Laman

Senin, 28 Februari 2011

MENYALAKAN KEMBALI CAHAYA YANG REDUP

 "Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (QS Al-Anbiya : 107)


Lagi-lagi, Islam dikaitkan dengan kekerasan. Awal Desember lalu, serangan mematikan dilancarkan oleh kelompok Deccan Mujahidin di Mumbai, India, menewaskan 195 orang dan menciderai ratusan lainnya. Islam dan kekerasan seolah identik. Apalagi paska-tragedi dasyat penyerangan WTC 11 September 2001 silam. mengapa agama agung yang penuh kedamaian ini, yang mengutamakan salam dan dituturkan sebagai rahmat bagi segenap alam semesta, seolah berubah menjadi ajaran yang penuh dengan kekerasan?

Penyerangan WTC 11 September 2001

Serangan Mematikan yang dilancarkan oleh Kelompok Deccan Mujahidin di Mumbai, India

Daftar panjang kekerasan demi kekerasan bisa kita susun. Bukan hanya di luar negeri, tetapi juga di dalam negeri, Mulai dari tragedi bom Bali I dan II, bom-bom yang meledak di Kedubes Australia dan Hotel Mariott, Jakarta, sampai pada hal-hal yang musykil, seperti penyerangan sebagai warga nahdliyin, para kiai yang berbeda aliran politik dengan mereka.

Bom Bali I

Bom Bali II

Bom yang meledak di Kedubes Australia, Jakarta

Bom yang meledak di Hotel Mariott, Jakarta

Mustahil Islam menjadi inspirasi untuk melakukan kekerasan. Sebaliknya, kekerasan, dengan motif politik tertentu dan mengatas namakan Islam, memang sering terjadi, dan menjadi ajang kampanye yang efektif untuk menonjok Islam. Sementara orang lazim lebih cendrung melihat pada fakta di lapangan, yang nota bene menyimpang, bukan pada ajaran atau filosofi. Berbagai kasus kekerasan seperti bom bunuh diri, penculikan oleh berbagai kelompok mujahidin, dan menyerang terhadap berbagai instansi vital milik barat di berbagai negara, seolah mensahkan bahwa Islam adalah agama kekerasan.

Benarkah Islam agama kekerasan?
Islam adalah agama rahmat, agama yang santun dan penuh kasih sayang. Allah SWT berfirman dalam surah Al-Anbiya ayat 107,
"Dan tiadalah Kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan sebagai rahmat bagi semesta alam." (QS Al-Anbiya : 107)
Sementara dalam surah Ali Imran ayat 159, Allah SWT menguraikan sifat-sifat utusan-Nya dalam membawa ajaran yang penuh rahmat tersebut. "Maka karena rahmat Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, memohon ampunan bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian jika kamu telah membulatkan tekat, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakal kepada-Nya."


SUKA MEMAAFKAN
Rasulullah SAW adalah teladan agung yang prilakunya sangat sempurna, dan menjadi teladan bagi seluruh umat manusia. Dalam semua sendi kehidupan, tidak ada uswah hasanah bagi umat Islam yang paling ideal selain Rasulullah SAW, sebagaimana firman Allah SWT,
"Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi mereka yang mengharapkan rahmat Allah dan kedatangan hari akhirat, (sementara) dia banyak menyebut nama Allah." (QS Al-Ahzab : 21).

Keagungan Akhlaq Rasulullah SAW terungkap dalam beberapa hadist dan kisah berikut :
Aisyah RA berkata,  
"Rasulullah SAW bukanlah orang yang keji, beliau tidak membiarkan kekejian, tidak pernah mengeluarkan suara keras di pasar-pasar, tidak membalas kejahatan orang dengan kejahatan. Beliau suka bermaafan dan suka berjabat tangan." (HR Muhammad bin Basyar).

"Rasulullah SAW tidak pernah memukul sesuatu dengan tangannya, kecuali tatkala Beliau berjihat fi sabilillah, Beliau pun tak pernah memukul pembantu dan wanita." (HR Harun bin Ishaq)

Aisyah RA mengungkapkan,
"Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW membalas sesuatu aniaya yang ditimpakan orang kepadanya selama orang itu tidak menghina kehormatan Allah SWT. Tapi, jika sedikit saja kehormatan Allah dihina, Beliau adalah orang yang paling marah karenanya. Dan seandainya dimintakan kepadanya memilih diantara dua perkara, Beliau akan memilih yang paling mudah  dan selama perkara itu tidak menyangkut maksiat." (HR Ahmad bin 'Ubadah)


TIDAK MENYUKAI PUJIAN
Al-Hasan bin Ali bercerita, "Husein bin Ali, saudaraku, mengatakan, aku bertanya kepada ayahku Ali bin Abu Thalib tentang prilaku Rasulullah SAW pada sahabat-sahabatnya. Ayahku berkata, Rasulullah adalah orang yang bermuka manis, lembut budi pekertinya, tawadhu', tidak bengis, tidak kasar, tidak bersuara keras, tidak berlaku dan berkata keji, tidak suka mencela, tidak kikir.

Beliau tidak mencela apa yang tidak disenanginya, tidak membuat orang yang membutuhkan pertolongannya memjadi putus asa, tidak pula menolaknya. Beliau tinggalkan 3 perkara, yaitu pembantahan, menyombongkan diri, dan sesuatu yang tidak layak. Beliau tinggalkan orang lain dari 3 perkara : Beliau tidak mencela seseorang, tidak membuat malu orang, tidak mencari aib orang. Beliau tidak berbicara melainkan mengenai sesuatu yang diharapkan kebaikannya.

Bila Beliau bersabda, semua orang yang hadir ada di majelisnya tertunduk, seolah-olah kepala mereka dihinggapi burung. Bila Beliau diam, barulah mereka berbicara. Mereka tidak ada yang berbantahan (jika berada) di sisinya. Bila Beliau berbicara, mereka diam memperhatikannya sampai Beliau selesai berbicara. Yang mereka percakapkan disisinya adalah percakapan utama. Rasulullah SAW tertawa terhadap apa yang mereka tertawakan, Beliau takjub terhadap apa yang mereka herankan.

Beliau sabar menghadapi orang asing yang berkata atau meminta dengan kasar dan tidak senonoh, sehingga para sahabat (sering) mengharapkan kedatangan orang asing seperti itu, karena mereka bisa mendapat manfaat atau faedah karena pertanyaannya yang ceplas-ceplos. Rasulullah bersabda,
"Jika kalian bertemu orang yang membutuhkan bantuan, bantulah dia. Rasulullah tidak menyukai pujian kecuali menurut yang sepatutnya. Beliau tidak mau memutuskan pembicaraan seseorang kecuali orang itu melanggar batas. Bila seseorang telah melanggar batas, dipotongnya pembicaraan tersebut dengan melarangnya atau dengan berdiri meninggalkan majelis." ( HR Sufyan bin Waki')

Umar bin Khaththab RA bercerita, "Seorang laki-laki datang kepada Rasulullah SAW lalu minta agar Nabi memberikan sesuatu. Rasulullah bersabda,
"Aku tidak mempunyai sesuatu, tetapi beli saja secara utang atas namaku. Jika nanti aku punya sesuatu, aku akan melunasinya."

Lalu kata Umar, "Wahai Rasulullah, Tuan telah memberikan sesuatu kepadanya. Bukankah Allah SWT tidak membebani Tuan dengan sesuatu yang Tuan tidak mampu?"
Namun Rasulullah SAW tidak menyenangi ucapan Umar tersebut.

Kemudian seorang laki-laki dari golongan Anshar berkata, "Wahai Rasulullah, nafkahkanlah, dan janganlah Tuan takut berkekurangan dari kekayaan Allah SWT."

Mendengar ucapan itu Rasulullah tersenyum, dan tersirat diwajahnya rasa gembira. Kemudian Beliau bersabda,
"Untuk itulah aku diutus."

iblis berkata “Tidakkah kau tahu wahai Muhammad, bahwa barang siapa yg menyukai emas dan perak, ia bukan orang yg ikhlas."

"Jika kau lihat seseorang yg tidak menyukai dinar dan dirham, tidak suka pujian dan sanjungan, aku bisa pastikan bahwa ia orang yg ikhlas, maka aku meninggalkannya."

"Selama seorang hamba masih menyukai harta dan sanjungan dan hatinya selalu terikat dgn kesenangan dunia, ia sangat patuh padaku.”


MENERIMA APA ADANYA
Abu Hurairah RA berkisah, "Suatu hari Rasulullah SAW keluar dari rumah, ketika itu tiada seorang pun yang keluar rumah dan bertemu Rasulullah SAW. Maka Abu Bakar datang menemuinya. Rasulullah bersabda, "Mengapa engkau datang kemari, hai Abu Bakar? Abu bakar menjawab, "Aku keluar rumah untuk bertemu Rasulullah SAW, untuk memandang wajah Tuan dan mengucapkan salam." Tak lama kemudian datang pula Umar bin Khaththab.  "Mengapa engkau datang kemari hai Umar? Tanya Rasulullah. "Aku lapar, wahai Ralulullah," Jawab Umar. "Aku juga menemui sebagian dari rasa lapar itu." kata Rasulullah SAW.

Maka mereka pun menuju ke rumah Abul Haitsam bin At-Tayyihan Al-Anshari. Namun, Abul Haitsam sedang pergi mengambil air minum. Tak lama kemudian datanglah Abul Haitsam lalu memeluk Rasulullah SAW. Kemudian Abul Haitsam mengajak mereka ke kebun.

Setelah menghamparkan tikar, ia mengambil setandan buah kurma dan menyuguhkannya kepada Nabi dan para sahabatnya. "Mengapa tidak kau pilihkan yang masak saja untuk kami?" Tanya Rasulullah SAW. "Wahai Rasulullah, aku ingin Tuanlah yang memilih atau mengambil mana yang Tuan sukai, yang masak atau yang mentah." Jawab Abul Haitsam.

Setelah mencicipi sebutir kurma, Rasulullah SAW bersabda,
"Demi Dzat yang diriku berada dalam genggaman-Nya, semacam inilah diantara nikmat yang kalian  mohonkan kepada Allah nanti dihari kiamat, yaitu tempat bernaung yang sejuk, buah-buahan yang baik, dan air yang segar."

Lalu Abul Haitsam beranjak untuk memasak makanan. "Janganlah kau sembelihkan kambing yang sedang menyusui," Kata Rasulullah. Maka Abul Haitsam pun menyembelih anak kambing berusia setahun, lalu ia hidangkan kepada tamu-tamunya. "Apakah kamu punya seorang khadam (pembantu)?" Tanya Rasulullah. "Tidak, ya Rasulullah," jawab Abul Haitsam. "Nanti, jika ada tawanan, datanglah. Kami akan beri engkau seorang khadam," Kata Rasulullah.

Suatu hari Rasulullah SAW mendapat dua-tiga orang tawanan yang dapat dijadikan sebagai khadam. Ketika Abul Haitsam dipersilakan memilih, ia berkata, "Wahai Rasulullah, Tuan pilihkan saja untukku." Lalu Rasulullah berkata, "Ambillah orang ini, sebab aku lihat ia berperangai penurut. dan perlakukanlah ia dengan baik."

Sampai di rumah, Abul Haitsam menceritakan pengalamannya kepada istrinya. Maka sang istri pun berkata, "Jika engkau menyampaikan apa yang sebenarnya disabdakan Rasulullah, tentu engkau memerdekakannya." Lalu Abul Haitsam pun memerdekakan tawanan itu.

Mendengar itu, Rasulullah SAW bersabda,
"Sungguh Allah tidak mengutus seorang nabi atau khalifah melainkan baginya dua teman dekat, yaitu yang menyuruh berbuat ma'ruf serta melarang berbuat munkar, dan teman dekat yang selalu mengajak pada kerusakan. Barang siapa terpelihara dari teman dekatnya yang jahat, ia terpelihara." (HR Imam Tirmidzi)


MILIK PERADABAN UMAT MANUSIA
Suatu hari Anas bin Malik RA bercerita, "Aku telah menjadi pembantu Rasulullah SAW selama 10 tahun. Selama itu Beliau tidak pernah mengatakan "uf (ah!)". Dan tidak pernah mengomentari suatu yang dikerjakan dengan perkataan, "Mengapa engkau kerjakan begini, tidak begitu?" juga tidak bertanya karena ada sesuatu yang tidak aku kerjakan, misalnya, "Mengapa tidak kau kerjakan".

Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Qutaibah bin Sa'id mengungkapkan, "Rasululluah SAW adalah sebaik-baiknya manusia dengan akhlaq yang luhur. Tak pernah aku menyentuh kain dari bulu atau sutra, tidak pula sutra asli dan tidak pula kainnya, yang lebih lembut dari telapak tangan Rasulullah. Tidak pula aku pernah mencium kesturi yang lebih wangi dari keringat Rasulullah."

Jika demikian halnya, mengapa banyak khalayak, terutama kaum jelata, berlindung kepadanya dan bernaung dibawah panji-panji dakwahnya, padahal Rasulullah SAW tak punya harta maupun senjata, bahkan tak sunyi dari marabahaya, karena selalu diintai dan dikejar-kejar musuh yang membencinya? Apa yang mendorong tokoh Jahiliyah Umar bin Khaththab, memburunya untuk memenggal kepalanya, tiba-tiba berbalik haluan membelanya, lalu pergi mengejar para penentangnya untuk menebas kepala mereka?

Mengapa orang-orang terkemuka dari Madinah menemuinya untuk barbai'at, padahal mereka menyadari bahwa perperangan dasyat akan pecah antara mereka dengan orang-orang Quraisy? Mengapa jumlah orang-orang beriman kian bertambah dan tak pernah berkurang, padahal setiap pagi dan petang Beliau selalu bersabda, "Aku tidak berwewenang memberimu manfaat atau mudharat, aku tidak mengetahui apa yang akan terjadi atas diriku dan diri kalian?".

Mengapa mereka percaya bahwa Al-Quran yang kala itu mereka baca secara sembunyi-sembunyi, akan didengungkan ke segenap penjuru dunia, bukan di Jazirah Arab semata, tapi meluas keseluruh kolong langit dan menembus batas-batas kurun waktu?

Jelaslah, segenap pandangan, langkah, dan ucapan serta gerak-geriknya, bahkan sekalian impian, angan-angan, cita-citanya semenjak hari pertama kelahirannya, pantas menjadi milik peradaban umat manusia. Seolah-olah dengan itu Allah SWT hendak memaklumkan kepada umat manusia bahwa itulah utusan-Nya, sang pembawa rahmat dan berkah bagi sebenap alam semesta.

Daya tarik terhadap Rasulullah SAW demikian kuat tanpa kebimbangan, karena kehidupannya yang suci dan senantiasa mencerahkan. Maka orang-orang mukmin pun melihat nur Ilahi pada pribadinya sehingga mereka setia mengikutinya. Dan akhirnya mereka menyaksikan betapa Rasulullah SAW, berkat pertolongan Allah SWT, mampu membebaskan seluruh Jazirah Arab dibawah panji-panji tauhid.

Sang pemersatu Jazirah itu pun tak pernah berubah sejak lahir hingga wafat, kecuali kesederhanaan dan keshalihan serta kezuhudannya. Beliau tak pernah terpikat oleh dunia sehingga saat kembali menemui Allah, ketika beliau tidur diatas anyaman daun kurma hingga pelepahnya yang keras itu membekas disekujur tubuhnya.

Umat pun bersyukur ketika menyaksikan panji-panji dakwah Rasulullah SAW berkibar diseluruh pelosok dengan mengah. Namun, dengan itu pula dengan kepribadian luar biasa Rasulullah SAW naik kemimbar sambil menangis. lalu bersabda,
"Barang siapa pernah terpukul punggungnya, inilah punggungku, balaslah. Barang siapa pernah aku ambil hartanya, inilah hartaku, ambilah...."

Lihat ketika Rasulullah SAW akan dibunuh oleh Da'tsur. Kala itu beliau yang sedang beristirahat, tidak panik, padahal pedang sudah terhunus di depan mata. "Siapa yang bisa menolongmu, ya Muhammad?" Teriak Da'tsur. Dengan berwibawa beliau menjawab, "Allah."

Mendengar nama Allah, kontan Da'tsur gemetar, dan pedangnya terjatuh. Rasulullah pun mengambilnya dan menanyakan hal yang sama kepada Da'tsur, "Siapa yang akan menolongmu, wahai Da'tsur?". Lidah Da'tsur kelu, tak kuasa berbicara, ia menyerah. Ketika itu tentulah sangat gampang bagi Rasulullah SAW untuk mengumbar dendam. Tapi beliau tidak melakukannya.

Uluran maaf dan akhlaq nan santun membuat hati Da'tsur luluh, dan akhirnya mengikuti agama yang penuh rahmat: Islam.


ISTIQAMAH MENELADANI BAGINDA RASUL
Nah, bagaimana denga kaum muslimin masa kini? Sudahkah umatnya meneladani akhlaq Rasulullah SAW?

Mengapa kini kaum muslimin lebih banyak yang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan sunnah junjungannya? Mengapa mereka lebih banyak mempertahankan hawa nafsu, sihingga menimbulkan aib dan masalah dimana-mana? Mengapa,  hanya lantaran berbeda aliran politik, ada sebagian umat Islam yang tega mengeroyok ulamanya?

Andai mereka tetap istiqamah meneladani akhlaqul karimah Baginda Rasul, niscaya predikat 'Rahmatan Lil Alamain' tetap menempel dibelakang Islam. Namun, memang tak mudah meneladani kepribadian agung Rasulullah SAW.

Beliau tidak pernah melanggar ikrarnya kepada Allah SWT, baik dalam beribadah maupun dalam berjihad. Belum lagi datang sepertiga malam, beliau telah bangkit berdiri lalu mengambil air whudu'. dan seperti kebiasaannya yang sudah-sudah, beliau pun bermunajat kepada Allah SWT, lalu shalat dengan khusyu' sambil menangis.

Harta benda datang bertumpuk-tumpuk, tapi sedikitpun Rasulullah tak berubah. Dan tiadalah yang beliau ambil untuk diri sendiri kecuali sebagai mana yang diambil oleh orang yang status sosialnya paling rendah. Dan ketika beliau wafat, satu-satunya baju zirahnya telah tergadai pula.

Ketika akhirnya seluruh negeri tunduk menerima dakwahnya, sementara para raja di seputar Jazirah Arab begitu takzim menerima surat-suratnya, yang mengajak mereka bertauhid, tiada secuil pun kesombongan dan kemegahan terbesit dihatinya. Dan tatkala beberapa orang bertemu kepadanya, dikuatkannya semangat mereka. "Jangan malu-malu dan jangan takut. Ibuku hanyalah seorang perempuan biasa dari Makkah."

Ketika semua yang menolak dakwahnya meletakkan senjata, menyerahkan leher untuk menerima keputusan yang akan dijatuhkannya, sementara 10 ribu bilah pedang di tangan kaum muslimin berkilatan dibukit-bukit di sekeliling Makkah, beliau justru berkata, "Pergilah kalian! Kalian semua bebas."

Bahkan ketika Rasulullah sempat menyaksikan kemenangan dakwah yang memang menjadi haknya, dan untuk itu beliau telah menghabiskan waktu sepanjang usianya, beliau tak memanfaatkannya sebagaimana layaknya si pemenang. Dalam parede kemenangan membebaskan Makkah, Rasulullah justru berjalan sembari menundukan kepala, bersyukur, dan meneteskan air mata.

Akhirnya sampailah Rasulullah di Ka'bah. Lalu beliau merobohkan semua berhala dengan seluruh pernak-perniknya, sambil bersabda, "Telah datang yang haq dan telah roboh yang batil. Sesungguhnya yang batil itu pasti roboh."

Cinta macam apa yang mendorong Rasulullah SAW memikul tugas dakwah yang begitu berat? Seorang diri, sebatang kara, beliau harus berhadapan dengan tipu daya orang-orang yang menentangnya. Tak satupun sarana kehidupan duniawi yang menopang perjuangan dakwahnya, tetapi beliau tetap bertahan dengan kegigihannya yang tidak pernah kendur, dengan rasa cinta yang tidak pernah pudar.

Ironisnya, dalam konteks Indonesia, negeri besar tempat kaum muslimin menjadi mayoritas, yang terjadi adalah munculnya "Penyakit Mayoritas", yaitu berbangga-bangga dengan jumlah tapi tidak berkualitas, sebagaimana diungkapkan oleh K.H. Ali Yafie (Lihat : Lebih baik Minoritas tapi Berkualitas)

Padahal, beberapa abad silam, Islam telah benar-benar membuktikan diri sebagai agama yang "Rahmatan Lil Alamin". Dan hal itu sepenuhnya diakui oleh Mohamad Asad, pemikir muslim asal Eropa yang nama aslinya Leopold Weiss. "Disepanjang sejarah kaum muslimin yang kreatif, yaitu lima abad pertama sejak zaman Rasulullah SAW, ilmu pengetahuan, pendidikan, dan peradaban tidak ada yang lebih hebat dibandingkan peradaban kaum muslimin. Dan tidak ada tempat tinggal yang lebih aman dan nyaman selain di negeri-negeri yang mayoritas penduduknya beragama Islam."

Pendeknya, beberapa abad silam, Islam telah memberikan rangsangan luar biasa dasyat demi pertumbuhan peradaban dalam lembaran-lembaran sejarah umat manusia yang paling membanggakan. Dan rangsangan itu muncul ketika para ulama dan cendikiawan muslim mengakui "otoritas" akal, sembari rangsangan kegiatan kreatif dalam berbagai bidang, terutama ilmu pengetahuan, pendidikan, sosial budaya.

Tapi sayangnya, Islam, yang sejak semula diyakini sebagai agama yang tinggi dan tak ada yang melebihinya (Al-Islamu ya'lu wa la yu'la alaih), belakangan telah tertutup cahayanya oleh prilaku kaum muslimin yang tidak lagi bijak (Al-Islamu Mahjubun bil muslimin). Sekarang, kita menyaksikan dengan hati trenyuh betapa centang perenangnya umat moderat (Ummatan wasatha) ini disegala lini.

Astaghfirullah...


Sumber :  Majalah Kisah Islami "ALKISAH" No.26/15 - 28 Des 2008, Halaman 10-17


Wallahu a’lam bish-shawabi... (hanya Allah yang Mahatahu Kebenarannya)
Catatan ini kami tujukan untuk kami pada khususnya
dan untuk semua pembaca pada umumnya...
Jika terjadi kesalahan dan kekurangan disana-sini dalam catatan ini...
Itu hanyalah dari kami...
dan kepada Allah SWT., kami mohon ampunan...

Semoga Allah SWT. memberi kekuatan untuk kita amalkan... Amin
Wassalam...

Semoga Bermanfaat...
Silahkan COPY atau SHARE ke rekan anda jika menurut Anda note ini bermanfaat...

Lampirkan sumbernya ya... Syukron

Tidak ada komentar:

Posting Komentar