliau pasti meluruskan dengan cara yang baik. Diriwayatkan dari Aisyah:
“Saya tidak pernah melihat orang yang lebih baik di dalam membuatkan masakan, selain Shafiyah. Ia membuatkan hidangan untuk Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam saw di rumahku. Seketika saya cemburu dan membanting piring beserta isinya.” Saya menyesal, seraya berkata kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . “Apa kafarat atas perilaku yang saya lakukan?” Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjawab: “Piring diganti piring, dan makanan diganti makanan.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam menjadi pendengar yang baik. Beliau memberi kesempatan kepada istri-istrinya kebebasan untuk berbicara. Namun beliau tidak toleransi terhadap kesalahan sekecil apa pun. Aisyah berkata kepada Nabi setelah wafatnya Khadijah ra.:
“Kenapa kamu selalu mengenang seorang janda tua, padahal Allah telah memberi ganti kepadamu dengan yang lebih baik.” Maka Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam marah, seraya berkata: “Sunggguh, demi Allah, Allah tidak memberi ganti kepadaku yang lebih baik darinya. Ia telah beriman kepadaku ketika manusia mengingkariku. Ia menolongku ketika manusia memusuhiku. Saya dikaruniai anak darinya, yang tidak Allah berikan lewat selainnya.”
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Pelayan Bagi Keluarganya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak pernah meninggalkan khidmah atau pelayanan ketika di dalam rumah. Beliau selalu bermurah hati menolong istri-istrinya jika kondisi menuntut itu. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Pelayanan Anda untuk istri Anda adalah sedekah.”
Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mencuci pakaian, membersihkan sendal dan pekerjaan lainnya yang dibutuhkan oleh anggota keluarganya.
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Berhias Untuk Istrinya
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengetahui betul kebutuhan sorang wanita untuk berdandan di depan laki-lakinya, begitu juga laki-laki berdandan untuk istrinya. Adalah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam paling tampan, paling rapi di antara manusia lainnya. Beliau menyuruh sahabat-sahabatnya agar berhias untuk istri-istri mereka dan menjaga kebersihan dan kerapihan. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda:
“Cucilah baju kalian. Sisirlah rambut kalian. Rapilah, berhiaslah, bersihkanlah diri kalian. Karena Bani Isra’il tidak melaksanakan hal demikian, sehingga wanita-wanita mereka berzina.”
Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dan Canda-Ria
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam tidak tidak lupa bermain, bercanda-ria dengan istri-istri beliau, meskipun tanggungjawab dan beban berat di pundaknya. Karena rehat, canda akan menyegarkan suasan hati, menggemberakan jiwa, memperbaharui semangat dan mengembalikan fitalitas fisik.
Dari Aisyah ra berkata:
“Kami keluar bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam dalam suatu safar. Kami turun di suatu tempat. Beliau memanggil saya dan berkata: “Ayo adu lari” Aisyah berkata: Kami berdua adu lari dan saya pemenangnya. Pada kesempatan safar yang lain, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mengajak lomba lari. Aisyah berkata: “Pada kali ini beliau mengalahkanku. Maka Rasulullah saw bersabda: “Kemenangan ini untuk membalas kekalahan sebelumnya.”
Allahu A’lam...
Teladan Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam Dalam Menyayangi Hewan
Suatu hari untuk suatu tujuan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam keluar rumah dengan menunggangi untanya. Abdullah bin Ja’far ikut membonceng di belakang. Ketika mereka sampai di pagar salah salah seorang kalangan Anshar, tiba-tiba terdengar lenguhan seekor unta. Unta itu menjulurkan lehernya ke arah Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam. Ia merintih. Air matanya jatuh berderai. Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam mendatanginya. Beliau mengusap belakang telinga unta itu. Unta itu pun tenang. Diam.
Kemudian dengan wajah penuh kemarahan, Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bertanya, “Siapakah pemilik unta ini, siapakah pemilik unta ini?”
Pemiliknya pun bergegas datang. Ternyata, ia seorang pemuda Anshar.
“Itu adalah milikku, ya Rasulullah,” katanya.
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata,
“Tidakkah engkau takut kepada Allah karena unta yang Allah peruntukkan kepadamu ini? Ketahuilah, ia telah mengadukan nasibnya kepadaku, bahwa engkau membuatnya kelaparan dan kelelahan.”
Subhanallah! Unta itu ternyata mengadu kepada Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bahwa tuannya tidak memberinya makan yang cukup sementara tenaganya diperas habis dengan pekerjaan yang sangat berat. Kisah ini bersumber dari hadits nomor 2186 yang diriwayatkan Abu Dawud dalam Kitab Jihad.
Bagaimana jika yang mengadu adalah seorang pekerja yang gajinya tidak dibayar sehingga tidak bisa membeli makanan untuk keluarganya, sementara tenaganya sudah habis dipakai oleh orang yang mempekerjakannya? Pasti Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam lebih murka lagi.
Di kali yang lain, Abdullah bin Umar menceritakan bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam pernah bersabda, “Seorang wanita disiksa karena menahan seekor kucing sehingga membuatnya mati kelaparan, wanita itupun masuk neraka.” Kemudian Allah berfirman –Allah Mahatahu—kepadanya, “Kamu tidak memberinya makan, tidak juga memberinya minum saat ia kamu pelihara; juga engkau tidak membiarkannya pergi agar ia dapat mencari makanan sendiri dari bumi ini.” (HR. Bukhari, kitab Masafah, hadits nomor 2192).
Yang ini cerita Amir Ar-Raam. Ia dan beberapa sahabat sedang bersama Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . “Tiba-tiba seorang lelaki mendatangi kami,” kata Amir Ar-Raam. Lelaki itu dengan kain di atas kepadanya dan di tangannya terdapat sesuatu yang ia genggam.
Lelaki itu berkata, “Ya Rasulullah, saya segera mendatangimu saat melihatmu. Ketika berjalan di bawah pepohonan yang rimbun, saya mendengar kicauan anak burung, saya segera mengambilnya dan meletakkannya di dalam pakaianku. Tiba-tiba induknya datang dan segera terbang berputar di atas kepalaku. Saya lalu menyingkap kain yang menutupi anak-anak burung itu, induknya segera mendatangi anak-anaknya di dalam pakaianku, sehingga mereka sekarang ada bersamaku.”
Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam berkata kepada lekaki itu, “Letakkan mereka.”
"Kemudian anak-anak burung itu diletakan. Namun, induknya enggan meninggalkan anak-anaknya dan tetap menemani mereka. “Apakah kalian heran menyaksikan kasih sayang induk burung itu terhadap anak-anaknya?” tanya Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam kepada para sahabat yang ada waktu itu. “Benar, ya Rasulullah,” jawab para sahabat. “Ketahuilah,” kata Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . “Demi Dzat yang mengutusku dengan kebenaran, sesungguhnya Allah lebih penyayang terhadap hamba-hamba-Nya melebihi induk burung itu kepada anak-anaknya.”
“Kembalikanlah burung-burung itu ke tempat di mana engkau menemukannya, bersama dengan induknya,” perintah Rasulullah. Lelaki yang menemukan burung itupun segera mengembalikan burung-burung itu ke tempat semula.
Begitulah Akhlak terhadap hewan yang diajarkan Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam . Bahkan, membunuh hewan tanpa alasan yang hak, Rasulullah menggolongkan suatu kezhaliman. Kabar ini datang dari Abdullah bin Amr bin Ash, bahwa Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda, “Barangsiapa yang membunuh seekor burung tanpa hak, niscaya Allah akan menanyakannya pada hari Kiamat.” Seseorang bertanya, “Ya Rasulullah, apakah hak burung tersebut?” Beliau menjawab, “Menyembelihnya, dan tidak mengambil lehernya lalu mematahkannya.” (HR. Ahmad, hadits nomor 6264)
Jika kepada hewan saja kita memenuhi hak-haknya, apalagi kepada manusia. Adakah hak-hak orang lain yang belum kita tunaikan?
Sumber : http://kebunhidayah.wordpress.com/category/kebun10-mengenal-muhammad-shalallahu-%E2%80%98alaihi-wasalaam/2-akhlak-teladan-rasululloh/
Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...
Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...
Semoga Bermanfaat dan bisa kita ambil hikmahnya... Amin
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut anda notes ini bermanfaat...
Catatan :
Lampirkan sumbernya ya... Syukron
Tidak ada komentar:
Posting Komentar